Oleh : Cut Mutia )*

 Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana(RKUHP) akan segera disahkan. Banyak pihak mendukung pengesahan RKUHP karena merupakan produk hasil karya anak bangsa sebagai upaya bebas dari KUHP lama peninggalan kolonial Belanda. 

Ketika RKUHP akan disahkan maka banyak yang mendukungnya. Rancangan Undang-Undang ini sudah diteliti selama bertahun-tahun oleh DPR RI, karena pasalnya banyak sekali (sampai ratusan). RKUHP wajib dijadikan UU karena akan mengubah tatanan masyarakat menjadi lebih baik, sekaligus merevisi KUHP yang kurang relevan dengan masa kini.

Herman Herry, Ketua Komisi III DPR RI menyatakan bahwa ia mendukung pemerintah untuk mempercepat pengesahan RKUHP. Niat ini sejalan dengan semangat Komisi III DPR yang mendorong pemerintah, yang mengusulkan RKUHP. Apalagi KUHP adalah induk hukum pidana yang menjadi penting dalam menghadapi dinamika tindak pidana, dan harus mengikuti perkembangan zaman.

Herman Herry melanjutkan, jika KUHP versi baru terwujud, akan menjadi penanda sejarah karena Indonesia tidak memakai hukum warisan Belanda. Dalam artian, setelah ada pembahasan draft RKUHP maka banyak masyarakat yang baru tahu bahwa KUHP saat ini adalah warisan dari era penjajahan. Oleh karena itu harus direvisi sesegera mungkin karena zamannya sudah berbeda jauh.

Selama lebih dari 100 tahun kehidupan telah berbeda karena saat ini memakai teknologi dan internet. Jika KUHP tidak diubah maka akan sangat kuno, dan tidak melindungi masyarakat secara penuh. Ada pasal-pasal tambahan di RUKHP yang berkaitan dengan dunia maya dan media elektronik, dan UU ini mengikuti era kekinian.

RKUHP sejalan dengan UU ITE dan melindungi masyarakat di dunia maya. Penyebabnya karena dalam RKUHP disebutkan larangan menyebarkan video tidak senonoh di media elektronik. Aturan ini sangat diperlukan agar masyarakat tidak terpapar pornografi dan video asusila di dunia maya, yang bisa merusak moral, terutama anak-anak. Apalagi saat ini anak SD sudah punya gadget sendiri dan berbahaya jika mengakses video tersebut.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, HAM, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan bahwa Hukum berubah sesuai dengan perubahan masyarakat (ubi societas ibi ius). Jika KUHP berumur lebih dari 100 tahun (karena diterapkan sejak Indonesia masih bernama Hindia Belanda, maka harus diganti agar lebih relevan. 

Dalam artian, KUHP yang lama tidak bisa menangani berbagai gejolak di masyarakat karena saat ini sudah era teknologi informasi, bukan lagi era penjajahan atau era agraria. Jika dipaksakan maka tidak akan memproteksi seluruh warga negara Indonesia (WNI) dengan maksimal. 

Memang ada beberapa pasal dalam RKUHP yang mengejutkan karena masyarakat Indonesia belum terbiasa akan perubahan-perubahan tersebut, tetapi mereka seharusnya mengerti apa alasannya dan menyimak penjelasannya. Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy O.S menjelaskan pasal-pasal dalam RKUHP yang mengejutkan masyarakat.

Menurut Eddy, pertama-tama di dalam RKUHP disebutkan bahwa hukuman mati akan diakhirkan. Dalam artian akan menjadi opsi terakhir dan baru diberi ketika tidak ada grasi (pengampunan) dari Presiden RI. Jika UU ini disahkan maka Indonesia akan jadi negara yang berbelas kasihan karena lebih memilih untuk menghukum tersangka dengan kurungan seumur hidup.

Tentu permasalahan hukuman mati atau seumur hidup tergantung dari para hakim yang menangani di pengadilan. Permasalahan grasi juga tergantung dari kebijakan presiden. Dalam artian, tergantung dari seberapa berat kasusnya, dan tidak asal tembak mati untuk menyelesaikan masalah dan menghukum seseorang atas kesalahannya.

Jika masyarakat berbuat bijak maka akan mengerti mengapa penting sekali untuk merevisi RKUHP. Jangan malah termakan hoaks dan propaganda yang bisa saja dilemparkan oleh pihak oposisi sehingga pengesahan RUU tersebut ditangguhkan, bahkan dibatalkan. Penyebabnya karena revisi sangat penting untuk memperbaiki hukum pidana di Indonesia.

Sementara itu, politisi Al Muzzamil menyatakan bahwa RKUHP harus segera disahkan karena mengatur persoalan kesusilaan, termasuk zina. Dalam artian, di draft RKUHP memang disebutkan bahwa pelaku zina akan mendapat hukuman 1 tahun penjara. Jika RUU ini disahkan jadi UU maka masyarakat akan terlindungi dari tindak asusila dan hal-hal yang mengancam perdamaian dan keutuhan rumah tangga.

Peraturan kesusilaan memang sangat penting karena menyangkut adat ketimuran dan masalah moral. Jangan sampai Indonesia yang sejak dulu terkenal sopan, malah jadi negara yang liberal dan tidak memberi hukuman berat kepada pelaku zina dan pelanggaran asusila lainnya. Jika ingin memajukan bangsa maka yang perlu diperbaiki adalah moral masyarakat.

Banyak pihak yang mendukung pengesahan RKUHP karena memang UU ini sangat berguna bagi kehidupan masyarakat. Apalagi KUHP yang lama sudah terlalu kuno, dan tidak relevan karena dibuat di masa penjajahan Belanda. RKUHP juga melindungi perempuan karena mengatasi tersangka kasus perzinaan dengan hukuman yang membuat mereka runyam.

)* Penulis adalah kontributor Nusa Pers 

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih menyisakan polemik yang mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Maka dari itu, Lembaga Harmoni Nusantara membuka ruang diskusi seminar dengan tema “RKUHP untuk Menjaga Demokrasi dan Keadilan” sebagai jawaban atas masih adanya perdebatan yang dialami khalayak. Acara tersebut dilaksanakan pada 12 Agustus 2022  di Amos Cozy Hotel and Convention Hall, Jakarta Selatan

Seminar ini mengundang narasumber diantaranya adalah Dr. Albert Aries S,H., M,H., selaku Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham/Ahli Hukum Pidana),  Andi Windo Wahidin, S.H.,M.H, selaku Direktur Operasi KPMH sekaligus Dosen Pasca Sarjana PTIQ, dan Dr. Fernando Silalahi S.H.,M.H, sebagai Dosen FH UKI sekaligus Ikatan Advokat Indonesia.

