suaratimur.id – Sebuah bentuk keterbatasan nalar dan kegagalan dalam menyerap fakta sejarah secara menyeluruh kali ini dipertontonkan oleh Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Ones Suhuniap, yang membahas tentang proses bergabungnya Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lalu pada ujungnya menuntut diselenggarakannya referendum di Papua.

Disampaikan bahwa pengalihan administrasi pemerintahan wilayah Papua dari Otoritas Eksekutif Sementara PBB, yakni UNTEA, kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 disertai mandat mengadakan Hak Penentuan Nasib Sendiri sesuai ketentuan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1514 (XV) tentang Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan Rakyat Jajahan. Hal itu juga tertuang dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1952.

Namun menurutnya, penyelenggaraan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera pada tahun 1969 tidak sesuai aturan Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) maupun Perjanjian New York 1962. Ia menuding Pepera 1969 tidak demokratis serta cacat hukum dan moral.

Selain itu, Suhuniap menolak dalil yang menyatakan hasil Pepera 1969 telah diadopsi Resolusi Majelis Umum PBB 2504, dan juga menolak Perjanjian Roma 30 September 1962. Maka dari itu, diutarakannya bahwa KNPB menilai Indonesia belum memenuhi kewajiban untuk memberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua sehingga referendum ulang harus digelar.

Memahami Sejarah Integrasi Papua ke dalam NKRI

Bergabungnya Papua ke dalam bingkai NKRI adalah sesuatu hal yang sudah final. Bangsa ini, bahkan dunia internasional, sudah sepakat dan mengakui bahwa Papua mutlak bagian integral dari Indonesia. Terlebih, proses act of free choice yang dilakukan pada tahun 1969 adalah proses yang sah karena telah memperhatikan berbagai prinsip internasional.

Tertulis dalam catatan resmi sejarah, pada 1 April 1968, Dr. Fernando Ortiz Sanz ditunjuk sebagai wakil PBB atau UN Representative for West Irian (UNRWI). Ortiz kemudian tiba di Indonesia pada tanggl 12 Agustus 1968 dan melakukan perjalan bersama ketiga stafnya selama 10 hari, lalu tiba di tanah Papua pada tanggal 23 Agustus 1968. Proses terus berjalan hingga akhirnya pada 30 Mei 1969, UNRWI menerima jadwal pelaksanaan Pepera.

Proses Pepera ini berjalan semenjak tanggal 14 Juli 1969 di Merauke, kemudian dilanjutkan pada tangga 17 Juli 1969 di Wamena, 19 Juli 1969 di Nabire, 23 Juli 1969 di Fak-fak, 26 Juli 1969 di Sorong, 29 Juli 1969 di Manokwari, 31 Juli di Biak, dan selesai di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969.

Mayoritas wakil yang hadir memilih bersatu dengan NKRI. Pelaksanaan Pepera turut disaksikan utusan dari PBB, utusan dari Australia, serta utusan dari Belanda. Pemerintah Indonesia dengan PBB telah sepakat untuk menggunakan sistem perwakilan bukan sistem one man one vote saat Pepera mengingat adanya kendala secara geografis dan demografis. Sistem perwakilan itu sendiri juga merupakan wujud dari demokrasi. Dalam budaya Papua sendiri, apabila tokoh adat setempat memilih pilihannya maka pilihan ketua adat akan diikuti oleh masyarakatnya.

Hasil Pepera kemudian diserahkan kepada Ortiz Sanz yang kemudian pada 18 Agustus 1969 meninggalkan Indonesia dan menyampaikan laporannya di sidang umum PBB pada tanggal 6 November 1969. Selanjutnya, pada 19 November 1969, resolusi tentang pelaksanaan Pepera di Papua yang dibahas di dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-24 diterima dengan dukungan oleh 84 negara tanpa ada penolakan dari negara lainnya. Pihak Belanda sendiri menunjukkan sikap menghormati keputusan rakyat Papua. Hasilnya, PBB menyatakan bahwa Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia dan dihapus dari daftar dekolonisasi PBB dengan disahkannya Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2504.

Papua-NKRI Tak Bisa Diganggu Gugat

Papua sah bagian dari NKRI dan tidak bisa diganggu gugat. Resolusi PBB Nomor 2504 sudah final dan mengikat. Dengan demikian, keinginan untuk dilakukannya referendum di Papua menjadi hal yang absurd serta tidak relevan lagi dengan kondisi-kondisi hukum internasional dan juga nasional.

Menko Polhukam Mahfud MD pun pernah berbicara tentang hubungan Papua dengan NKRI yang sudah final. Mahfud menegaskan hubungan Papua dengan NKRI tidak bisa diganggu gugat dan akan dipertahankan dengan segala biaya yang diperlukan, mulai dari sosial, politik, hingga anggaran keuangan.

Selain itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menegaskan bahwa dalam perspektif hukum internasional tidak ada preseden dimana resolusi Majelis Umum PBB dibatalkan. Bahkan bila dicermati ketentuan dalam Piagam PBB atau Statuta Mahkamah Internasional, tidak ada mekanisme yang mengatur tentang pengujian atas produk hukum yang dikeluarkan oleh organ-organ dalam PBB, termasuk resolusi Majelis Umum.

Rakyat Papua Tak Perlu Lagi Bicarakan Referendum

Banyaknya dinamika persoalan yang terjadi di Papua saat ini akibat berbagai cara pola berpikir masyarakatnya, turut mendapat perhatian khusus dari Penjabat Wali Kota Jayapura, Frans Pekey. Ditegaskannya bahwa Papua sudah final dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu, pihaknya mengajak kepada semua orang Papua untuk membangun narasi positif tentang Papua dan tidak perlu lagi berbicara merdeka atau referendum dan sebagainya.

Menurutnya, orang Papua harus bangkit untuk menatap masa depan yang lebih baik dan lebih maju. Hal ini penting agar ada manfaat dan dampak untuk sebuah kemajuan bagi Orang asli Papua (OAP) di masa yang akan datang. Sebab, kalau orang Papua terus berada pada narasi yang negatif, maka itu akan mematikan semua energi dan pikiran positif untuk berkembang.

Pekey kemudian mengajak seluruh masyarakat Papua untuk bersama-sama menjaga keutuhan NKRI di Tanah Papua. Dikatakannya juga, anak-anak generasi muda Papua atau semua orang Papua tidak boleh menyerah, tetapi justru harus memperkuat persatuan dan kesatuan untuk melakukan percepatan pembangunan Papua. Terlebih, telah ada kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk percepatan pembangunan di Papua melalui Otonomi Khusus (Otsus), baik dari aspek regulasi, aspek keuangan, maupun kewenangan. Tujuannnya adalah untuk mensejahteraakan masyarakat di wilayah atau daerah masing-masing dengan berbagai kebijakan pembangunan, keberpihakkan, serta pemberdayaan dan proteksi bagi OAP.

Kita semua pastinya menginginkan kemajuan di Papua sehingga seluruh masyarakatnya pun bisa merasakan kesejahteraan dan kenyamanan hidup. Untuk itu, di masa ini, di era kepemerintahan yang telah sangat memerhatikan kondisi ujung timur Indonesia, sudah saatnya kita meninggalkan perdebatan usang tentang referendum Papua. Apalagi, proses act of free choice melalui Pepera pada tahun 1969 berjalan dengan demokratis serta sesuai dengan hukum dan moral yang berlaku. Dengan demikian, Indonesia sejatinya sukses memenuhi kewajiban untuk memberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi rakyat Papua, dan memperoleh hasil yang menyatakan Papua mutlak bagian integral dari NKRI secara sah, legal, dan juga final.

_
Eri Wenda
(Ketua INSAN Papua)

suratimur.id – Seseorang yang mengaku sebagai Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Papua, Jhon Gobai baru saja menuliskan sebuah opini pada media online partisan nirmeke.com berjudul: Papua Merdeka: Jalan Pemberontakan Rakyat yang Sadar. Dilihat dari judul yang diusung terlihat arah dan apa yang ingin disampaikan berkaitan dengan politik  di tanah Papua. Dirinya menilai bahwa pergeraan perjuangan rakyat West Papua telah menunjukkan kemajuan pada organisasi pergerakan sebagai alat perjuangan. Baginya, bukan lagi eranya rakyat West Papua melakukan petisi-petisi kemerdekaan atau aksi-aksi dukungan kepada kaum solidaritas yang sedang membicarakan perjuangan West Papua. Namun baginya adalah bagaimana membangun kekuatan besar, membangun pergerakan yang lebih massif hingga sektor di basis-basis penindasan sesuai realitas penindasan yang dalam kerangka persatuan nasional di dalam negeri yang solid. Menurutnya akan lebih mudah dan lebih terkonsentrasi ketika semua gerakan perlawanan terkonsolidasi dalam persatuan nasional di dalam negeri dan melakukan pekerjaan pengorganisiran, mobilisasi massa, dengan membagi peran secara satu-kesatuan tindakan dengan pola yang sesuai realitas penindasan yang ada.

Penilaian tersebut tergolong retorika, Jhon Gobai berfikir terlalu teoritis menganggap perjuangan rakyat West Papua bisa terkonsolidasi dengan mudah dalam skala nasional. Sementara realita yang terjadi, sejumlah pendukung kemerdekaan Papua bertindak sesuai dengan agenda kelompoknya sendiri melalui berbagai upaya yang cenderung konservatif, seperti aksi demontrasi, pemalangan, hingga aksi kekerasan yang merupakan tindakan paling tak bermoral.

Aksi terbaru yang dilakukan oleh kelompok pro kemerdekaan Papua datang dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali yang meminta pemerintah Indonesia menggelar referendum. Menurutnya, selama ini masyarakat Papua dinilai hidup dalam marginalisasi, penuh penderitaan serta tidak bebas bersama Indonesia. Melalui siaran pers, Ketua AMP Komite Kota Bali, Herry Meaga manyatakan bahwa serangkaian permasalahan yang terjadi di tanah Papua menunjukkan bahwa Indonesia hanya mengingingkan sumber daya alam Papua. Kondisi tersebut kemudian membuathkan praktik militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua serta kerusakan lingkungan. Menurutnya, diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri atau referendum.

Referendum bukan Jalan Terbaik untuk Tanah Papua

Harus diketahui bahwa istilah referendum merupakan proses dimana rakyat di suatu daerah memilih untuk memutuskan nasib politik, seperti pemisahan dari negara induk atau pembentukan negara baru. Dalam konteks Papua, beberapa kelompok dan organisasi menyatakan sedang memperjuangkan referendum sebagai cara untuk menentukan masa depan politik di wilayah tersebut. Namun, referendum bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah di Papua. Referendum memiliki risiko yang harus dipertimbangkan, seperti risiko konflik dan kekerasan. Di samping itu, referendum juga dapat menciptakan lebih banyak konflik dan ketidakstabilan di wilayah tersebut. Sejumlah pihak bahkan menyatakan bahwa referendum tidak akan memecahkan masalah yang lebih mendasar seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketidaksetaraan yang ada di Papua. Beberapa juga mengatakan bahwa referendum dapat membuka pintu bagi kekuatan asing untuk memanfaatkan sumber daya alam di Papua yang dapat merugikan rakyat Papua.

Oleh karena itu, perlu ada evaluasi yang hati-hati dan analisis mendalam sebelum memutuskan untuk melaksanakan referendum. Penting untuk dicatat bahwa situasi di Papua sangat kompleks dan sensitif, setiap keputusan yang diambil harus mempertimbangkan kepentingan dan kesejahteraan seluruh masyarakat Papua. Implementasi referendum di Papua bisa disebut sangat kompleks karena berbagai alasan, termasuk masalah keamanan, sosial, dan politik. Pada akhirnya, masih terdapat banyak cara yang dapat dilakukan seperti dialog dan negosiasi antara pihak yang berbeda, pembangunan ekonomi dan sosial, serta upaya lain yang dapat meningkatkan keamanan dan kesejahteraan masyarakat Papua.

Kompleksitas permasalahan Papua dari perspektif ideologis, secara substansial berkaitan dengan persoalan seputar pemahaman dan relasi konsep keindonesiaan dan kepapuaan. Parameternya diselisik dari jawaban apakah konsep keindonesiaan telah dibangun dengan memberi ruang yang lebih adil dan ramah bagi tumbuhnya konsep kepapuaan sehingga proses inklusi kedua pihak berkembang secara mutual. Konsep keindonesiaan kontemporer sangat ditentukan oleh kepiawaian para pemimpin Indonesia dalam menyelesaikan konflik Aceh dulu dan Papua kini. Indonesia Baru yang lebih adil dan ramah terhadap konsep keacehan telah lahir dan kini tengah tumbuh di Bumi Aceh. Semangat, optimisme dan peluang yang sama akan tumbuh pula di Tanah Papua. Sebagaimana Aceh, Papua juga menjadi bagian penting dari konstruksi keindonesiaan. Mantan Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa Papua adalah bab terakhir perjuangan Indonesia melawan Belanda. Perjuangan Indonesia melawan kolonialisme praktis selesai menyusul diserahkannya Papua ke Indonesia melalui UNTEA tahun 1963.

Sikap Bebal Kelompok Pro Kemerdekaan Papua Tunggangi Berbagai Momentum Demi Misi Pelepasan dari Indonesia

Salah satu upaya mengenali ciri sebuah pergerakan dengan tujuan murni membangun masyarakat atau hanya ditunggangi oleh kepentingan tertentu berada pada simpulan akhir narasi yang biasanya juga termuat pada poin terakhir tuntutan. Seakan terpolakan, setiap isu dan momentum yang terjadi, entah berwujud kebijakan atau kejadian tertentu selalu berakhir dengan simpulan tersebut. Sebuah jurnal politik dari Universitas Padjajaran Bandung pernah mengkaji pergerakan AMP hubungannya dengan propaganda yang dilakukan melalui media sosial. Berangkat dari titik kejadian kerusuhan demonstrasi anti rasis pada tahun 2019 lalu tersimpulkan bahwa AMP memberikan sinyal dukungan gerakan separatis dan teroris di Papua melalui gerakan demonstrasi dengan menggunakan simbol-simbol Papua merdeka, seperti bendera bintang kejora.

Berdasarkan hasil kajian juga terurai bahwa pusat komunikasi AMP terintegrasi dengan kelompok kepentingan elit pro-demokrasi Papua secara masif, hal ini terlihat dari terjadinya proses pembiaran gerakan AMP di setiap kota. Sebagai contoh, asrama mahasiswa Papua dibiayai oleh anggaran daerah namun pada prakteknya tempat tersebut dijadikan sebagai sentral pergerakan Papua merdeka. Kemudian, secara strategi propaganda yang dilakukan oleh AMP dinilai cukup sistematis dan terorganisir, memanfaatkan jaringan media sosial untuk menyebarkan dan mengkampanyekan framing negatif terhadap sejumlah kebijakan pemerintah dengan tujuan akhir cipta opini dan cipta kondisi sehingga diharapkan akan mendapat simpati masyarakat, baik di dalam dalam maupun luar negeri.

Pemerintah melalui Menko Polhukam, Mahfud MD secara berulang telah menegaskan bahwa Papua tidak bisa berdiri menjadi negara sendiri. Papua telah final dan sah menjadi bagian dari NKRI sejak referendum PBB tahun 1969. Kebebasan Papua dari Indonesia juga tidak akan terjadi, PBB tidak mungkin lagi membuat keputusan referendum. Menentang kedaulatan Indonesia di Papua tidak hanya merupakan sebuah perbuatan melawan hukum nasional kita sendiri, namun juga penentangan terhadap hukum internasional dalam bentuk resolusi yang merupakan bagian kecil dari Piagam PBB (UN Charter) dimana telah diakui oleh seluruh anggota PBB sebanyak 193 negara di dunia.

Maka, munculnya opini yang menilai bahwa kemerdekaan Papua merupakan jalan pemberontakan bagi rakyat yang sadar jelas sebuah logika yang terbalik. Sebuah pemikiran bebal yang tak mau melihat secara terbuka bahwa Papua secara merupakan bagian dari NKRI. Referendum bukanlah segalanya, banyak wilayah yang kemudian lepas dari negara sebelumnya namun justru berakhir dengan kemunduran.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Sebuah opini provokatif kembali dituliskan Pendeta Socratez Yoman yang tak henti-hentinya mengupayakan dukungan untuk kemerdekaan Papua melalui sejumlah narasi. Dalam tulisan barunya yang kembali diunggah normshedpapua.com, dirinya mengkritisi perihal Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang disebutnya dimenangkan oleh TNI (dahulu ABRI) dengan moncong senjata. Menurunya, dari seribu lebih peserta Dewan Musyarawah Pepera (DMP) tidak pernah memilih untuk tinggal dengan Indonesia. Anggota DMP adalah orang-orang yang dipilih ABRI serta pemerintah dan diawasi ketat dibawah intimidasi, teror dan ancaman pembunuhan hanya untuk menggabungkan Papua Barat secara paksa ke dalam wilayah Indonesia dengan Pepera 1969 yang cacat moral, hukum, dan tidak demokratis.

Disebut juga bahwa pihak TNI telah melalui sejumlah operasi tempur, territorial, dan wibawa sebelum dan pasca pelaksanaan Pepera dari tahun 1965 hingga 1969 untuk memenangkan Pepera. Tanpa hal tersebut Pepera 1969 di Irian Barat bakal dimenangkan oleh kelompok Pro Papua merdeka. Pernyataan tersebut sebagaimana dikutip dirinya dari pengakuan Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan.

Ada faktor kuat mengapa seorang pendeta politik Socratez Yoman bersedia repot-repot menulis narasi dengan seabreg kutipan dari berbagai buku dan pernyataan orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan Pepera. Dirinya seperti sedang ingin meyakinkan kepada masyarakat Papua, bahwa pemerintah Indonesia di masa itu telah melakukan kecurangan yang berdampak pada bergabungnya wilayah Papua ke NKRI. Sebuah hal yang ingin ia harapkan adalah adanya dukungan dari masyarakat Papua sebagaimana dirinya saat ini yang semakin terang-terangan mendukung pergerakan kelompok separatis Papua. Tak peduli berapa banyak korban yang terus berjatuhan akibat aksi kekerasan yang masih terus mereka lakukan di berbagai wilayah.

Pepera telah Final, Papua Bagian dari NKRI

Perongrongan hingga pemutarbalikkan fakta terkait Pepera sebenarnya tak hanya dilakukan oleh Socratez Yoman saja. Banyak pihak tak bertanggung jawab yang menginginkan perpecahan Papua dan Indonesia. Padahal keabsahan Papua merupakan bagian dari NKRI bisa dicek melalui hasil Pepera pada tahun 1969 lalu yang telah sah dan final, serta tidak dapat diganggu gugat. Jika kembali disimak dari nilai historis, maka akan terlihat jelas bahwa Papua adalah satu tubuh dengan ibu pertiwi karena proses masuknya Papua telah disahkan oleh PBB. Ingat, PBB merupakan badan internasional yang tak bisa diintervensi manapun termasuk pemerintah Indonesia.

Dikutip dari berbagai sumber berkaitan dengan Pepera, bahwa sejarah panjang rapat Pepera telah dilaksanakan mulai tanggal 24 Juli hingga Agustus 1969. Mulanya PBB mengutus 50 orang stafnya ke Papua, namun kemudian jumlah ini dikurangi hingga akhirnya hanya ditetapkan sebanyak 16 orang termasuk staf administrasi. PBB setuju untuk membatasi jumlah pejabatnya sehingga yang mengawasi Pepera dalam jumlah kecil. Sehingga anggapan PBB sebagai organisasi dunia mendapat tekanan dari Indonesia adalah hal yang tidak benar. Tugas pengawasan Pepera ini dimulai pada tanggal 23 Agustus 1968. Pelaksanaan Pepera kemudian dilakukan di 8 Kabupaten, yakni Jayawijaya, Merauke, Paniai, Fakfak, Sorong, Biak, Manokwari serta Jayapura. Dihadiri oleh 1026 anggota DMP, mewakili jumlah penduduk Papua yang saat itu berjumlah 809.327 jiwa. DMP terdiri atas 400 orang yang mewakili unsur tradisional (Kepala Suku/Adat), 360 orang mewakili unsur daerah serta 266 orang mewakili unsur organisasi politik maupun organisasi kemasyarakatan lainnya. Hasil dari Pepera yang digelar di 8 Kabupaten Irian Barat (Papua) ini memilih serta menetapkan bahwa Papua merupakan bagian mutlak dari NKRI.

Hasil tersebut kemudian disepakati dan disetujui dengan pembubuhan tanda tangan bagi semua yang hadir dalam rapat. Secara de Facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan wilayah NKRI ini. Pengeluaran Resolusi PBB nomor 2504 pada sidang Umum 19 November 1969 menyatakan jika 82 negara setuju, terdapat 30 negara abstain serta tidak ada yang tidak setuju. Hal ini telah menunjukkan bahwa dunia Internasional sudah mengakui keabsahan Pepera tahun 1969 tersebut. PBB agaknya telah memperhitungkan konsekuensi dalam berdemokrasi wajar akan adanya pro dan kontra akan hasil Pepera ini. Silang pendapat terhadap yang menerima keputusan juga yang menentang keputusan. Gugatan mengenai keabsahan Pepera oleh kelompok separatis OPM hanyalah upaya pengkambinghitaman dengan usaha mencari celah sejarah yang digunakan untuk kepentingannya.

Faktanya, Pepera tahun 1969 telah dilaksanakan sesuai kondisi wilayah serta perkembangan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, tidak memungkinkan untuk dilakukan secara “one man, one vote” karena sejumlah faktor, termasuk kondisi demografi. Jika kemudian hal tersebut dipandang sebagai suatu kekurangan ataupun kecacatan, nyatanya PBB telah menerima keabsahan Pepera melalui resolusi No 2504. Bahkan, masyarakat Internasional mengakui secara penuh dan tak ada satupun pihak yang menolak. Dengan begitu, penetapan resolusi PBB guna mengakui hasil Pepera merupakan dokumen yang sah karena Pepera telah dilaksanakan. Meskipun dengan sistem perwakilan, namun hasil Pepera ini diterima dengan baik sebagai suatu putusan yang telah final. Perlu diketahui, bahwa pada kasus yang sama seperti di Timor-Timur menunjukkan jika walaupun terjadi keberatan tentang penyelenggaraan jajak pendapat, pada akhirnya PBB tetap pada pendiriannya. Yakni menyatakan dengan tegas jika rakyat Timor-Timur telah memilih untuk berpisah dengan Republik Indonesia. Secara langsung pilihan ini diakui oleh masyarakat Internasional, meski terdapat keberatan yang dilakukan oleh pihak berbagai pihak.