Antusias sekitar 100 peserta yang mengikuti acara seminar ini berasal  dari berbagai kalangan akademisi, mahasiswa dan organisasi mahasiswa. Dengan adanya ruang diskusi terbuka ini, dapat menjadi tempat yang kredibel untuk saling bertukar pikiran mengenai RKUHP yang masih menjadi perbincangan hangat di berbagai khalayak.

Andi Windo Wahidin, S.H.,M.H. dalam pandangannya menjelaskan, KUHP merupakan produk hukum lama yang dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda. Padahal manusia sendiri bersifat dinamis dan tidak pernah stagnan. Direktur Operasi KPMH tersebut menambahkan, untuk itulah hukum juga harus bergerak dinamis, sebagai perbandingan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE yang mengalami 2 kali perubahan padahal hanya 8 tahun sejak disahkannya.

“Maka akan aneh bila KUHP yang sudah lama disahkan tidak pernah direvisi. Selain itu revisi KUHP banyak mengatur pasal yang melindungi hak-hak perempuan dan anak indonesia, yang selama ini masuk ke dalam kelompok termarginalkan di mata hukum. Namun banyak sekali hoaks yang diciptakan untuk menggerakkan masyarakat menentang disahkannya RKUHP. Padahal di mata akademisi dan pakar hukum memiliki dampak pengaruh positif bagi Indonesia,” ujar Andi Windo Wahidin, S.H.,M.H.

Narasumber sekaligus Dosen Pasca Sarjana PTIQ tersebut menyebut bahwa RKUHP nyatanya banyak memberikan dampak yang baik bagi masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Beliau menyatakan, KUHP lama juga tidak masuk akal karena beberapa pasal tidak memberikan sanksi setimpal. Seperti terdapat pernyataan yang terlalu ringan dan juga terlalu berat.

“KUHP lama juga tidak menyentuh hak masyarakat terkait Restorative Justice, padahal perkara tersebut dibutuhkan untuk mewujudkan masyarakat berkeadilan yang demokratis,” terang Andi Windo Wahidin, S.H.,M.H.

Banyaknya narasi yang menyebutkan bawah RKUHP justru malah mengancam kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan mengkritik juga ditepis oleh salah satu narasumber seminar ini yakni Dr. Fernando Silalahi S.H.,M.H.

Dirinya mengatakan, sistem hukum Indonesia saat ini berjalan kurang baik karena tidak ada penyesuaian KUHP.  Sistem hukum yang baik adalah hukum yang berdasar rule of law, bukan rule by law ataupun rule by man. KUHP lama tidak relevan karena produk kolonial lampau, dan tidak sesuai dengan perkembangan teknologi dan kondisi sosial masyarakat saat ini. Pada dasarnya, pembentukan perundang-undangan idealnya harus memiliki kejelasan tujuan.

“Apabila semuanya sudah terangkum dengan baik, selanjutnya perlu sosilisasi pada masyarakat terutama mahasiswa, agar dapat menjadi corong informasi RKUHP dan menyampaikannya pada masyarakat dan tidak ada kontroversi serta Judicial Review yang diajukan oleh masyarakat luas,” terang Dosen FH UKI yang juga Ikatan Advokat Indonesia.

Dr. Fernando Silalahi S.H.,M.H. kembali mengingatkan bahwa apabila ada pasal yang dianggap kurang pas bisa ditinjau dan didiskusikan secara terbuka untuk menyampaikan pasal yang belum cukup dipahami oleh masyarakat.  Dirinya menegaskan, karena semuanya sebenarnya hanya perlu penjelasan sebab pengertian hukum sendiri memiliki perspektif yang berbeda beda di mata setiap orang.

“Untuk itu, butuh penyelarasan agar pemahaman hukum dapat berjalan harmonis di masyarakat. Agar tidak menciptakan narasi yang ambigu dan tidak membuat masyarakat merasa dijebak oleh hukum,” jelasnya

Menurut Dr. Fernando Silalahi S.H.,M.H., RKUHP ini sudah bagus sesuai perkembangan zaman. Oleh karenanya, dibutuhkan kesatuan masyarakat untuk saling bahu-membahu memberikan pemahaman agar dapat bersinergi dalam memahami undang-undang yang belaku.

Selain itu, Dr. Albert Aries SH MH selaku Jubir Tim Sosialisasi RKUHP Kemenkumham juga memberikan tanggapan atas hal yang menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Menurutnya, KUHP adalah miniatur konstitusi bangsa, terutama untuk negara Indonesia yang sangat majemuk.

Dirinya menambahkan, realitanya saat ini hukum Indonesia masih terlalu bertumpu pada azas legalitas pasal 1 ayat 1 KUHP yakni “tiada satu perbuatan dapat dipidana kecuali ada aturan yang dtetapkan lebih dahulu sebelum tindakan tersebut dilakukan”. Hal tersebut malah menjadi pedang bermata dua, hingga muncul istilah “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas”.

“Untuk itu perlu adanya peneyesuaian aturan, karena beberapa pasal KUHP lama malah memberikan ketidakadilan. Terdapat 3 buku besar KUHP lama, yakni ketentuan umum, kejahatan, pelanggaran. Dan dalam RKUHP hal tersebut disederhanakan menjadi 2 buku besar saja, agar masyarakat dapat lebih memahami fungsi hukum yang ada. Namun banyak kontroversi muncul tetapi masyarakat malah memalingkan mata pada aturan lebih penting di buku satu RKUHP,” jelas narasumber yang juga merupakan Ahli Hukum Pidana.

Beliau menambahkan, setiap negara harus memiliki KUHP sendiri sedangkan KUHP Indonesia merupakan produk hukum warisan Belanda, dan bukan dari bangsa kita sendiri. Selain itu, KUHP tidak memiliki alternatif sanksi, sehingga mengganjar sanksi dengan tidak adil, dan RKUHP mengakomodasi alternatif sanksi. Misi konsolidasi juga terangkum dalam RKUHP untuk menyelaraskan KUHP lama dengan UU pendamping.