Resolusi PBB No 2504 merupakan pernyataan tegas akan pengakuan PBB atas kedaulatan NKRI terhadap Papua. Perlu untuk digarisbawahi ialah, setiap upaya pemisahan diri dari NKRI merupakan tindakan penentangan terhadap hukum internasional yang telah berlaku. Termasuk terhadap piagam PBB itu sendiri. Dari sini bisa kita lihat bahwa hasil Pepera telah final dan sah, meski banyak yang menganggapnya suatu kecacatan terkait hasilnya. Bahkan, PBB menyatakan jika upaya pemisahan diri dari wilayah NKRI ini bisa diindikasikan sebagai bentuk penentangan terhadap PBB. Bergabungnya Papua juga ditengarai telah ada sebelum diproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut diperkuat oleh adanya peta yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1931. Sehingga seharusnya sudah tidak ada lagi keraguan akan Papua yang merupakan bagian dari NKRI.

Hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan dari Tokoh adat Papua, Yanto Eluay. Menurutnya Pepera pada 2 Agustus 1969 sudah final. Papua adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI. Dirinya yang juga merupakan pendiri Presidium Putra Putri Pejuang Pepera (P5), menegaskan bahwa pembentukan presidium tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab moril dari putra-putri pejuang Pepera 1969.

Pengungkitan Pepera Merupakan Upaya Socratez Yoman Mencari Pendukung Kemerdekaan Papua

Maka sekali lagi, bahwa adanya pernyataan yang disampaikan oleh sang pendeta Politik Socratez Yoman berkaitan dengan sejarah Pepera. Diindikasi kuat merupakan usaha dirinya untuk mengubah opini publik terutama masyarakat Papua, dimulai dari jemaatnya agar turut mendukung kemerdekaan Papua. Sebuah hal yang sebenarnya tak pantas dilakukan oleh pendeta yang dengan gamblangnya mendukung pergerakan kelompok separatis Papua untuk merdeka. Kelompok yang kerap melakukan aksi kekerasan, dan bahkan hingga kini masih menyandera seorang pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru. Semoga bapak Pendeta segera diberikan jalan terang dan pengampunan.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Sebuah kegiatan mimbar bebas baru saja dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Yogyakarta dengan menggelar panggung yang disebut sebagai Aksi Serentak Nasional (ASN) bertempat di Asrama Kamasan I, Yogyakarta pada 25 Maret 2023 lalu. Berdasarkan pernyataan dari koordinator lapangan (korlap), Paul menjelaskan bahwa kegiatan dilakukan oleh 14 komite kota AMP di Indonesia secara serentak dengan tema “Demokrasi dan HAM Mati, Rakyat Papua Tercekik”. Sementara itu, Ketua AMP KK Yogyakarta, Yepson Suhun menyatakan bahwa penyelenggaraan aksi serentak bertujuan untuk menyikapi persoalan yang terjadi di Papua. Pihaknya menyebut telah melakukan pembacaan situasi dimana melihat banyak operasi militer sehingga terjadi pengungsian besar-besaran, pelanggaran HAM, mutilasi, dan penangkapan aktivis pejuang demokrasi. Dari dua kali pembacaan situasi yang dilakukan, kemudian disebut bahwa Ruang Demokrasi dan HAM di tanah Papua sudah tidak ada.

Pernyataan sikap yang disampaikan bersifat kronologis, Indonesia dianggap penjajah bagi rakyat dan bangsa Papua Barat. Kebijakan Otsus yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun diterapkan tanpa memperhatikan mekanisme demokrasi yang sejati. Disebut juga bahwa semenjak kepemimpinan Presiden Jokowi, operasi militer di Papua semakin massif. Tahun 2018 hingga sekarang terjadi kontak senjata antara TPNPB dan TNI/Polri yang mengakibatkan banyak masyarakat sipil mengungsi di wilayah papua yaitu, Nduga, Maibrat, Yahukimo, Puncak, Timika, Serui, Pegunugan Bintang, Puncak papua.

Kemudian sebuah tuduhan juga dialamatkan kepada aparat TNI Polri bahwa pada bulan Februari dan Maret 2023 telah terjadi operasi militer brutal dan membabi buta mengakibatkan banyak korban sipil meninggal dan luka-luka, seperti di Sinak Kabupaten Puncak Jaya, Wamena, Yahukimo, Maybrat, Merauke, Nduga, Timika, Serui, Pegunungan Bintang, dan Puncak Papua. Di akhir pernyataan sikap kemudian disimpulkan bahwa akar permasalahan yang terjadi di West Papua adalah cacatnya sejarah aneksasi. Kondisi ini kemudian membuahkan praktek militerisasi yang berimbas pada maraknya pelanggaran HAM (pembunuhan di luar hukum, penangkapan, penyiksaan, pembungkaman kebebasan berpendapat), penyingkiran Orang Asli Papua (OAP), dan kerusakan lingkungan. Karenanya diperlukan sebuah mekanisme penyelesaian yang damai dan demokratis, yakni hak menentukan nasib sendiri.

Sebuah pernyataan sikap yang tak jauh beda dari aksi-aksi yang pernah dilakukan sebelumnya. Sungguh sangat disayangkan terdapat pemutarbalikan fakta berkaitan dengan tuduhan adanya operasi militer bulan Februari dan Maret. Seperti yang kita ketahui bahwa pada kurun waktu tersebut justru tindakan brutal kelompok separatis yang kian eksis, kelompok Egianus Kogoya misalnya dan sejumlah insiden penyerangan yang menimbulkan korban jiwa dari aparat maupun masyarakat sipil. Belum lagi pemahaman soal Papua di Indonesia yang terlanjur salah kaprah, serta  tentu saja muara dari semua aksi yakni keinginan untuk lepas dari Indonesia. Sebuah ironi oleh sekelompok orang yang mengaku berlatar belakang akademisi. Menuntut ilmu di sejumlah kota besar Indonesia dengan harapan dapat kembali sebagai putra daerah membangun wilayah Papua. Namun disisi lain juga menuduh bahwa Indonesia pula sedang menjajah tanah West Papua.

Pola Berulang Mempertanyakan Sejarah Papua yang Sebenarnya Telah Final

Entah hal tersebut sebenarnya telah dipahami atau memang tak ingin tahu lebih jauh. Setiap kali sorotan oleh AMP atau afiliasinya yang kerap menyinggung sejarah Papua terpatahkan dengan sendirinya oleh beberapa fakta dan pernyataan. Namun tetap saja hal tersebut masih selalu digunakan dalam setiap aksinya. Berkaitan dengan Pepera misalnya, mereka menilai bahwa proses pemberian voting menentukan nasib masyarakat Papua banyak terdapat kecurangan.

Peneliti Muda Galesong Institute Jakarta, Stefi Vellanueva Farrah juga pernah membahas bahwa hal tersebut perlu dikaji ulang berkaitan dengan sumber data dan fakta yang terjadi. Kampanye bahwa Pepera ilegal karena terjadi berbagai praktek yang tidak sesuai dengan HAM maupun standar-standar hukum internasional, sepintas memang tampak logis dan rasional. Namun, sebetulnya hal tersebut merupakan bagian dari upaya pihak asing untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Jika aspek HAM menjadi hal yang dikedepankan, mana yang kemudian lebih hakiki: melepaskan diri dari penjajah atau teknis demokrasi one people one vote? Demokrasi baru bisa dinikmati jika penjajah sudah berhasil diusir. Tidak ada demokrasi di wilayah yang sedang dijajah.

Singkatnya, kita telah berhasil mengusir penjajah dari wilayah Nusantara, dan Pepera 1969 jadi momentum penegasan bahwa orang Papua adalah Bangsa Indonesia berdasarkan azas Possedetis Juris yang mengatur bahwa batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka. Bukan sebuah pekerjaan mudah bagi Bung Karno dan para founding fathers saat itu untuk menata negeri yang baru merdeka. Belanda yang sudah ratusan tahun menjajah Indonesia, enggan melepaskannya dalam tempo singkat. Maka penyerahan kekuasaan atas wilayah NKRI yang sudah diproklamirkan tersebut dilakukan secara bertahap oleh Belanda kepada Pemerintah Indonesia.

Peneliti Papua asal LIPI (sekarang BRIN), Muridan Wijoyo juga pernah menjelaskan bahwa Pepera digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan bahwa untuk memastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera. Pepera 1969 dihadiri oleh sekitar 1025 perwakilan rakyat Papua, digelar di sejumlah kabupaten antara lain di Jayapura, Biak, dan Merauke. Berdasarkan hasil Pepera saat itu, semua perwakilan menyatakan mau bergabung dengan RI. Hasil Pepera 1969 kemudian diakui oleh PBB dan dikeluarkan resolusi yang menyatakan Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI. Resolusi ini juga disetujui 80 negara anggota PBB dan hanya 20 negara yang abstain. Tidak ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua ke Indonesia.

Dari perspektif ideologis, kompleksitas permasalahan Papua secara substansial berkaitan dengan persoalan seputar pemahaman dan relasi konsep keindonesiaan dan kepapuaan. Parameternya diselisik dari jawaban apakah konsep keindonesiaan telah dibangun dengan memberi ruang yang lebih adil dan ramah bagi tumbuhnya konsep kepapuaan sehingga proses inklusi kedua pihak berkembang secara mutual. Konsep keindonesiaan kontemporer sangat ditentukan oleh kepiawaian para pemimpin Indonesia dalam menyelesaikan konflik Aceh dulu dan Papua kini. Indonesia Baru yang lebih adil dan ramah terhadap konsep keacehan telah lahir dan kini tengah tumbuh di Bumi Aceh. Semangat, optimisme dan peluang yang sama akan tumbuh pula di Tanah Papua. Sebagaimana Aceh, Papua juga menjadi bagian penting dari konstruksi keindonesiaan. Mantan Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa Papua adalah bab terakhir perjuangan Indonesia melawan Belanda. Perjuangan Indonesia melawan kolonialisme praktis selesai menyusul diserahkannya Papua ke Indonesia melalui UNTEA tahun 1963.

Strategi Usang Menunggangi Segala Momentum Demi Misi Pelepasan dari Indonesia

Jika kita jeli, salah satu upaya mengenali ciri sebuah pergerakan dengan tujuan murni membangun masyarakat atau hanya ditunggangi oleh kepentingan tertentu berada pada simpulan akhir narasi yang biasanya juga termuat pada poin terakhir tuntutan. Sejumlah aksi penyerangan oleh kelompok separatis yang berimbas pada masyarakat sipil Papua justru diputarbalikkan dan disebut sebagai operasi militer oleh kelompok yang mengaku akademisi ini dengan misi akhir permintaan untuk referendum. Seakan terpolakan, setiap isu dan momentum yang terjadi, entah berwujud kebijakan atau kejadian tertentu selalu berakhir dengan simpulan tersebut.

Sebuah jurnal politik dari Universitas Padjajaran Bandung pernah mengkaji pergerakan AMP hubungannya dengan propaganda yang dilakukan melalui media sosial. Berangkat dari titik kejadian kerusuhan demonstrasi anti rasis pada tahun 2019 lalu tersimpulkan bahwa AMP memberikan sinyal dukungan gerakan separatis dan teroris di Papua melalui gerakan demonstrasi dengan menggunakan simbol-simbol Papua merdeka, seperti bendera bintang kejora. Berdasarkan hasil kajian juga terurai bahwa pusat komunikasi AMP terintegrasi dengan kelompok kepentingan elit pro-demokrasi Papua secara masif, hal ini terlihat dari terjadinya proses pembiaran gerakan AMP di setiap kota. Sebagai contoh, asrama mahasiswa Papua dibiayai oleh anggaran daerah namun pada prakteknya tempat tersebut dijadikan sebagai sentral pergerakan Papua merdeka. Kemudian, secara strategi propaganda yang dilakukan oleh AMP dinilai cukup sistematis dan terorganisir, memanfaatkan jaringan media sosial untuk menyebarkan dan mengkampanyekan framing negatif terhadap sejumlah kebijakan pemerintah dengan tujuan akhir cipta opini dan cipta kondisi sehingga diharapkan akan mendapat simpati masyarakat, baik di dalam dalam maupun luar negeri.

Pemerintah melalui Menko Polhukam, Mahfud MD secara berulang telah menegaskan bahwa Papua tidak bisa berdiri menjadi negara sendiri. Papua telah final dan sah menjadi bagian dari NKRI sejak referendum PBB tahun 1969. Kebebasan Papua dari Indonesia juga tidak akan terjadi, PBB tidak mungkin lagi membuat keputusan referendum. Menentang kedaulatan Indonesia di Papua tidak hanya merupakan sebuah perbuatan melawan hukum nasional kita sendiri, namun juga penentangan terhadap hukum internasional dalam bentuk resolusi yang merupakan bagian kecil dari Piagam PBB (UN Charter) dimana telah diakui oleh seluruh anggota PBB sebanyak 193 negara di dunia.

Maka dari itu, kepada publik, khususnya masyarakat Papua agar tak mengindahkan segala pernyataan sikap dari AMP yang katanya gembar-gembor digelar di beberapa kota. Seperti yang kita ketahui bahwa AMP merupakan organisai yang cenderung bersifat oposisi dan terbukti berafiliasi dengan kelompok separatis seperti KNPB. AMP juga menjadi salah satu pihak yang menolak sejumlah kebijakan pemerintah, salah satunya pemekaran provinsi. Bahkan eksistensi AMP dan KNPB sendiri telah ditolak oleh masyarakat adat Papua karena termasuk menghambat kemajuan tanah Papua.  

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Penahanan kasus makar Juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Frederik Yeimo hngga saat ini masih menjadi pembicaraan sejumlah pihak, terutama bagi yang mendukung dan tidak terima terkait penahanan tersebut. Terlebih, belum lama ini majelis hakim baru saja menolak seluruh eksepsi Victor Yeimo. Hal yang mendasari penolakan terhadap eksepsi penasehat hukum terdakwa lantaran dalam perkara tersebut Penasehat Hukum Terdakwa mempersoalkan mengenai waktu kejadian pidana dan waktu kejadian. Namun setelah Majelis Hakim meneliti surat dakwaan dari Penasehat Hukum, ternyata mengenai waktu kejadian pidana, telah disebutkan dengan jelas. Hal lain yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim karena terdakwa belum pernah diperiksa dan diputus dalam perkara yang sama sehingga materi eksepsi penasehat hukum harus ditolak.

Dalam agenda sidang tersebut, terdapat sejumlah simpatisan Victor Yeimo yang mengadakan aksi protes pembebasan di depan Pengadilan Negeri Jayapura. Kapolresta Jayapura Kota, Kombes Pol. Victor D. Mackbon mengatakan sebanyak 200 personel dikerahkan untuk mengamankan jalannya sidang. Selain dalam bentuk aksi, sejumlah upaya untuk menyuarakan pembebasan juga dilakukan di media online. Sekelompok orang yang menamakan dirinya Rakyat Papua Melawan Rasisme (RPMR) mengunggah artikel menuntut pembebasan Victor Yeimo. Sayangnya, narasi tersebut sengaja menggunakan diksi-diksi yang menyerang pemerintah dengan tuduhan provokatif mengarah pada rasisme hingga marginalisasi masyarakat Papua, khususnya Orang Asli Papua (OAP).  Tak berhenti disitu, sepekan setelahnya beredar kabar bahwa terdapat rencana aksi bisu yang dilakukan KNPB pada 31 Januari 2023 dalam rangka tuntutan pembebasan Victor Yeimo di Pengadilan Negeri Jayapura. Sebuah pemaksaan kehendak yang telah melanggar proses hukum yang berlaku di Indonesia.

Motif KNPB Desak Pembebasan Victor Yeimo untuk Suarakan Pelepasan Papua dari Indonesia

Bagi KNPB, ditahannya Victor Yeimo merupakan sebuah kehilangan besar dalam hal menyuarakan pelepasan Papua dari Indonesia yang selama ini menjadi concern nya dalam setiap aksi. Sosok Victor Yeimo yang merupakan kelahiran Jayapura pada 25 Mei 1983 lalu dikenal sebagai aktivis pro-kemerdekaan dan memegang jabatan juru bicara internasional KNPB. Ia disebut sangat familiar di kalangan aktivis dan mahasiswa pro kemerdekaan Papua, juga dikenal vocal dalam menyerukan pembebasan Papua di berbagai mimbar unjuk rasa. Dirinya bahkan sempat menjabat sebagai ketua KNPB pusat sejak tahun 2012 hingga 2018. Seorang Victor Yeimo juga kerap tampil memimpin ribuan massa di berbagai aksi yang berkaitan dengan isu Papua merdeka. Namun, berkaitan dengan kejadian kerusuhan di Papua pada medio 2019, berdasarkan keterangan para saksi yang diperiksa. Victor Yeimo disebut sebagai aktor utama kerusuhan yang melanda beberapa daerah di Papua, yakni pada Agustus hingga Oktober 2019.

Berangkat dari sejumlah hal tersebut, terdapat banyak pertimbangan dari pemerintah mengapa hingga kini Victor Yeimo masih ditahan meski dalam keadaan sakit dan munculnya isu keterbatasan akses yang ia dapatkan. Pelapor Khusus PBB di bidang HAM, Mary Lawlor misalnya, ia pernah menyoroti kondisi Victor yang dikabarkan sakit selama ditahan di Mako Brimob Polda Papua. LBH Papua bersama 30 organisasi masyarakat sipil lain mendesak kepolisian untuk membebaskan sang juru bicara KNPB tersebut. Veronica Koman dan organisasi hak asasi manusia (HAM) TAPOL bahkan sempat melaporkan penangkapan Victor Yeimo ke Dewan HAM PBB.

Pemerintah melalui pernyataan resmi perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa Swiss, menyatakan bahwa pihaknya telah melaksanakan perintah pengadilan untuk memberikan perawatan di rumah sakit sejak 30 Agustus 2021. Hal tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjunjung tinggi hak-hak warga negaranya, termasuk kepada Victor Yeimo. Adanya pelapor khusus HAM disebut bias dan sepihak keliru menggambarkan penahanan terhadap Victor. Dalam kesempatan tersebut, pemerintah juga menyertakan bukti pendukung mengenai pemeriksaan kesehatan rutin yang diberikan sejak penahanannya pada 9 Mei 2021. Kapolda Papua Irjen Mathius D Fakhiri mengatakan bahwa hak Victor selalu dipenuhi dalam tahanan, termasuk pemeriksaan kesehatan. Ia justru mengatakan bahwa Victor justru menolak permintaan pemeriksaan kesehatan yang ditawarkan padanya.  Kapolda tersebut juga menyampaikan bahwa Victor Yeimo justru sempat melarikan diri ke Papua Nugini beberapa saat setelah terjadi aksi kerusuhan 2019 lalu.

Bagi mereka di kelompok oposisi, beberapa orang yang ‘berjuang’ hingga kemudian ditahan di penjara justru dianggap sebagai pahlawan. Seperti mantan tahanan politik, Filep Karma yang pernah menyebut Yeimo sebagai deretan tokoh elit dunia pejuang kemerdekaan bangsa. Sebuah halusinasi dari pihak kelompok separatis pejuang kemerdekaan Papua. Membebaskan Victor Yeimo berarti memberikan ruang yang lebih kepada tokoh-tokoh separatis untuk menunjukkan eksistensinya menunjang misi untuk lepas dari Indonesia. Keberadaan KNPB dalam aksi bisu yang digelar di seberang pengadilan negeri Jayapura disebutkan sebagai bentuk solidaritas anggota KNPB Sentani, termasuk dalam aksi penyebaran selembaran foto Victor Yeimo di Kabupaten Jayapura yang diinisiasi oleh kelompok BPP-KNPB Sentani. Sekali lagi, bahwa KNPB memiliki kepentingan yang begitu keras terkait upaya pembebasan Victor Yeimo. Seorang aktor ulung yang mungkin menjadi panutan dalam setiap gerakan ataupun aksi unjuk rasa.

Isu Kriminalisasi Kasus Victor Yeimo Sebagai Upaya KNPB Mengais Simpati Publik

Kemudian, adanya alasan bahwa kasus Victor Yeimo yang disebut sebagai korban kriminalisasi hingga rasisme pada dasarnya merupakan upaya pihak pendukung tokoh separatis tersebut untuk mengais simpati. Namun publik tentunya sudah semakin kritis dan tak mudah begitu saja dibelokkan. Aparat penegak hukum, khususnya di Jayapura terkait kasus Victor Yeimo telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku di Indonesia. Isu korban kriminalisasi yang hingga kini terus berkembang dalam pusaran informasi masyarakat Papua, dipastikan sebagai upaya KNPB dan pendukungnya seperti Rakyat Papua Melawan Rasisme (RPMR) untuk memanaskan suasana. Menjadi hal yang harus diwasapadai bersama, selain permainan kata-kata di media sosial hingga narasi destruktif di media online juga adanya rentetan aksi dengan tuntutan pembebasan Victor Yeimo.

Seperti hal yang terus dipaksakan, penggunaan kata kriminalisasi terhadap sejumlah kasus tokoh politik di Papua dalam beberapa waktu terakhir seperti menjadi amunisi bagi pihak oposisi untuk menggiring opini. Meski tak tahu secara detail perihal makna kriminalisasi, para pendukung kelompok separatis KNPB berkeyakinan bahwa Victor Yeimo adalah korban, bukan pelaku makar. Mereka menganggap apa yang diputuskan pengadilan tidak sesuai fakta dan cenderung tendensius.