“Harmonisasi juga dirangkum dalam RKUHP untuk mengakomodasi kondisi masyarakat yang plural,” tutup Dr. Albert Aries, S.H., M.H.

Melalui diskusi ini, diharapkan masyarakat dapat melihat  RKUHP dengan jernih dsn berfikir positp untuk  kebaikan bangsa Indonesia itu sendiri. Indonesia adalah negara demokratis yang mana musyawarah menjadi salah satu kunci menghindari kesalahpahaman yang terjadi.

Oleh : Dewi Ayu Lestari

RUU KUHP  merupakan rancangan undang-undang yang disusun dengan tujuan untuk memperbaharui atau meng-update kuhp yang berasal dari wetboek van srafrecht voor nederlandsch, serta untuk menyesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini. Pemerintah menyatakan ada tujuh perubahan dalam draft terbaru yang meliputi 14 isu signifikan, seperti isu Menghina Presiden dan wakil PresidenTerancam Penjara 3,5 tahun. Dalam  RKUHP di pasal ini, tercantum aturan tindak pidana terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pada Pasa1 217 diatur tentang penyerangan terhadap presiden dan wakil presiden. Lalu kedua, Penista Agama Dihukum 5 Tahun Penjara, draft RKUHP pasal tentang penistaan agama diatur dalam BAB VII. 

Isu ketiga adalah tentang Suami Perkosa Istri Atau Sebaliknya, Terancam Hukuman 12 Tahun. Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru memperluas definisi pemerkosaan. Satu pasal yang mencuri perhatian soal perkosaan dalam hubungan pernikahan suami istri. Pada draf terbaru RUU KUHP, aturan perkosaan tersebut diatur dalam pasal 477. Pasal tersebut menyebutkan, seseorang bisa dipidana jika melakukan kekerasan atau ancaman bersifat memaksa orang lain bersetubuh bisa dipidana 12 tahun penjara. Pasal yang menjadi isu keempat adalah Kumpul Kebo Terancam Pidana Enam Bulan, aturan soal perzinaan diatur dalam bagian keempat pasal 415, 416 dan 417.Pasal 415 mengatur seseorang yang bersetubuh tanpa status suami dan istri bisa dipidana paling lama satu tahun. Namun, perzinaan tidak akan dilakukan penuntutan tanpa ada pengaduan dari suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan dan orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

Isu kelima yaitu, hukuman mati bisa diubah jadi seumur hidup asal bersikap baik, kemudian ada pula yang menjadi isu keenam, yaitu unggas masuk kebun orang: pelaku didenda dan hewan disita pemerintah.isu selanjutnya mengaku dukun & punya kekuatan gaib diancam 18 bulan, isu tentang pelaku aborsi dipidana 4 tahun, dokter ikut bantu dihukum berat, isu tentang penganiayaan terhadap hewan yang akan mendapat kurungan penjara maksimal 1 tahun.  isu selanjutnya , yaitu orang tua yang mengajak anak mengemis dapat dipidana 4 tahun, adapula  isu tentang advokat curang, lalu isu tentang penghinaan terhadap pengadilan (pemerintah mengubah formulasi pada pasal 280 yang mengatur mengenai penghinaan terhadap pengadilan. Terutama pada huruf c yang menyatakan setiap orang yang tanpa izin merekam, mempublikasikan secara langsung, atau memperbolehkan untuk mempublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung atau Contempt of Court dan Hukum Adat. 

Penyusunan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) telah melewati perjalanan yang Panjang melalui sejumlah tahapan yang berliku pula, tahapan ini pertama kali disusun pada tahun 2015. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani mengungkapkan bahwa, selaku salah satu pihak yang ikut serta merumuskan dan merancang RKUHP sejak 2015, telah melibatkan masyarakat sipil dalam hal ini Aliansi Nasional Reformasi RKUHP. Arsul menegaskan masyarakat sipil dilibatkan bahkan saat menyusun Daftar Inventarisir Masalah (DIM) RKUHP. 

Menurut Arsul, DPR telah secara partisipatif dalam penyusunan RKUHP. DPR telah membuka ruang publik sehingga banyak juga masukan dari masyarakat terkait dengan RKUHP. dianggap tidak partisipatif saat menyusun RKUHP. DPR menyadari bahwa pihaknya perlu mendapatkan masukan dari masyarakat dan hal tersebut telah dilakukaan sehingga harapannya RKUHP dapat mengakomodir kepentingan – kepentingan masyarakat luas dengan berbagai macam kajian maupun analisa.

Arsul menyebutkan, materi DIM banyak mendapatkan masukan dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari elemen masyarakat sipil. Bahkan masukan tersebut digunakan sebagai dasar pembahasan RKUHP. Arsul memastikan  usulan DIM dari berbagai elemen masyarakat sipil telah diakomodir dengan baik. Sementara itu,  Arsul menyebutkan bahwa pembahasan RKUHP juga melibatkan para ahli dan tim pakar dari berbagai universitas di Tanah Air dalam penyusunannya. Menurut Arsul, RUU (KUHP) telah dibahas bahas selama 4 tahun dari pertengahan 2015 sampai September 2019 ketika periode DPR 2014-2019 berakhir. Selama 4 tahun lebih itu DPR keliling. Kampus yang putaran pertama diminta masukan dan memberikan kajian maupun Analisa yaitu dari Universitas Syah Kuala, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Mataram.

Terlepas dari fakta bahwa pengesahannya ditunda, RKUHP sebenarnya mengusung misi penting. Yakni, bukan semata untuk mengakhiri eksistensi regulasi warisan kolonial, tetapi lebih dari itu adalah dalam rangka merancang arah pembaruan hukum pidana nasional yang berlandaskan pada hak asasi manusia (HAM), keadilan gender, dan sejalan dengan perkembangan hukum pidana modern. Semuanya akan bermuara untuk kepentingan masyarakat luas.

)* Penulis adalah kontributor pertiwi Institute  

Oleh : Aulia Hawa )*

Ketika kasus Covid-19 naik maka masyarakat diharap untuk meningkatkan kewaspadaan, termasuk dengan mengikuti vaksinasi lengkap dan booster. Vaksinasi lengkap dan booster tersebut terbukti efektif dalam meningkatkan kekebalan komunal guna mencegah kenaikan kasus Covid-19.