Merujuk istilah kriminalisasi secara definisi, merupakan terminologi ilmu kriminologi dan ilmu hukum Pidana yang artinya penentuan suatu perilaku yang sebelumnya tidak dipandang sebagai suatu kejahatan menjadi suatu perbuatan yang dapat dipidana. Dalam pengertian ini, proses kriminalisasi dilakukan melalui langkah legislasi dengan mengatur suatu perilaku atau perbuatan tertentu sebagai tindak pidana dalam undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya yang diperbolehkan mengatur ketentuan pidana. Namun istilah “kriminalisasi” yang populer di masyarakat memiliki makna yang berbeda dengan istilah “kriminalisasi” yang ada dalam ilmu kriminologi maupun ilmu hukum pidana. Jika dalam krimonologi dan ilmu hukum pidana terminologi “kriminalisasi” merupakan istilah biasa, maka “kriminalisasi” dalam pengertian populer memiliki makna yang negatif. 

Dalam kasus penangkapan Victor Yeimo, penggunaan kata kriminalisasi merujuk pada ketidakpercayaan segelintir pihak terhadap keputusan negara melalui aparat hukum yang menetapkan juru bicara KNPB tersebut sebagai tersangka makar. Penggunaan isu kriminalisasi juga merupakan upaya menggalang simpati massa untuk menekan proses penyidikan. Hal tersebut berbahaya bagi yang terlibat, karena menghalangi proses penyidikan merupakan bentuk pelanggaran hukum tersendiri. Biarlah proses hukum dijalani oleh Victor Yeimo tanpa campur tangan para simpatisan yang justru kontraproduktif sekaligus provokatif.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Dalam beberapa hari terakhir, aksi penolakan terhadap event KTT G20 yang baru saja ditutup oleh Presiden Joko Widodo muncul dari massa yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Bali serta massa dari aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Jayapura. Dalam aksinya, mereka menentang adanya penyelenggaraan KTT G20 dan meminta hak untuk menentukan nasib sendiri. Hal tersebut disebutnya sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua Barat. Sebuah hal yang tak memiliki korelasi.  

Dilihat dari pernyataannya yang menyebut wilayah Papua sebagai bangsa Papua Barat, jelas bahwa kelompok tersebut memiiki tendensi miring terhadap negara Indonesia. Penyebutan Papua Barat untuk provinsi Papua tak lain dan tak bukan hanya dilakukan oleh kelompok separatis dan teroris yang berusaha merasuk di wilayah akademi. Terlebih poin tuntutan yang disampaikan adalah permintaan penentuan nasib sendiri. Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa terdapat penunggangan kepentingan pada aksi yang dilakukan oleh massa yang berbalut perjuanga mahasiswa tersebut.

Kepentingan Eksistensi Kelompok Separatis Papua Manfaatkan Momentum KTT G20

Jika dirunut pada track record selama beberapa waktu ke belakang, bukan menjadi sebuah prinsip dari kelompok massa yang mengatasnamakan organisasi mahasiswa tersebut menolak acara negara berskala internasional yang justru banyak mendatangkan keuntungan bagi Indonesia. Sebagus apapun acara yang memiliki dampak dan sorotan besar terhadap publik, pasti akan dimanfaatkan oleh kelompok separatis untuk menunjukkan eksistensinya. Pun dengan yang terjadi pada perhelatan presidensi KTT G20. Poin tuntutan kemerdekaan atau lepas dari NKRI menjadi hal yang selalu termuat dalam setiap aksi. Terlebih, aksi kali ini dengan menunggangi organisasi mahasiswa dimaksudkan agar terlihat kritis bagian dari perjuangan mahasiswa. Padahal kita tahu semua, dibalik gerakan tersebut termuat misi panjang OPM, KNPB, maupun ULMWP yang bersikeras mewujudkan misinya melepaskan diri dari Indonesia. Bagai serigala berbulu musang, mereka mencoba meyakinkan publik dengan menunggangi para mahasiswa.

Presidensi KTT G20 dan Kaitannya dengan Masalah di Papua

Wilayah Papua, meski tak secara khusus menjadi tempat penyelenggaraan KTT G20, namun berpotensi menjadi sorotan publik. Isu separatisme yang hingga kini masih seperti api dalam sekam hingga kasus korupsi yang menyeret sejumlah nama pejabat termasuk Gubernur Papua bisa menjadi atensi, bahkan mungkin hingga level dunia yang rawan untuk terjadinya provokasi.

Hampir dalam setiap kesempatan, Presiden Joko Widodo selalu menegaskan bahwa paradigma pembangunan nasional saat ini bukan Jawa atau Sumatrasentris, namun harus beriorentasi Indonesiasentris. Sejak awal pemerintahannya, Kepala Negara telah berkomitmen membangun Indonesiasentris yang dimulai dari tanah Papua. Komitmen tersebut bukan sekedar retorika, namun dihadirkan lewat Instruksi Presiden (Inpres) percepatan pembangunan kesejahteraan Papua dan Papua Barat yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional. Bahkan Papua menjadi program prioritas nasional. Komitmen tersebut tak hanya sekedar infrastruktur, namun juga memastikan penguatan sumber daya manusia (SDM). Termasuk dalam hal ini adalah masyarakat adat.

Lebih spesifik lagi, berkaitan dengan lanskip masyarakat adat Papua. Pemerintah saat ini menaruh perhatian yang luas terhadap masyarakat adat yang semakin berkembang. Menjadi salah satu hal penting dari kehadiran masyarakat adat nusantara, khususnya di masa pandemi covid-19 dan krisis iklim ketahanan. Yakni kepemilikan pengetahuan lokal dan ketahanan pangan tersendiri, dalam kearifan budaya lokal. Adanya pelaksanaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Jayapura menunjukkan bahwa masyarakat adat di seluruh nusantara masih eksis dan hidup serta mempertegas kedaulatannya. Kedaulatan masyarakat adat menjadi sangat penting dalam situasi negara Indonesia yang hampir lupa bahwa sebenarnya fondasi keberagaman ada pada masyarakat adat. KMAN VI juga turut membahas terkait krisis iklim, krisis pangan dan krisis energi yang berpotensi menimbulkan konflik baru bukan saja di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Sehingga disamping memperkuat keberagaman bangsa masyarakat adat, juga akan menjadi dasar menghadapi krisis.

Hal tersebut menjadi kontraproduktif dengan seruan mereka menolak gelaran event KTT G20. Pasalnya, selain memberikan keuntungan bagi pemulihan ekonomi nasional, gelaran tersebut juga memiliki peran penting dalam menjembatani keberagaman. Indonesia yang memiliki falsafah musyawarah dan mufakat diharapkan bisa menjembatani berbagai kelompok negara. Adanya penolakan tersebut tentu memiliki motif yang mendasari. Bisa dipastikan bahwa aktor yang berada dibalik aksi penolakan datang dari kelompok separatis yang hanya menginginkan tujuan akhir referendum untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Mempertanyakan Penolakan KTT G20 yang Jelas Memiliki Pengaruh Besar bagi Indonesia

Meski jawaban pada sub judul ini bisa dijelaskan melalui narasi persuasif oleh AMP atau BEM se-Jayapura dengan tendensi menyudutkan pemerintah. Namun yang perlu digarisbawahi, bahwa pada intinya tujuan dan solusi sepihak dari para pengusung pendapat tersebut adalah menginginkan referendum. Kritikan terhadap negara maupun pemerintah hanyalah bunga-bunga untuk menjembatani misi panjang tersebut.

Seperti yang kita tahu bahwa presidensi KTT G20 memiliki pengaruh besar bagi Indonesia menjadi ajang pembuktian bahwa di tengah situasi pandemi bisa mengoptimalkan dalam segala bidang. Momentum presidensi yang hanya terjadi satu kali setiap generasi harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memberi nilai tambah bagi pemulihan Indonesia, baik dari sisi aktivitas ekonomi, maupun kepercayaan masyarakat domestik dan internasional.

Menjadi bukti nyata terkait keberhasilan lobby pemerintah RI dalam momentum G20 ditandai dengan adanya peluncuran dana pandemi atau pandemic fund yang telah diresmikan Presiden Joko Widodo. Pandemic fund menjadi instrumen penting untuk mempersiapkan dan merespons pandemi berikutnya dengan lebih baik. Diluncurkannya dana pandemi tersebut memberikan titik awal bagi kita semua untuk menunjukkan kepada dunia bahwa G20 mampu menghasilkan tindakan nyata yang dapat memiliki dampak global. Membanjirnya dukungan tersebut, juga terlihat dari sikap dari Lembaga dunia Pandemic fund juga merupakan momentum besar bagi Indonesia untuk memperoleh kredibilitas atau kepercayaan masyarakat internasional dalam memimpin pemulihan global. Disisi lain, Presidensi G20 menciptakan efek ganda bagi Indonesia, antara lain dengan menunjukkan bahwa ‘Indonesia is open for business’ sehingga dapat membawa dampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pengakuan atas peranan Indonesia di dunia antara lain berkat kemampuan Pemerintah Indonesia yaitu Presiden Joko Widodo untuk menjadi penghubung (bridge builder) yang dilandasi pada ketulusan dan netralitas, dalam semangat mewujudkan cita-cita sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Politik luar negeri bebas aktif senantiasa menjadi modal awal yang memandu langkah Indonesia dalam hubungan antar bangsa.

Selain itu, pertemuan KTT G20 juga menjadi momentum bagi Indonesia untuk menampilkan keberhasilan reformasi struktural berupa dikeluarkannya Undang-Undang Cipta Kerja dan Lembaga Pengelola Investasi (Sovereign Wealth Fund/SWF) serta mendorong optimalisasi financial inclusion untuk bersama-sama melakukan pengembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk UMKM meningkatkan inklusi keuangan dan perempuan mencapai presentase 90 persen ditahun 2024.

Maka menjadi hal yang patut dipertanyakan bagi massa yang menyatakan diri kelompok mahasiswa bersikap menolak kegiatan tersebut dan menawarkan solusi melalui hak penentuan nasib sendiri. Sebuah cara klise untuk meraih eksistensi dan perhatian publik oleh kelompok separatis yang meunggangi mahasiswa dengan mencoba memanfaatkan gaung event internasional KTT G20. Kita semua harus waspada.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Sebuah unggahan di media sosial kelompok separatis yang menamakan diri United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau juga disebut Pemerintah Sementara West Papua secara tegas menyatakan sikap penolakan terhadap penyelesaian permasalahan HAM di masa lalu melalui jalur Non Yudisial yang sedang diupayakan oleh pemerintah Indonesia.

Dalam unggahan dari akun Facebook Bazoka Logo menuliskan bahwa pihaknya mendatangi diskusi Focus Group Discussion (FGD) yang disebut diinisiasi oleh Menko Polhukam di hotel Grand Baliem Wamena. Di kesempatan tersebut dirinya mewakili ULMWP menyatakan sikap penolakan terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui jalur non yudisial versi Republik Indonesia. Menurutnya, tidak mungkin pelaku mengadili pelaku. Pelanggaran HAM di West Papua terjadi sebagai akibat dari akumulasi kekerasan terhadap masyarakat Papua yang menuntut Hak Politik Kemerdekaan Bangsa Papua, 01 Desember 1961 – 01 Desember 2021. Menurutnya selama 61 tahun, Indonesia tidak mempunyai itikad baik menyelesaikan status politik bangsa Papua. Justru kemudian memaksakan paket politik Otsus dan pemekaran sebagai “win-win solution”. Di akhir narasi, kelompok separatis tersebut meminta pemerintah Indonesia bersama ULMWP untuk duduk bersama dengan dimediasi PBB sebagai pihak yang netral untuk selesaikan persoalan Papua melalui mekanisme referendum sebagai solusi damai.

Selain atas dasar perbedaan pandangan, pernyataan penolakan tersebut sengaja disampaikan untuk kembali mengangkat isu terkait HAM melalui tawaran referendum. Sebuah upaya provokasi yang harus diwaspadai karena termasuk hal sensitif untuk kondisi dan sosiologi Papua. Konsistensi kelompok separatis ialah menjadikan referendum sebagai tujuan akhir dari setiap pergerakan.  

Memahami Lebih Dekat Antara PP HAM Yudisial dan Non Yudisial

Munculnya Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM disebut sebagai komitmen Presiden Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun ragam reaksi bermunculan terkait keputusan dan kebijakan tersebut, termasuk adanya penolakan dari kelompok separatis Papua, ULMWP.

Jalur penyelesaian yudisial dan non yudisial pada dasarnya bersifat saling melengkapi, bukan menggantikan, serta memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh. Jika mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan retributif, maka mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban. Mekanisme non-yudisial lebih memungkinkan terwujudnya hak-hak korban seperti hak untuk mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan hak atas kepuasan.

Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, menyebut Keppres No.17 Tahun 2022 merupakan by pass atas kebuntuan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat. Merupakan jalan tol bagi komitmen pemenuhan hak korban yang telah bertahun-tahun belum terealisasi. Keppres tersebut tidak serta merta menghilangkan fungsi UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik dalam rangka penegakan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam pelanggaran HAM yang berat tidak berkurang dengan adanya Keppres tersebut. Sejak 2012-2022, Komnas HAM telah mengeluarkan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPHAM) hingga 6.189. Data tersebut bisa digunakan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dalam upaya pemenuhan hak-hak korban.

Penanganan non yudisial dilakukan secara paralel dan komplementer terhadap penyelesaian yudisial yang dimulai dengan proses peradilan di Pengadilan HAM kasus di Paniai yang terjadi tahun 2014 dan digelar di Pengadilan Negeri Makassar. Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu (PPHAM) merupakan bentuk komitmen serius Presiden untuk menyelesaikan masalah melalui jalur luar pengadilan (non-yudisial) yang melengkapi mekanisme yudisial yang sedang berjalan. Tim PP HAM memiliki tiga fungsi, yakni pengungkapan kebenaran, rekomendasi pemulihan korban, dan upaya penjaminan ketidakberulangan serta berpegang pada beberapa dokumen yang berisi prinsip-prinsip ataupun panduan relevan yang dikeluarkan PBB.

Pemerintah Fokus Selesaikan Kasus HAM Berat Masa Lalu kepada Korban

Disampaikan oleh Menko Polhukam, Mahfud MD bahwa penyelesaian 13 kasus HAM berat pada masa lalu akan berfokus kepada korban, yakni perihal pemulihan, bukan pelaku. Dirinya yakin bahwa usaha pembentukan tim PPHAM non-yudisial akan membuahkan hasil dibandingkan dengan jalur yudisial yang selama ini belum menemui ujung. Terdapat beberapa kasus HAM berat yang tidak bisa dibawa ke pengadilan karena tidak terdapat bukti kuat. Seperti kasus kekerasan tahun 1965 yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat. Penyelesaian kasus HAM berat menjadi janji Presiden RI Joko Widodo sejak periode pertama kepemimpinannya. Janji tersebut juga sejalan dengan TAP MPR yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Saat ini Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM), dan Komnas HAM rutin berkomunikasi dalam mencocokkan bukti-bukti pelanggaran HAM. PPHAM akan berfokus pada korban bukan pelaku. Soal pelaku, menjadi bagian dari kerja Komnas HAM.

Keppres yang ditandatangani oleh Jokowi telah melalui proses pemikiran dan pembahasan yang panjang dengan melibatkan banyak pihak, termasuk korban pelanggaran HAM. Penyelesaian non yudisial berbeda dengan penyelesaian secara yudisial. Jika yudisial fokus kepada pelaku, saksi dan lain sebagainya, sedangkan tim investigasi ini hanya menyentuh korban, untuk pemulihan korban berupa rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa hingga bantuan lain yang ditemukan sesuai kebutuhan di lapangan. Dengan pemulihan tersebut diharapkan dapat mengobati keluarga korban, sehingga terjadi kerukunan sosial di lingkungan masyarakat yaitu persatuan bangsa dan negara.

Adanya sikap penolakan dari ULMWP jelas bertentangan dengan upaya pemerintah untuk menuntaskan kasus HAM. Seberapapun kebijakan yang dikeluarkan negara tetap berujung pada permintaan referendum oleh kelompok separatis. Pada akhirnya, solusi yang paling tepat dalam menangani masalah Papua adalah bagaimana pemerintah dan masyarakat Papua sama-sama menentukan masa depan bumi cenderawasih dalam bingkai NKRI serta menumbuhkan rasa saling memiliki. Hal itulah yang terkadang masih belum terjadi dan dirasakan.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Sebuah publikasi ajakan aksi kembali diunggah oleh akun media sosial Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam rangka peringatan 60 tahun rakyat Papua menggugat perjanjian New York.

Dalam keterangannya, para aktivis AMP tersebut menyebut bahwa penandatanganan perjanjian New York atau New York Agreement antara Indonesia dan Belanda yang melibatkan Amerika Serikat sebagai pihak penengah terkait sengketa wilayah Irian Barat, sarat kepentingan imperialis dan kolonial. Momentum tersebut disebut termasuk perjanjian bermasalah karena dilakukan tanpa melibatkan masyarakat Papua, padahal berhubungan dengan keberlangsungan hidup dan masa depan masyarakat Papua.

Tahun ini, bertepatan dengan 60 tahun sejak penandatanganan perjanjian tersebut. Pemerintah Indonesia disebut AMP masih berupaya menancapkan pengaruhnya di tanah Papua melalui kebijakan Otsus yang telah berlangsung selama 20 tahun terakhir. AMP mengklaim bahwa kebijakan Otsus tidak dijalankan sebagaimana mestinya, dimana justru banyak pengiriman pasukan militer dan minimnya perlindungan terhadap masyarakat adat. Termasuk tak adanya upaya untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM berat di Papua, sementara dari tahun ke tahun kasus pelanggaran terus bertambah.

Menurut mereka, pemerintah semakin memperparah dengan pengesahan kebijakan pemekaran provinsi yang juga tak mempertimbangkan aspirasi masyarakat Papua. Singkatnya, Otsus dan DOB disebut sebagai paket produk kolonial untuk meredam aspirasi politik masyarakat Papua yang menghendaki penentuan nasib sendiri.

Perjanjian New York Sah dan Tak Perlu Diperdebatkan

Salah satu ciri bahwa sebuah pergerakan memiliki tujuan murni untuk membangun masyarakat atau hanya ditunggangi oleh kepentingan tertentu berada pada simpulan akhir yang biasanya juga termuat pada poin terakhir tuntutan sebuah aksi. Penentuan nasib sendiri adalah bahasa halus yang disampaikan oleh AMP untuk menyinggung referendum di Papua. Seakan terpolakan, setiap isu dan momentum yang terjadi, entah berwujud kebijakan atau peringatan selalu berakhir dengan simpulan tersebut. Salah satunya dalam peringatan New York Agreement tahun ini.

Menjadi hal menarik untuk dikaji dalam setiap peringatan New York Agreement 1962 oleh sejumlah aktivis Papua termasuk AMP dalam bentuk ketidakpercayaan karena sistem dan mekanisme pemilihan yang digunakan di saat itu. Mengutip pernyataan dari peneliti Muda Galesong Institute Jakarta, Stefi Vellanueva Farrah bahwa hal tersebut perlu dikaji ulang berkaitan dengan sumber data dan fakta yang terjadi. Kampanye bahwa Pepera ilegal karena terjadi berbagai praktek yang tidak sesuai dengan HAM, maupun standar-standar hukum internasional, sepintas memang tampak logis dan rasional. Namun, sebetulnya hal tersebut merupakan bagian dari upaya pihak asing untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Jika aspek HAM menjadi hal yang dikedepankan, mana yang kemudian lebih hakiki: melepaskan diri dari penjajah atau teknis demokrasi one people one vote? Demokrasi baru bisa dinikmati jika penjajah sudah berhasil diusir. Tidak ada demokrasi di wilayah yang sedang dijajah.

Singkatnya, kita telah berhasil mengusir penjajah dari wilayah Nusantara, dan Pepera 1969 menjadi momentum penegasan bahwa orang Papua adalah Bangsa Indonesia berdasarkan azas Possedetis Juris yang mengatur bahwa batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka. Bukan sebuah pekerjaan mudah bagi Bung Karno dan para founding fathers saat itu untuk menata negeri yang baru merdeka. Belanda yang sudah ratusan tahun menjajah Indonesia, enggan melepaskannya dalam tempo singkat. Maka penyerahan kekuasaan atas wilayah NKRI yang sudah diproklamirkan tersebut dilakukan secara bertahap oleh Belanda kepada Pemerintah Indonesia.

Kebijakan Otsus dan DOB Sebagai Upaya Membangun Papua

Tak dapat dipungkiri bahwa selama 20 tahun berjalannya kebijakan Otsus masih terdapat celah dan ketidaksempurnaan yang membutuhkan evaluasi menyeluruh. Begitu pula dengan kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di tiga Provinsi wilayah Papua. Pelaksanaannya tak akan optimal jika tak didukung seluruh pihak terkait khususnya masyarakat yang berada di wilayah Papua.

Sebanyak 80% dana Otsus dipakai untuk membangun Papua secara bertahap. Kondisi Papua yang baru bergabung pada tahun 1963, hampir 20 tahun setelah era kemerdekaan berdampak pada upaya untuk mengejar pembangunan sehingga setara dengan wilayah lain. Pengutamaan pembangun infrastruktur dipengaruhi oleh kondisi geografis Papua demi kelancaran mobilitas warga. Selain itu, infrastruktur juga menjadi syarat dari para investor untuk menanamkan modal. Kerjasama tersebut terbukti menguntungkan masyarakat karena mengurangi jumlah pengangguran.

Begitu pula dengan kebijakan pemekaran yang menjadi salah satu upaya mempercepat kemajuan. Permasalahan jarak dan fasilitas yang selalu dikeluhkan masyarakat Papua menjadi tersolusikan oleh adanya pemekaran wilayah. Lahirnya kebijakan ini juga merupakan aspirasi dari tokoh dan masyarakat di Papua yang sudah sejak lama memimpikan adanya pemekaran. Adanya kebijakan pemberian kesempatan kepada orang asli Papua untuk wajib memimpin provinsi pemekaran adalah bukti perhatian besar pemerintah untuk kemajuan Papua melalui putra-putri terbaiknya.

Isu HAM dan Dominasi Kelompok Separatis Papua

Upaya AMP untuk mengubah opini publik sekaligus mendiskreditkan pemerintah melalui isu HAM sebenarnya adalah senjata makan tuan yang perlu dikaji ulang, utamanya berkaitan dengan kecenderungan sejumlah gangguan keamanan hingga aksi penyerangan yang kerap dilakukan kelompok separatis selama beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan catatan pihak kepolisian, sepanjang tahun 2022, pelaku yang juga sering disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) tersebut telah menyerang aparat keamanan di Papua dan Papua Barat sebanyak 8 kali. Adapun serangan kepada warga sipil terjadi sebanyak 4 kali. Bahkan, di Pertengahan bulan Juli lalu, terdapat serangan membabi buta dari KKB yang menewaskan 10 orang warga sipil di Kabupaten Nduga.  