Pandemi belum juga berakhir dan sekarang malah terjadi tren kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia. Jika bulan lalu jumlah pasien Corona hanya 500-an, maka per 19 Juni 2022 jumlah pasien mencapai 1.167 orang. Kenaikan ini mengkhawatirkan karena Indonesia sedang bersiap memasuki fase endemi, tetapi kurva di grafik pasien Covid-19 malah menanjak lagi.

Presiden Jokowi mengingatkan masyarakat untuk vaksin booster. Rakyat wajib mewaspadai Corona Omicron Subvarian BA.4 dan BA.5, oleh karena itu warga diminta untuk segera booster. Persediaan vaksin masih melimpah, sementara peminat untuk suntikan ketiga masih sedikit. Capaian untuk vaksin booster masih 21,26%. Dalam artian, peminat booster amat rendah karena cakupan vaksinasi (dua dosis) sudah lebih dari 70%.

Masyarakat diminta untuk menaati anjuran Presiden Jokowi. Vaksin booster masih digratiskan dan statusnya sama seperti vaksin corona suntikan pertama dan kedua, yakni sudah halal MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan memiliki nomor BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Tidak ada lagi keraguan untuk suntik booster.

Corona Omicron subvarian BA.4 dan BA.5 lebih berbahaya karena meningkatkan kasus Corona di beberapa negara di dunia, seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Jerman, dan Portugis. Untuk mengendalikan virus Subvarian baru ini maka harus memperbaiki sistem kesehatan. Salah satu caranya adalah dengan vaksin lengkap hingga dosis ketiga.

Dokter Mei Neni Sitaresmi, pakar kesehatan anak dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menyatakan bahwa efektifitas vaksin dosis kedua berlangsung selama 6 bulan. Oleh karena itu perlu suntikan booster agar imunitas tubuh tetap terjaga. Jika sudah disuntik booster maka imunitas seseorang meningkat 92%.

Vaksin booster memang diberikan pasca 6 bulan setelah suntikan kedua dan ada jadwal yang tertera di aplikasi Peduli Lindungi. Jika masyarakat belum mengunduh aplikasi itu maka bisa melihat tanggal terakhir vaksin di kartu vaksin, dan melihat kalender untuk mengetahui kapan jadwal booster. Jangan malas untuk booster karena demi kesehatan diri sendiri.

Jika masyarakat tertib untuk disuntik booster maka kekebalan tubuh mereka akan meningkat. Akibatnya pelan-pelan terbentuk kekebalan kelompok, yang bisa melindungi banyak orang dari bahaya penularan Corona. Jangan remehkan Corona karena bisa mengancam nyawa.

Sebaliknya, ketika masyarakat malas-malasan untuk disuntik vaksin booster dengan alasan cukup 2 kali injeksi, maka malah berbahaya. Setelah 6 bulan dari suntikan vaksin kedua maka imunitas tubuh mereka menurun. Ketika lupa tidak memakai masker dan tidak mematuhi poin lain dalam protokol kesehatan, maka bisa saja ketularan Corona dan menderita selama 14 hari.

Saat jumlah pasien Corona berada di kisaran 1.000-an per hari, maka wajib ditekan dengan vaksin booster. Jika banyak yang lalai dan meremehkan suntikan ketiga, maka jumlah pasien Covid-19 akan naik lagi. Pandemi akan berlangsung lebih lama dan tidak tahu kapan berakhirnya. Jangan sampai hal buruk ini terjadi, oleh karena itu ayo segera vaksin booster.

Pasca vaksinasi memang ada KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Namun KIPI jangan dijadikan alasan untuk tidak suntik booster. Kebanyakan KIPI hanya level ringan, yakni pegal di lengan yang disuntik dan mudah mengantuk. Untuk mengantisipasi maka masyarakat bisa mengkonsumsi paracetamol agar mengurangi rasa nyeri.

Jumlah pasien Corona meningkat akhir-akhir ini dan masyarakat diminta untuk tetap tenang namun waspada dengan selalu taat Prokes serta mengikuti vaksinasi. Dengan adanya kepedulian bersama, maka diharapkan lonjakan kasus Covid-19 dapat ditekan dan transisi pandemi ke endemi dapat diwujudkan.

)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute 

JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengatakan, pemekaran provinsi Papua dan Papua Barat bertujuan untuk mendekatkan pemerintah daerah dengan masyarakat. Selama ini pelayanan pemerintah terkendala dengan wilayah Papua yang luas dan infrastruktur yang kurang memadai.

“Pemekaran mendekatkan pemda di tengah kehidupan masyarakar dan meningkatkan infrastruktur,” kata Guspardi dalam program acara dialog live di Radio Elshinta Jakarta dengan tema “Pemekaran Wilayah untuk Percepatan Pembangunan Papua”, Rabu (18/5/2022).

Ia mengatakan, DPR RI mengagendakan pembahasan RUU Pemekaran Provinsi Papua dan Papua Barat pada masa sidang ke-5. RUU tersebut dipastikan dapat memajukan Papua.

Guspardi menambahkan, pemekaran wilayah Papua dan Papua Barat harus dilakukan karena amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Anggota Pansus melihat banyak dana yang dikucurkan dari pusat terkait Otsus namun belum dimanfaatkan dengan baik untuk Papua.

“Jika sudah ada aturan, diserahkan kepada menteri dalam negeri (Mendagri) untuk menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan daerah otonomi. Tapi bila belum ada UU tentang otonomi daerah baru, tentu Mendagri juga belum bisa berbuat apa-apa,” ungkap dia.

Ia mengatakan, dengan pemekaran terdapat penambahan tiga provinsi, yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.

suaratimur.id – Majelis Rakyat Papua (MRP) berulang kali menyampaikan desakan agar rencana pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Papua, yakni pemekaran Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, dan Papua Selatan, ditangguhkan atau ditunda. Ketua MRP, Timotius Murib, bahkan mengklaim bahwa permintaan tersebut berlandaskan aspirasi dari masyarakat Papua yang menolak pemekaran.

Namun, didapati fakta bahwa MRP menyalahi nilai objektivitas karena tidak mengakomodir aspirasi rakyat Papua secara keseluruhan terkait DOB tersebut, sehingga terkesan bersifat politis dan hanya didasari oleh kepentingan suatu kelompok tertentu. Sementara, tidak semua rakyat Papua menolak DOB dan bahkan mengharapkan pembentukan DOB dilakukan secara cepat mengingat manfaat yang akan dibawa terhadap kemajuan Papua serta kesejahteraan masyarakatnya.

MRP Harus Akomodir Seluruh Aspirasi Rakyat Papua

Langkah MRP menemui Presiden Jokowi untuk menyampaikan aspirasi bahwa rakyat Papua menolak daerah otonomi baru dinilai memprihatinkan dan disesalkan oleh berbagai pihak. Salah satunya, Ketua Pemuda Saireri, Gifli Buinei, yang meminta kepada MRP sebagai lembaga representasi kultur orang Papua harus mengakomodir seluruh kepentingan aspirasi rakyat Papua secara menyeluruh dan objektif. Papua terdiri dari lima wilayah adat yaitu Tabi, Saireri, Animha, Lapago, serta Mepago, dan diketahui bahwa wilayah adat Tabi, Saireri, dan Animha secara konsisten menyampaikan kepada MRP mendukung daerah otonomi baru. Kemudian, kalau ada wilayah Lapago dan Mepago yang menolak, mungkin itu sah-sah saja, tapi terlihat disini bahwa MRP tidak secara objektif untuk menyampaikan aspirasi.

Terlebih, pimpinan MRP dalam menyampaikan aspirasi tersebut tidak melalui mekanisme internal MRP karena mestinya aspirasi yang kemudian yang MRP terima harus melalui mekanisme internal rapat pleno. Sehingga, jangan sampai pikiran pimpinan secara pribadi dianggap menjadi pikiran lembaga dan disampaikan ke pemerintah pusat. Hal ini tentu salah, dan penyampaian MRP tersebut menjadi tidak objektif bahkan diskriminatif karena seharusnya aspirasi dua kelompok pro dan kontra tetap diakomodir dan disampaikan ke pemerintah pusat, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.

Anggota DPR RI Dapil Papua, Yan Mandenas, turut mempertanyakan aspirasi penolakan DOB yang dibawa MRP kepada Presiden RI Joko Widodo di Jakarta beberapa waktu lalu. Sebab, tak semua masyarakat Papua menolak DOB Papua. Disinyalir pimpinan dan anggota MRP tidak membawa aspirasi dari lembaga yang mewakili masyarakat adat, perempuan, dan agama. Sehingga, MRP perlu membaca dan memahami, serta menafsirkan dengan saksama Pasal 1 – 79 UU 2/2021 tentang Perubahan Kedua UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua. Anggota MRP tidak berjalan mewakili dirinya sendiri, tetapi harus merepresentasikan lembaga. Di dalam lembaga MRP itu ada perwakilan dari setiap wilayah adat yang terdiri dari unsur adat, perempuan, dan agama.

Aksi pimpinan dan anggota MRP untuk menyampaikan aspirasi penolakan pembentukan DOB Papua sangat keliru karena menciderai amanat Otsus yang diberikan kepada MRP dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga kultur yang merepresentasikan adat, perempuan, dan agama. Seharusnya, MRP datang ke pusat dan sampaikan bahwa masyarakat dari wilayah adat Animha, Saireri, dan juga Bomberai menginginkan pemekaran. Bukan justru datang mengatasnamakan masyarakat adat yang presentasi data dan argumentasinya sangat diragukan karena berdasarkan kemauan pimpinan MRP.

MRP Bukan Lembaga Politik

Lebih lanjut, Yan Mandenas menegaskan bahwa MRP bukanlah lembaga politik. MRP sejatinya merupakan lembaga yang lahir dari implementasi Undang-Undang Otsus. Berdasarkan UU 2/2021, MRP tidak diberi syarat sebagai lembaga kultur, agama, dan perempuan untuk menyampaikan aspirasi yang sifatnya politis. Sementara aspirasi yang MRP terima dan sampaikan kepada pemerintah pusat adalah aspirasi demonstrasi massa yang sarat akan kepentingan politik praktis.

Jika MRP ingin menyampaikan aspirasi, maka harus berdasarkan tupoksinya dengan mengumpulkan perwakilan masyarakat adat, perempuan, dan agama dari setiap wilayah adat di Papua dan Papua Barat. Lalu, melakukan hearing dialog di 7 wilayah adat untuk menjaring aspirasi masyarakat. Kemudian, aspirasi itu dibawa setiap perwakilan dari tiga unsur MRP yang terdiri dari adat, agama, dan perempuan. Barulah aspirasi itu diplenokan secara resmi dan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo, Menkopolhukam Mahfud MD, serta DPR RI.

Atas hal tersebut, publik kini menuntut MRP agar lebih objektif, dan menangkap serta menyampaikan aspirasi masyarakat Papua secara keseluruhan tanpa ada yang dikurangi atau ditutup-tutupi. Masyarakat Papua sejatinya menantikan provinsi baru karena menyadari akan membawa berbagai dampak positif bagi rakyat di Bumi Cendrawasih. Pembangunan yang dilakukan tidak hanya di bidang infrastruktur tetapi juga edukasi dan kesehatan. Pengesahan RUU DOB perlu mendapat dukungan dari banyak pihak karena menawarkan beragam kontribusi positif. Dengan adanya dukungan dari seluruh masyarakat, maka pemekaran wilayah Papua dapat segera terlaksana dan pelayanan publik akan semakin meningkat.

__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Tanggal 1 Mei selalu diidentikan dengan Hari Buruh Internasional. Namun di Indonesia, lebih khusus di Papua, ada perayaan lain setiap tanggal tersebut, yakni Hari Integrasi Papua ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rakyat Papua pun bersuka cita merayakan hari bersejarah ini.

Sejarah mencatat, sekitar 59 tahun yang lalu, tepatnya 1 Mei 1963, United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) resmi menyerahkan wilayah Irian Barat (sekarang Papua) yang sebelumnya dikuasai Belanda kepada Pemerintah Indonesia. Di hari yang sama, bendera Merah Putih kembali dikibarkan di Bumi Cendrawasih. Sementara itu, dunia internasional mengakui secara sah Papua bagian NKRI setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Perjuangan Pembebasan Irian Barat diawali Presiden Soekarno 19 Desember 1962 dengan mengumumkan Tri Komanda Rakyat (Trikora) di Alun-alun Yogyakarta untuk:

  1. Gagalkan Pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda (1 Desember 1961),
  2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, Tanah Air Indonesia,
  3. Bersiaplah Untuk Mobilisasi Umum Guna Mempertahankan Kemerdekaan dan Kesatuan Tanah Air dan Bangsa,
    dengan membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Soeharto (Presiden RI ke-2).