Satu hal yang selalu menjadi fokus para aktivis hanyalah perihal pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, dimana hingga saat ini pemerintah juga terus berupaya untuk menyelesaikannya meski tak mudah secara periode waktu. Di sisi lain, mereka seakan tak mau tahu bahwa saat ini pelaku pelanggaran HAM justru banyak terjadi dan melibatkan kelompok separatis Papua. Seperti diketahui bahwa AMP memiliki hubungan kedekatan dengan salah satu front politik dari kelompok separatis yakni KNPB.  

Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat Papua terutama kalangan mahasiswanya agar mengabaikan ajakan peringatan 60 tahun New York Agreement oleh AMP yang gembar-gembor digelar di beberapa kota. Seperti yang kita ketahui bahwa AMP merupakan organisasi yang cenderung bersifat oposisi dan terbukti berafiliasi dengan kelompok separatis seperti KNPB. AMP juga menjadi salah satu pihak yang menolak sejumlah kebijakan pemerintah, salah satunya pemekaran provinsi. Bahkan eksistensi AMP dan KNPB sendiri telah ditolak oleh masyarakat adat Papua karena termasuk menghambat kemajuan tanah Papua.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Sebuah ajakan bersifat massal bertebaran di unggahan media sosial oleh Organisasi Petisi Rakyat Papua (PRP) terkait rencana aksi penolakan UU DOB yang rencananya diselenggarakan pada 14 Juli 2022 besok. Dalam narasi yang disampaikan oleh juru bicara PRP, Jefry Wenda menyatakan bahwa pengesahan tiga RUU DOB dalam prosesnya tanpa melibatkan masyarakat Papua dan MRP. Kebijakan pemerintah pusat sebagai upaya memajukan Papua disebutnya sebagai produk penjajahan bagi orang Papua.

Kebijakan tersebut disebut akan menjerumuskan masyarakat Papua dalam kehidupan yang tidak pasti dan jauh dari rasa keadilan. Mirisnya, di dalam poster yang diunggah lagi-lagi terdapat pernyataan tuntutan adanya referendum. Rupanya isu tersebut selalu disusupkan dalam setiap aksi penolakan kebijakan pemerintah, terutama terkait pemekaran DOB Papua. Sebagaimana aksi-aksi sebelumnya, keberadaan PRP selalu didukung oleh kelompok separatis yang bermisi untuk memisahkan diri dari NKRI.

Sebuah narasi yang pesimis sekaligus kontradiksi dengan upaya pemerintah dalam memajukan wilayah Papua. Adanya pernyataan mosi tidak percaya kepada pemerintah, bisa jadi berbalik kepada diri sendiri. Apakah tuntutan tersebut adalah suara murni atau masih ditunggangi kelompok separatis seperti yang sudah-sudah. Sebuah mosi tidak percaya juga untuk Jefry Wenda dan kawan-kawan PRP.  

Salah Kaprah Pemahaman Pemekaran Provinsi adalah Bentuk Kolonisasi

Dari beberapa narasi pesimistik yang disampaikan Jefry wenda tersebut, salah satunya berkaitan dengan nasib OAP ketika kebijakan pemekaran terealisasi. Mereka menganggap momentum pemekaran wilayah menjadi pintu masuk besar-besaran bagi warga pendatang untuk menduduk provinsi baru atau kasarnya kolonisasi. Munculnya pemahaman tersebut mungkin juga berawal dari kurangnya informasi ataupun sosialisasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, seperti pemerintah daerah.

Pemerintah melalui melalui pernyataan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri, Bahtiar secara tegas telah menjelaskan bahwa UU Pemekaran provinsi memberikan ruang afirmasi bagi OAP. Dalam salah satu pasal dijelaskan terkait pengisian aparatur sipil negara (ASN) dan juga tenaga honorer di tiga provinsi pemekaran Papua. Selain itu, juga dibahas relevansi antara UU pemekaran dengan penataan ASN yang sudah ada. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) menawarkan pengadaan ASN di tiga wilayah baru tersebut dengan mempertimbangkan kearifan lokal yakni komposisi 80% OAP dan 20% bukan OAP. Nantinya tiga provinsi baru tersebut membutuhkan ASN hingga mencapai puluhan ribu pegawai. Pemerintah juga bakal mempertimbangkan sejumlah syarat penerimaan ASN bagi OAP. Hal tersebut akan dimatangkan kembali payung hukumnya pada kesempatan rapat kerja.

Melalui kebijakan pemekaran wilayah, pemerintah juga berhasil memperjuangkan afirmasi OAP, dimana batas pengangkatan ASN untuk CPNS hingga 48 tahun, sedangkan usia 50 tahun untuk CPNS yang berasal dari tenaga honorer. Keputusan tersebut memiliki dasar dan alasan bahwa apabila pemerintah menggunakan skema rekrutmen CPNS seperti biasa, maka tidak akan memenuhi kebutuhan ASN di tiga provinsi baru hasil pemekaran Papua, sehingga batas persyaratan usia dinaikkan.  Keputusan menaikkan usia tersebut menjadi salah satu bukti perjuangan afirmasi untuk mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua.

Jejak Jefry Wenda dan Gerakan Provokatif PRP

Terekam dalam memori lini masa pemberitaan, sejak adanya aksi penolakan kebijakan DOB Papua pada 10 Mei 2022 lalu, nama Jefry Wenda mencuat sebagai sosok yang paling aktif muncul memberikan pernyataan. Ia bahkan sempat mengklaim bahwa aksi dilakukan serentak di berbagai titik dan wilayah, mirip dengan modusnya sekarang yang mengancam akan melumpuhkan kota Jayapura. Namun pada saat pelaksanaan, ia justru tidak terlihat bersama dengan massa aksi. Hal yang sama juga pernah terjadi saat aksi unjuk rasa penolakan DOB dan Otsus yang digelar 8 April 2022 sebelumnya.

Jefry Wenda justru ditemukan oleh pihak kepolisian bersama dengan 5 anggota KNPB dan 1 anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang berada dalam satu rumah. Keenam orang tersebut yakni: Ones Suhuniap (Juru Bicara KNPB), Omikson Balingga, Iman Kogoya, Marten Manggaprow, (aktivis KNPB), Abi Douw (anggota AMP) dan seorang perempuan bernama Neli Itlay.

Untuk diketahui bahwa KNPB merupakan salah satu organisasi yang hingga kini terus berjuang memisahkan Papua dari Indonesia. Termasuk juga AMP yang condong ke arah dukungan pro kemerdekaan Papua. Penangkapan terhadap 6 orang tersebut berkaitan dengan permintaan keterangan sebagai saksi terhadap Jefry Wenda. Jefry Wenda dianggap sebagai dalang dari seruan dan ajakan yang bersifat provokatif terkait demonstrasi penolakan DOB dan Otsus Jilid II. 

Penangkapan terhadap Jefry Wenda menambah daftar panjang fakta deretan keterkaitan pihak penyelenggara aksi dengan kelompok tertentu. Lagi-lagi, KNPB seperti tak pernah absen, ditambah dengan kehadiran AMP yang mewakili kalangan mahasiswa. Keduanya secara terang-terangan berseberangan dengan pemerintah serta memiliki agenda perjuangan kemerdekaan Papua. Dalam kasus seperti di wilayah Papua, kepentingan pihak-pihak tertentu terbukti telah menyusup bahkan menunggangi niat aksi, bahkan bisa dikatakan by design untuk kepentingan golongannya.

Hal yang sama juga dikuatkan oleh Kapolresta Jayapura Kota, AKBP Victor Dean Mackbon yang merespon terkait demonstrasi penolakan DOB oleh PRP tanggal 3 Juni 2022 lalu. Bahwa aksi tersebut telah disusupi isu referendum, ditunggangi Kelompok Nasional Papua Barat (KNPB). Pasalnya, dalam aksi tersebut tak hanya membicarakan DOB, namun juga tentang referendum. Hal yang sama juga terjadi di rencana aksi 14 Juli. Isu referendum juga tercantum dalam tuntutan.

Siasat Kelompok Separatis Antisipasi Sempitnya Ruang Gerak Akibat Pemekaran Wilayah

Adanya gembar-gembor penolakan pemekaran wilayah yang sudah disahkan, jika dikaji secara ilmu politik terkandung maksud dari pihak yang berusaha merawat eksistensi isu tersebut untuk mewujudkan keinginannya. Pengamat politik Universitas Al Azhar Jakarta, Sunardi Panjaitan menyatakan bahwa pembentukan DOB bakal menjawab kebutuhan masyarakat dan pemerataan pembangunan di Papua. Kemudian, DOB juga dapat meningkatkan mutu pendidikan masyarakat Papua.

Di samping itu, gerakan menolak DOB bisa jadi merupakan siasat Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk menghindari militer makin kuat di Papua. Konsekuensi pemekaran wilayah berdampak pada penambahan Struktur, infrastruktur, dan sumber daya manusia di berbagai bidang sebagai penggerak pemerintahan dan ekonomi provinsi tersebut, termasuk dalam hal ini juga penambahan aparat dan markas militer di tiga wilayah baru. Hal tersebut berdampak pada semakin sempitnya ruang gerak kelompok separatis.

Atas dasar kondisi terancam, kelompok yang sering bertindak brutal tersebut merespon sengit setiap adanya rencana pemekaran provinsi. Beberapa hari sebelum pemerinah mengesahkan pemekaran tiga provinsi, juru bicara OPM, Sebby Sambom memberikan pernyataan ancaman bahwa jika pemekaran di Papua terjadi, maka tidak akan segan-segan membunuh setiap orang asing yang masuk ke tanah Papua. Ia juga menilai bahwa para pejabat orang asli Papua yang mendukung pemekaran wilayah di Papua sebagai pengkhianat.

Kepolisian Daerah Papua melalui pernyataan Kapolda Papua, Irjen Pol Mathius Fachiri menyatakan bahwa pihaknya terus bersiaga mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tak diinginkan pasca penetapan tiga provinsi baru di Papua. Mari kita melihat Papua hari ini ke depan, ingat sekali lagi maksud dari pemekaran untuk memperpendek pelayanan pemerintah, mempercepat kesejahteraan, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah. Dirinya juga secara tegas mengajak untuk meninggalkan ego masing-masing. Pihak yang menolak mari kita dekati, kita ajak untuk bagaimana membangun provinsi-provinsi yang sudah ada.

Tak Ada Alasan Untuk Menolak Pembangunan Papua Melalui Pemekaran Provinsi

Kekhawatiran yang dirasakan kelompok separatis menjadi awal dari tindakan pemerintah untuk bergerak lebih sigap dalam menyikapi keberadaan kelompok tersebut. Adanya daerah otonomi baru menjadikan wilayah Papua memiliki berbagai pengembangan mulai provinsi, hingga kabupaten baru. Sehingga ketika terjadi suatu konflik, masyarakat lebih cepat dalam mengakses untuk penanggulangan keamanan. Selain itu, pemerataan di wilayah Papua juga harus diwujudkan.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua, KH Syaiful Islam Al Payage, menyatakan bahwa pembentukan tiga provinsi baru di Papua adalah salah satu wujud untuk mempercepat pembangunan di tanah Papua. Menurutnya, pemekaran provinsi Papua positifnya sangat besar untuk pembangunan di tanah Papua, sehingga tidak ada lagi alasan untuk menolak pemekaran.