Sayangnya, terdapat kelompok di Papua yang mengingkari sejarah. Mereka sibuk membuat narasi negatif cacat sejarah bergabungnya Papua dengan NKRI yang tidak lain demi ambisi pribadi merdeka. Padahal, sejarah sudah sedemikian gamblang menjelaskan Papua final NKRI.

Sejarah 1 Mei 1963 Jangan Diputarbalikkan

Pepera pada 1969 menjadi salah satu catatan sejarah yang menggambarkan keinginan masyarakat Papua ingin kembali ke Indonesia. Bahkan jauh sebelum Pepera, Tokoh Pejuang Papua, Ramses Ohee, menjelaskan bahwa keinginan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Para pemuda Papua hadir dan berikrar bersama pemuda daerah lainnya saat Sumpah Pemuda. Ayah Ramses, Poreu Ohee menjadi salah satu pemuda Papua yang hadir ketika Sumpah Pemuda.

Jika kemudian ada pihak yang memutarbalikkan sejarah dan menyangkal fakta integrasi Papua ke NKRI, Ramses menyebutnya sebagai kelompok minim sejarah. Ramses meminta masyarakat Papua mensyukuri keberadaan negara yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena negara berkontribusi positif bagi pembangunan Papua.

Wali Kota Jayapura, Benhur Tommy Mano, meminta fakta sejarah dari peringatan 1 Mei 1963 yakni kembalinya Papua ke Indonesia harus dijaga dan disosialisasikan ke generasi mendatang agar tidak diputarbalikkan. Semua pihak pun kemudian harus ikut membangun Papua dalam memaknai peringatan 1 Mei 1963 ini, seperti dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sektor kesehatan, pendidikan, infrastruktur serta ekonomi.

Tommy menyadari terdapat perbedaan dalam memaknai peringatan 1 Mei 1963 itu. Namun, ia mengaku akan terus melakukan pendekatan persuasif agar peringatan Papua menjadi bagian Indonesia bisa diterima oleh seluruh masyarakat Papua.

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPN) Pemuda Adat Papua (PAP), Yan Cristian Arebo, angkat bicara soal kontroversi 1 Mei, dengan menegaskan bahwa sejarah jangan diputarbalik. Orang Papua terdahulu yang menjadi pelaku sejarah perjuangan telah menyatakan diri bergabung dengan NKRI pada masa itu, yakni pada 1 Mei 1963 melalui Pepera.

Yan kemudian mengimbau kepada kelompok yang berseberangan untuk berhenti membangun ideologi Papua Merdeka dan sadar bahwa Papua adalah bagian dari NKRI. Serta, meminta masyarakat Papua untuk tidak termakan isu yang menyesatkan yang dibangun oleh kelompok-kelompok yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Seluruh masyarakat Papua harus bergandeng tangan untuk melawan paham kelompok yang bertentangan dengan NKRI.

Kemajuan Papua Terus Dirasakan sejak Integrasi dengan Indonesia

Selayaknya daerah-daerah bagian NKRI lainnya, pemerintah pusat juga telah membuat dan menjalankan program-progam khusus yang bertujuan untuk membantu mendorong percepatan pemerataan pembangunan di wilayah Papua melalui program pendidikan, infrastruktur, SDM, dan lain-lain. Sehingga, diharapkan wilayah Papua mencapai pemerataan pembangunan yang setara dengan wilayah lainnya.

Tokoh integrasi Papua, Yahya Solossa, mengakui banyak kemajuan perkembangan pendidikan dan kesehatan sejak integrasi Papua dengan Indonesia. Otonomi khusus (Otsus) yang sudah diberikan pemerintah pusat diibaratkan oleh Yahya sebagai kunci rumah. Menurutnya, terserah orang Papua mau membuat apa di rumah sendiri. Tapi kalau orang Papua ikut menyelewengkan, sama saja menghancurkan rumah sendiri.

Pembangunan di Papua sangat baik terlebih di era Presiden Jokowi saat ini. Di antaranya, penyelenggaraan PON yang sukses, memperkuat entrepreneur warga Papua, pembangunan infrastruktur seperti jalan tol sebagai penghubung, dan lainnya. Upaya tersebut turut menjadi bukti bahwa pemerintah tengah menggenjot pembangunan di Papua. Kehadiran Otsus menambah pesat proses pembangunan. Tak hanya dalam hal infrastruktur, namun juga kualitas sumber daya manusia (SDM).

Semoga dengan memahami sejarah serta komitmen negara dalam membangun Papua, dapat membangkitkan semangat nasionalisme generasi muda Papua.

__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Sejak awal menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menunjukkan komitmen untuk membangun Bumi Papua. Di bawah kepemimpnan Presiden Jokowi, pemerintah terus melaksanakan berbagai proyek pembangunan di Bumi Cendrawasih. Seringnya Presiden Jokowi mengunjungi Papua tentunya karena ingin mengetahui betul permasalahan yang ada di lapangan. Dengan melihatnya secara langsung, Presiden akan dapat menentukan solusi yang tepat dan efektif. Pemerintah memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul sebagai bagian dari sebuah bentuk kerangka besar jawaban dari solusi permasalahan yang ada di Papua. Kini, perjalanan atau mobilitas di Papua sudah tak sesulit dan selama dulu, baik akses darat, udara, maupun laut, terlebih begitu adanya tol laut yang digagas Presiden Jokowi. Pelayanan masyarakat pun sudah semakin sangat memuaskan. Namun demikian, pemerintah tidak lantas berhenti untuk terus melakukan upaya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) menjadi salah satu bukti nyatanya. Percepatan serta pemerataan pembangunan di Papua terus digencarkan demi kehidupan masyarakat Papua yang lebih nyaman dan makmur.

Pembentukan DOB Hadirkan Banyak Manfaat

Rencana pemekaran Provinsi Papua mendatangkan berbagai tanggapan. Meski sering terdengar penolakan dari segelintir masyarakat atau kelompok, namun rupanya lebih banyak masyarakat yang setuju dan mendukung penuh pemekaran tersebut hanya saja ‘kurang menarik’ menurut media untuk memberitakannya secara masif, hingga akhirnya kalah pamor dari suara-suara penolakan.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengklaim, pihaknya telah menerima berbagai aspirasi terkait rencana pemekaran Provinsi Papua. Termasuk banyaknya aspirasi dari masyarakat Papua agar pembahasan RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Pegunungan Tengah tetap dilanjutkan. Langkah-langkah yang akan diambil nanti mempertimbangkan aspirasi-aspirasi tersebut, mengingat saat ini masih reses dan juga juga belum turunnya surat presiden atau Surpres.

Sementara itu, salah satu pernyataan dukungan datang dari Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Pemuda Adat Papua, Jan Kristian Arebo. Menurutnya, pemekaran wilayah otonomi di Papua punya banyak manfaat. Salah satunya adalah dalam rangka untuk percepatan pembangunan di Papua. Selain itu, pembentukan pemerintahan otonom juga semakin mempersempit ruang gerak organisasi-organisasi teroris bersenjata api di Papua. Oleh karenanya, Pemuda Adat Papua sangat mendukung penuh kebijakan pemerintah pusat membentuk DOB untuk wilayah Papua Tengah, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan.

Selanjutnya, Jan Kristian Arebo juga menegaskan bahwa sebagai bagian dari kelompok masyarakat Papua, Pemuda Adat Papua berseberangan sikap dengan organ-organ yang menuntut kemerdekaan Papua. Perbedaan sikap politik itu menunjukkan bahwa tidak semua orang Papua setuju dengan ide pemisahan diri dari Indonesia dan membentuk negara Papua. Dirinya sendiri pun tegas menyatakan diri sebagai warga negara Indonesia yang setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta NKRI harga mati.

Dukungan lainnya turut menggema dari Bupati Merauke, Romanus Mbaraka, yang mendorong percepatan pemekaran wilayah Papua Selatan menjadi DOB di Tanah Papua. Menurutnya, masyarakat di Papua Selatan yakni Merauke, Mappi, Boven Digoel, dan Asmat, secara total sangat setuju pemekaran dapat dilakukan dan dipercepat. Sebab, langkah tersebut dapat mempercepat pembangunan di Tanah Papua, meningkatkan pelayanan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu mengingat berbagai hambatan terkait pembangunan di Papua yang salah satunya menyangkut luasnya cakupan wilayah.

Romanus menyadari bahwa selama ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung pembangunan di Papua. Hal itu ditunjukkan melalui peningkatan infrastruktur, dana otonomi khusus (Otsus), dan berbagai upaya lainnya. Namun, karena cakupan wilayah Papua yang begitu luas, upaya tersebut belum membuahkan hasil maksimal dalam mencapai target kesejahteraan masyarakat, sehingga muncul pentingnya membentuk DOB.

Membangun Papua dengan Dasar Kearifan Lokal

Banyak narasi yang beredar liar dengan menyebut bahwa berbagai pembangunan di Papua, termasuk DOB, dengan segala macam investasi yang masuk akan menyebabkan gelombang warga pendatang hingga membuat masyarakat asli Papua terpinggirkan. Hal tersebut tentulah hanya kekhawatiran tanpa dasar yang kuat serta permainan narasi dari kelompok yang tidak senang jika masyarakat Papua hidup nyaman dan makmur sebagai warga negara Indonesia.

Menjawab kekhawatiran tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memiliki fokus menyelesaikan permasalahan terkait pengakuan hak-hak tanah masyarakat adat yang berdampak pada pembangunan di Papua. Kementerian ATR/BPN mendukung pemerataan pembangunan di Provinsi Papua sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat.

Staf Khusus Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Hukum Adat, M. Adli Abdullah, mengatakan Kementerian ATR/BPN berkomitmen membuat rencana pembangunan Papua yang juga menjamin kesejahteraan masyarakat setempat. Kehadiran Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, mengatur jika ada rencana investasi di tanah adat, maka pihak pelaku usaha harus bekerjasama dengan masyarakat adat. Dengan demikian, investasi dapat terus berjalan tanpa membuat masyarakat adat termarginalkan. Keharmonisan antara rencana pembangunan, pemenuhan hak masyarakat adat, dan komitmen Pemerintah Indonesia, merupakan hal yang ditekankan dalam membuat dasar pembangunan Papua.

Selain itu, pembangunan dengan dasar kearifan lokal juga dapat terlihat dari rencana penamaan provinsi baru di Papua yang disesuaikan dengan wilayah adat.

Sekali lagi, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sangat peduli dengan penyelesaian permasalahan yang ada di Papua. Membangun daerah secara merata, menjaga kondusivitas wilayah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk bagaimana pengakuan terhadap masyarakat adat di tengah semangat membangun Tanah Papua.

__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)

PALANGKA RAYA – Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Binda) Kalimantan Tengah, Brigjen TNI Sinyo mengatakan, dalam rangka memfasilitasi kebutuhan masyarakat atas vaksinasi booster Binda Kalteng menyediakan layanan vaksin termasuk pada malam hari pasca kegiatan Salat Tarawih. Warga antusias mengikuti vaksinasi karena ingin pulang kampung dan bertemu dengan keluarga secara aman.

Karena itu dia mengimbau bagi masyarakat Kalteng yang ingin mudik dan belum mendapat booster, agar sebaiknya melakukan paling tidak dua minggu sebelum berangkat mudik. Hal itu karena butuh waktu bagi vaksin untuk membentuk imunitas yang optimal.

“Mobilitas masyarakat yang masif saat arus mudik maupun balik lebaran, memungkinkan penularan Covid-19 yang lebih tinggi. Maka dari itu vaksinasi booster penting dilakukan untuk membantu mengurangi dampak kesakitan jika tertular Covid-19,” kata Sinyo.

Bagi masyarakat yang belum vaksinasi penguat dan kebetulan akan melakukan mudik, Sinyo mengimbau segera melakukan vaksinasi jika telah tiba waktunya. Vaksinasi booster bisa disuntikkan minimal setelah tiga bulan kepada orang yang sudah divaksinasi lengkap.