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Benny Wenda, salah satu pentolan tokoh gerakan separatis dan teroris Papua yang mengklaim diri sedang memperjuangkan masyarakat Papua melalui jalur diplomasi luar negeri kembali berulah di tengah kebiadaban komplotannya di beberapa wilayah Papua. Seperti belum kapok dengan sejumlah peristiwa yang berakhir memalukan bagi dirinya sendiri, ia kini kembali melemparkan tuduhan untuk pemerintah Indonesia terkait kondisi di Papua.

Hadir bersama International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dalam sebuah acara forum di Parlemen Inggris pada 14 Juni 2022 lalu. Dirinya secara lantang menyerukan kunjungan PBB ke Papua untuk selidiki pelanggaran HAM. Keterangan pemerintah Indonesia kepada dunia atas perlindungan HAM di Papua disebut sebagai hal bohong karena telah terjadi pendudukan militer Indonesia. Orang Papua menjadi pengungsi di negara sendiri, seperti di Nduga, Intan Jaya, Maybrat, dan Oksibil. Di Indonesia juga tidak terdapat hak berekspresi, adanya seruan kebebasan hanya berujung pada dakwaan pengkhianatan sebagai tahanan politik.

Pihaknya mengklaim memiliki bukti bahwa Indonesia diam-diam membom Papua dengan amunisi yang dari Eropa. Sebuah laporan dari Conflict Armament Research (CAR) menunjukkan bahwa Indonesia mengubah senjata yang dibeli dari Serbia yang dimaksudkan untuk penggunaan sipil. Di akhir pidato, dirinya meminta dukungan parlemen Inggris agar Presiden Joko Widodo bersedia duduk bersama membahas referendum kemerdekaan yang dimediasi secara internasional. Menurutnya, referendum kemerdekaan adalah salah satu solusi damai.

Pidato Tuduhan Tak Tahu Malu di Tengah Kekejaman Kelompok Separatis

Maksud hati mencari dukungan dan simpati dari dunia internasional melalui jalur Parlemen Inggris, namun sepertinya seorang Benny Wenda sedang lupa atau tak peduli dengan sikap kelompoknya dan kaitannya dengan kondisi di Papua sebagai dampak dari ulah teman-temannya sendiri. Berulang kali terbukti bahwa gerakan Separatis Papua menjadi kelompok brutal menggunakan senjata meneror masyarakat sipil. Mereka berulang kali menyerang warga, bahkan hingga membakar rumah maupun fasilitas umum lain. Sejumlah aksi pembakaran rumah warga di Papua yang dilakukannya di tahun 2022 antara lain terhadap 15 bangunan di Distrik Baya Biru Kabupaten Paniai pada 19 Maret 2022, 16 rumah warga di sekitar Ilaga Kabupaten Puncak pada 5 April 2022, kemudian perumahan guru sekolah SMA Negeri 1 Ilaga di Kampung Wako Distrik Ilaga Kabupaten Puncak pada 13 Mei 2022. Terkait kasus penyerangan, di bulan Juni, tepatnya kamis tanggal 9 seorang tukang Ojek tewas dibacok di Kabupaten Puncak, sebelumnya seorang tukang ojek juga tewas di ditembak di depan rumahnya sendiri. Masih di bulan April, Kelompok separatis juga menembak dua tukang ojek di Distrik Tingginambu usai mengantarkan penumpang. Terbaru, dan semoga yang terakhir seorang anggota Brimob di Napua Jayawijaya bernama Diego Rumaropen meninggal diserang oleh kelompok separatis secara brutal.  

Benny Wenda Gunakan Isu Hoaks Senjata Pemusnah Massal untuk Tuduh Indonesia

Dalam sebuah pemberitaan dari kantor berita Inggris Reuters disebutkan bahwa hampir 2.500 mortir dari Serbia dibeli Badan Intelijen Negara (BIN) kemudian dimodifikasi untuk menumpas kelompok separatis Papua. Sumber pemberitaan tersebut diperoleh dari sebuah lembaga riset bernama Conflict Armament Research (CAR) yang berbasis di London, Inggris. Namun, Reuters sebagai media yang memberitakan tak dapat secara independen mengonfirmasi aspek-aspek tertentu dari laporan CAR, termasuk apakah BIN telah menerima kiriman tersebut.

Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Ryanta turut menyorot adanya tudingan BIN menggunakan mortir dari Serbia di Papua. Menurutnya tudingan tersebut menyesatkan masyarakat. Tugas BIN adalah mengumpulkan informasi, bukan melakukan operasi militer. Informasi soal penggunaan mortir jelas tudingan kejam dengan strategi disinformasi yang menyesatkan. Dirinya tidak heran dengan adanya hoaks yang beredar. Pasalnya, para simpatisan dan pendukung separatisme di Papua beberapa waktu lalu juga menyebarkan video suntingan yang bermaksud menyudutkan pemerintah Indonesia. BIN melalui Deputi II Bidang Intelijen Dalam Negeri, Mayjen TNI Edmil Nurjamil juga telah membantah laporan dari CAR. Menurutnya, pihaknya tak memiliki peralatan tersebut.

Benny Wenda dan Perpecahan di Internal Kelompok Separatis Papua

Memperjuangkan kemerdekaan melibatkan banyak kepala memang tak semudah mengedipkan mata. Banyak faktor yang mempengaruhi sekaligus menentukan misi panjang tersebut menjadi kesepakatan atau berujung perpecahan akibat perbedaan kepentingan. Hal ini terlihat dari beberapa kejadian di kelompok separatis yang diindikasi tak terkoordinasi dan cenderung berjalan sendiri-sendiri. Bahkan dalam satu kelompok terjadi ketidakpatuhan antara pimpinan dan anggotanya.

Sebuah kejadian melibatkan kelompok Selcius Waker membakar gereja di Kampung Opitawak, Distrik Tembagapura pada 12 Maret 2020 lalu. Aparat memastikan bahwa pembakaran tersebut belum pernah dilakukan oleh Kelompok Separatis Papua, apa yang dilakukan Selcius Waker keluar jalur koordinasi dan bukan perintah atasannya, yakni Lekagak Telenggen. Diindikasi terdapat rasa frustasi diantara mereka. Bahkan Lekagak Telegen merespon dengan menyalahkan aksi tersebut karena setelahnya berdampak pada kerugian di pihaknya dimana aparat berhasil melumpuhkan 4 anggota kelompok separatis dalam sebuah kontak senjata di Kampung Opitawak, tiga hari setelah kejadian pembakaran gereja. 

Hal serupa juga terjadi berkaitan dengan nama Benny Wenda. Sebuah video yang sempat ramai beredar di jagad maya menunjukkan Kelompok separatis Papua tengah terpecah akibat perbedaan persepi dan misi. Dalam video tersebut, pimpinan Kelompok Separatis di Nduga Egianus Kogoya mengkritisi para tokoh yang menyuarakan Papua merdeka seperti Benny Wenda yang saat ini tinggal di luar negeri. Egianus menyampaikan bahwa pihaknya hingga saat ini terus berjuang setengah mati di hutan untuk Papua merdeka, sedangkan yang hidup di luar negeri mengaku sebagai diplomat tapi hanya untuk kepentingan mencari keuntungan dari kelompok yang berada di Papua. Benny lantas dituding sebagai pihak yang hanya menumpang hidup dari aksi-aksi teror kelompok separatis dan teroris di Papua.

Dalam video tersebut, Egianus Kogoya juga menanyakan kepada Sebby Sambom tentang bagaimana susahnya para pejuang kemerdekaan di Papua yang siang malam berperang untuk kemerdekaan Papua. Termasuk menanyakan bagaimana susahnya merekrut anak-anak untuk ikut berperang. Egianus menegaskan bahwa selama ini pihaknya terus berperang tanpa henti untuk satu tujuan, yakni merebut kemerdekaan Papua dari Indonesia. Namun, di sisi lain ia meragukan keseriusan rekan-rekannya di tempat lain dalam upaya tersebut.  

Benny Wenda dan Konflik Internal di ULMWP

Tak hanya dengan Egianus, konflik melibatkan Benny Wenda terjadi di United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang dipimpinnya sendiri. Selama ini ULMWP mengklaim sebagai organisasi yang mengkoordinir kelompok-kelompok pembebasan Papua Barat, termasuk Organisasi Papua Merdeka (OPM). Konflik menyeruak Ketika West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) salah satu organisasi yang dinaungi ULMWP memiliki perbedaan sikap, yakni menolak Benny Wenda menjadi pemimpin kemerdekaan Papua Barat. Keputusan tersebut diambil usai pemegang mandat WPNCL Ben Yanteo, Pendiri WPNCL Alex Makabori, Anggota WPNCL Zet Giyai, dan Panglima TPN OPM WPNCL Terianus Sato, melakukan pertemuan di Sentani, Kabupaten Jayapura, pada Minggu 6 Februari 2022 lalu. Dalam pertemuan tersebut diputuskan WPNCL sebagai salah satu faksi yang mendirikan ULMWP melalui Deklarasi Saralana 2014, menolak kepemimpinan Benny Wenda dalam ULMWP. ULMWP dinilai melenceng dari kesepakatan awal sebagai organisasi koordinatif. Secara tegas Ben Yanto menyampaikan bahwa sejak 2020 seharusnya kepemimpinan ULMWP dipegang dari perwakilan WPNCL, namun sampai saat ini kepemimpinan masih dipegang Benny Wenda. Oleh karena itu, WPNCL menyatakan diri segera mengambil alih kepemimpinan ULMWP dari Benny Wenda.

Tuduhan Benny Wenda adalah Bentuk Ketersudutan Kelompok Separatis

Ketika konflik internal sudah mulai menyeruak ke beberapa bagian kelompok separatis, maka sebenarnya agenda yang harusnya mereka jalankan menjadi tak berjalan sebagaimana mestinya. Terlebih ketika Sebagian pimpinannya telah diringkus oleh aparat TNI-Polri menjadikan mereka kehilangan sosok yang selama ini menjadi panutan. Bagai ayam kehilangan induk, mereka hanya akan berpikir bagaimana caranya untuk balas dendam. Secara perlahan kekuatan mereka melemah dari hari ke hari karena perpecahan internal. Kondisi ini tentunya menjadi momentum percepatan pemberantasan kelompok separatis Papua secara menyeluruh. Bravo TNI-Polri.

Adanya tuduhan dari Benny Wenda melalui parlemen Inggris terhadap pemerintah Indonesia bisa dimungkinkan merupakan upaya untuk membangkitkan semangat kelompok separatis sekaligus mencari simpati dunia. Namun apa yang bisa diharapkan dari seorang Benny Wenda yang kerap melakukan kesalahan dan sudah tak lagi dipercaya oleh organisasi dan lingkungan sekitarnya. Tuduhan tersebut mungkin hanyak akan menjadi angin lalu, karena tak dapat dibuktikan kebenarannya.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)