“Vaksin booster dapat dilaksanakan minimal tiga bulan setelah vaksinasi lengkap. Vaksin tersebut akan memastikan masyarakat yang melakukan perjalanan mudik dalam keadaan sehat sehingga keluarga yang dikunjungi pun sehat, sehingga dapat kembali pulang dalam keadaan sehat,” sebut Sinyo.
Sinyo menegaskan, vaksinasi Covid-19 merupakan upaya komunal, tidak hanya untuk melindungi diri, tetapi sekaligus melindungi masyarakat lainnya, terutama para orang tua dari risiko kematian dan fatalitas sakit akibat Covid-19.

“Mari hentikan perdebatan. Tujuan vaksinasi untuk melindungi masyarakat dari kematian akibat Covid-19. Bukan untuk mempersulit mobilitas,” katanya.

Sementara itu, realisasi vaksinasi yang dilaksanakan Binda Kalteng, Sabtu (9/4/2022), berhasil menjangkau 5.003 orang, yakni  di Kab. Katingan sebanyak 444 dosis, Kab. Pulang Pisau sebanyak 263 dosis, Kab. Gunung Mas sebanyak 733 dosis, Kab. Kapuas sebanyak 371 dosis, Kab. Kotawaringin Barat sebanyak 552 dosis, Kab. Kotawaringin Timur sebanyak 462 dosis, Kab. Seruyan sebanyak 289 dosis, Kab. Barito Selatan sebanyak 562 dosis, Kab. Barito Utara sebanyak 372 dosis, Kab. Murung Raya sebanyak 137 dosis, Kab. Lamandau sebanyak 172 dosis, Kab. Barito Timur sebanyak 251 dosis dan Kota Palangka Raya sebanyak 395 dosis.

“Capaian vaksinasi yang kami laksanakan sejak 1-9 April 2022 sudah mencapai 30.514 orang atau 19,69% dari target bulanan 155 ribu dosis,” sebut Sinyo.

Sedangkan untuk kegiatan vaksinasi hari ini (10/4/2022), dilaksanakan di Kab. Barito Selatan, Kab. Kotawaringin Timur, Kab. Katingan, Kab. Murung Raya, Kab. Barito Timur, Kab. Barito Utara, Kab. Lamandau, Kab. Kapuas, Kota Palangka Raya, Kab. Kotawaringin Barat, Kab. Seruyan, Kab. Pulang Pisau, dan Kab. Gunung Mas.

Oleh : Ade Istianah )*

Ibu kota negara (IKN) akan dipindah dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Ketika ada relokasi IKN maka tidak hanya menciptakan berbagai fasilitas baru, tetapi juga akan mewujudkan sinergi sosiokultural dalam rangka memajukan Indonesia. 

Pemindahan ibu kota negara rencananya akan dimulai tahun 2024. Meski masih dua tahun lagi, tetapi persiapannya sudah ada sejak jauh-jauh hari, karena ini adalah sebuah proyek super besar. Memindahkan ibu kota tidak sekadar memboyong pegawai pemerintahan dan membuat kantor baru, tetapi juga melakukan berbagai penyesuaian di tempat baru.

Penyesuaian yang utama adalah dari segi kultural karena ada kultur yang berbeda jauh antara pendatang yang berasal dari DKI Jakarta dengan warga asli Borneo. Di sanalah ada pertemuan dari berbagai etnis, karena warga Jakarta sendiri bukan hanya orang betawi asli, tetapi juga ada yang keturunan jawa, sunda, dll. Mereka akan berinteraksi dengan warga dayak, banjar, dll dan saling mengakrabkan diri.

Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) Jenderal (purn) Budi Gunawan menyatakan bahwa salah satu parameter keberhasilan pembangunan ibu kota negara adalah terjadinya sinergi sosiokultural warga yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Dalam artian, memang ada perbedaan background dari warga IKN karena etnisnya tidak sama, tetapi mereka akan menyesuaikan diri dan akan bekerja sama untuk membangun negeri ini.

Sinergi ini yang dibutuhkan karena memang butuh kerja sama yang baik antar warga negara, tidak melihat apa sukunya, tetapi melihat dari kesungguhannya untuk ingin maju. Mereka tidak mempermasalahkan perbedaan, karena yang penting adalah kesatuan. Di sanalah terjadi implementasi bhinneka tunggal ika. Saat ada perbedaan tidak menimbulkan konflik, tetapi bersemangat untuk bersatu walau latar belakangnya berbeda-beda.

Jenderal (purn) Budi Gunawan menambahkan, pada awalnya memang ada pengelompokan. Misalnya dari pendatang akan bergaul dengan pendatang dan masyarakat asli Kalimantan juga memiliki kelompok yang berbeda. Hal ini memang wajar ketika ada pemindahan di tempat baru, karena masih dalam tahap adaptasi.

Akan tetapi lama-lama akan ada peleburan sehingga masyarakat multi etnis akan bergaul satu sama lain. Mereka tidak mempermasalahkan perbedaan, karena sadar bahwa Indonesia memang terdiri dari banyak etnis dan latar belakang masyarakat yang berbeda. Jadi, kita tidak usah khawatir akan ada pertentangan antara pendatang dan warga asli, karena akan ada interaksi secara alami dan berlangsung damai.

Perwakilan masyarakat adat Dayak dan Banjar sudah merestui IKN.  Mereka sadar bahwa ibu kota baru akan membawa banyak manfaat bagi Indonesia, khususnya di wilayah Borneo, karena ada banyak fasilitas baru yang dibangun. Sehingga akan memudahkan kehidupan masyarakat.

Sinergi sosiokultural akan terjadi karena semua warga sadar bahwa perbedaan itu indah. Mereka tidak mempermasalahkan latar belakangnya apa, karena paham bahwa kita semua adalah warga Indonesia. Semua melebur menjadi satu dan bersemangat untuk membentuk IKN yang modern dan terus maju.

Sinergi memang diperlukan agar IKN bertransformasi menjadi kota modern. Jika sudah ada banyak investor maka Penajam (yang akan berubah namanya menjadi Nusantara) akan jadi wilayah yang cantik dan dipenuhi oleh turis asing, serta menambah devisa negara.

Relokasi IKN adalah sebuah proyek maha penting karena akan mewujudkan pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Di Borneo akan makin maju karena ada berbagai fasilitas dan infrastruktur baru. Ketika ada pemindahan IKN maka ada pertemuan antara 2 pihak yakni pendatang dan warga asli, dan mereka akan bersinergi untuk membangun Indonesia.

)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute