Oleh : Hamka Kurniawan )*

Pemerintahan Joko Widodo terus menjunjung tinggi demokrasi. Prinsip tersebut tercermin dari terakomodasinya berbagai kritik kontruktif terhadap pemerintahan.

Sejak masa reformasi, kita bereuforia dengan kebebasan, terutama kebebasan untuk mengungkapkan pendapat di muka publik. Rakyat tidak lagi takut untuk mengkritik kebijakan pemerintah dan memang diperbolehkan, karena ini ciri khas dari negara demokrasi. Masukan memang dibutuhkan agar pemerintahan berjalan dengan seimbang dan bisa mengurus semua warganya dengan baik.

Pemerintahan Presiden Jokowi sejak tahun 2014 berusaha keras menjunjung tinggi demokrasi dan menegakkan keadilan. Jika demokrasi diberlakukan, maka masyarakat boleh melancarkan kritik dan memberi saran. Bahkan Presiden Jokowi sendiri yang terang-terangan minta dikritik oleh rakyat, agar ada yang memberinya masukan sebagai bahan evaluasi.

Demokrasi juga berusaha 100% diberlakukan di tengah masyarakat. Beberapa saat lalu ketika ada yang membuat mural tentang Presiden Jokowi, langsung viral karena dipotret dan diunggah ke media sosial. Ini adalah salah satu bentuk dari azas demokrasi, yakni masukan kepada pemerintah, meski medianya salah karena menggunakan fasilitas umum.

Lain kali masyarakat bisa menyampaikan protes dengan cara lain. Misalnya melalui akun media sosial resmi Presiden Jokowi, atau via situs yang dibuat oleh pemerintah. Dengan cara ini maka mereka bisa memberi masukan dan kritik dengan cara legal, tanpa harus mencoret dinding yang jadi ruang publik.

Kritik tidak pernah dilarang oleh Presiden Jokowi, karena itu bagaikan obat yang pahit tetapi menyehatkan badan. Pemerintahan yang sekarang memperbolehkan masyarakat untuk memberi masukan, dan tidak sangat ketat seperti masa orde baru. Masyarakat tidak usah takut untuk menyampaikan kritik karena Presiden Jokowi sendiri tidak mempermasalahkannya.

Selain peristiwa kritik mural itu, ada lagi kejadian yang cukup menghebohkan saat seorang peternak di Blitar membentangkan poster bertuliskan “Pak Jokowi, bantu peternak beli jagung dengan harga wajar”. Sang peternak yang bernama Suroto nekat melakukannya, dengan harapan langsung mendapatkan bantuan dari bapak presiden. Mumpung beliau sedang melakukan kunjungan di Blitar.

Presiden Jokowi sendiri kaget karena baru mengetahui peristiwa ini beberapa saat kemudian, lantas mengundang Suroto untuk beraudensi di Istana, bersama dengan beberapa peternak lain. Hal ini menunjukkan bahwa bapak presiden tidak anti kritik, tetapi mau mendengarkan suara rakyat. Bahkan mengundang seorang warga sipil biasa seperti Suroto untuk pertemuan di Istana.

Dari peristiwa ini sebenarnya kita sudah mengetahui bahwa Presiden Jokowi amat ramah dan mau bertemu dengan rakyat kecil. Beliau tidak pernah marah ketika dikritik oleh masyarakat. Baru kali ini Indonesia memiliki pemimpin yang tenang, legowo, santun, dan mau diberi masukan oleh warga sipil sekalipun.
Masukan-masukan dari mereka malah diperlukan, untuk membangun Indonesia jadi lebih baik. Jangan takut untuk memberi kritik karena hal ini wajar dalam sebuah negara demokrasi.

Pemerintah menjunjung tinggi demokrasi dan bertindak adil bagi seluruh rakyatnya. Masyarakat tidak usah takut lagi, atau menganggap pemerintah saat ini otoriter dan anti kritik. Indonesia adalah negara demokrasi, bukan dipimpin dengan keras seperti negeri tirai besi atau negara lain yang otoriter.

Demokrasi wajib dijaga oleh pemerintah, siapapun presidennya. Saat Presiden Jokowi dikritik maka beliau tenang-tenang saja, karena paham bahwa ini adalah bagian dari demokrasi. Presiden Jokowi tidak anti kritik dan kita bisa memberi masukan, asal dengan batas-batas kesopanan dan etika yang benar.

)* Penulis adalah warganet tinggal di Subang

Oleh : Aldia Putra )*

Pemerintah terus optimal dalam menjaga iklim demokrasi dan tidak anti kritik. Namun demikian, setiap pihak diminta untuk menjauhi ujaran kebencian dan fitnah. Kritik hendaknya dilakukan secara santun, berbasis data dan memberikan solusi konstruktif terhadap permasalahan.

Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, meminta masyarakat untuk tidak hanya memberikan kritik kepada pemerintah tentang penanganan krisis Covid-19. Dirinya menghimbau kepada masyarakat untuk memberikan kritik disertai dengan solusi untuk membantu keluar dari Pandemi Covid-19.

Dalam kesempatan penuturan keterangan pers, Moeldoko menuturkan, bahwa pemerintah tidak antikritik, namun dirinya meminta kepada masyarakat untuk memberikan kritik dengan solusi. Ia juga meminta bantuan untuk menyelamatkan masyarakat, dan bergerak bersama untuk pemulihan bersama.

Mantan Panglima TNI tersebut juga menjelaskan terkait keputusan Presiden dalam menerapkan PPKM. Dirinya menegaskan bahwa cara tersebut diambil untuk menekan mobilitas masyarakat demi memutus rantai penularan virus Corona. Moeldoko menuturkan, PPKM merupakan salah satu skenario pemerintah untuk menekan penyebaran Virus. Mobilitas orang tanpa gejala (OTG) dapat dikendalikan.

Ia memastikan bahwa selama PPKM, pemerintah telah mengupayakan berbagai cara mulai dari realokasi anggaran, penyediaan tambahan tempat tidur bagi pasien, pengadaan oksigen, percepatan vaksin, hingga tindakan tegas yang diberikan pada para pelanggar PPKM dan penimbun obat-obatan serta oksigen.

Kendati demikian, Moeldoko mengakui bahwa penerapan PPKM bukanlah tanpa tantangan. Berdasarkan pantauan dari pemerintah, tingkat mobilitas masyarakat pada masa PPKM darurat baru minus 30%. Padahal indikator keberhasilan PPKM adalah mobilitas yang minus 50%. Oleh karenanya, Moeldoko mendorong seluruh masyarakat untuk patuh aturan saat PPKM berlaku. Kritikan terhadap berbagai kebijakan yang diambil tentu diperlukan agar tercipta kontrol sosial yang merupakan ciri dari demokrasi.

Sebelum internet merebak seperti saat ini, banyak orang menyampaikan kritik melalui berbagai media, seperti lagu, puisi, tulisan di koran, majalah atau lukisan di dinding yang kita kenal sebagai mural. Dulu orang merasa perlu melakukan kritik sosial baik ditujukan kepada masyarakat itu sendiri atau kepada pemerintah yang berkuasa. Tujuannya bukan untuk menghancurkan masyarakat atau melengserkan pemerintah, melainkan untuk memurnikan atau menebus segala nilai, kebijakan dan aturan-aturan yang dianggap tidak sesuai.

Meski demikian, kritik tidak bisa disampaikan secara sembarangan. Tentu saja ada etika yang perlu dijaga. Agar tercipta kritik yang konstruktif atau kritik yang membangun, sehingga diharapkan kritik yang disampaikan juga dapat menjadi solusi.

Di media sosial, kritikan yang ditujukan kepada pemerintah sangatlah mudah untuk ditemukan, entah dalam konten ataupun pada kolom komentar. Keberadaan media sosial seakan menjadi wahana bagi siapapun untuk menciptakan media secara independent, semua orang bahkan bisa menulis di media sosial tanpa harus mengikuti pelatihan jurnalistik.

Meski kebebasan berpendapat telah diatur undang-undang, namun bukan berarti kita bebas mencela dengan nada provokasi. Apalagi jika terdapat kritikan yang disampaikan secara kasar, tentu saja UU ITE dan polisi cyber akan menjerat pelaku pengkritik jika tidak mengindahkan etika dalam mengkritik. Jangan sampai, kritik yang disampaikan hanya berisi provokasi untuk membenci, tetapi kritikan haruslah obyektif agar menjadi evaluasi bersama dalam membangun negara agar lebih baik.

Pada kesempatan berbeda, Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman menegaskan, bahwa presiden selalu terbuka terhadap kritik. Menurut Fadjroel, kritik merupakan jantung demokrasi.

Ia menuturkan bahwa demokrasi tanpa kritik akan membuat suasana sepi. Fadjroel juga mengibaratkan bahwa suasana tersebut seperti kuburan. Fadjroel menjelaskan, bahwa ilmu pengetahuan itu tidak akan maju tanpa adanya kritik. Begitu pula masyarakat dan pemerintahan.

Saat Jokowi dikritik dengan tajuk “king of lip service”, Presiden Jokowi justru menanggapi hal tersebut sebagai keberimbangan terhadap praktik demokrasi. Sehingga kebebasan berekspresi memang perlu dijaga. Jokowi juga meminta kepada pihak kampus untuk tidak menghalangi mahasiswa untuk berekspresi dan lebih menekankan pada pendekatan persuasif.

Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut juga mengatakan kepada pihak universitas untuk tidak perlu menghalangi mahasiswa dalam menyampaikan ekspresi. Namun Jokowi juga mengingatkan adanya budaya tata krama dan sopan santun.
Kritik adalah hal yang diperlukan agar demokrasi dapat terus hidup, kebebasan bersuara dan berpendapat tentu saja memungkinkan siapapun dapat menyampaikan kritikan terhadap sesuatu yang tidak sesuai, meski demikian bukan berarti kritik disampaikan secara provokatif, karena tentu saja ada etika yang harus diperhatikan agar kritik yang disampaikan tidak hanya berisi kebencian. Kritik sebaiknya didasari dengan fakta dan data yang benar, serta disampaikan melalui cara yang baik dan santun.

Peneliti permasalahan Papua dari Makara Strategik Insight, Jim Peterson, mengatakan bahwa hasil observasi yang telah dilakukannya selama kurang lebih 4 bulan di tanah Papua, menunjukkan bahwa aksi teror yang telah dilakukan KST Papua telah meresahkan orang asli Papua (OAP) dan masyarakat pendatang.

OAP dan masyarakat pendatang di papua merasa terteror dengan berbagai aksi kekerasan yang telah menimbulkan korban jiwa, baik dari apkam hingga masyarakat sipil. Berbagai penembakan hingga pembakaran objek vital telah menciptakan rasa takut dan melumpuhkan roda perekonomian disana.

Supply logistik, komunikasi, transportasi hingga sosial budaya disana telah mengalami gangguan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan KST telah mengkhianati nilai demokrasi masayarakat Papua.

“Aksi teror KST Papua telah meresahkan OAP dan masyarakat pendagang disana. Mereka merasa terteror dengan berbagai aksi penembakan terhadap masyarakat sipil dan apkam. Selain itu, pembakaran obvit telah melumpuhkan roda perekonomian disana. Supply logistik, komunikasi, transportasi hingga sosial budaya disana telah mengalami gangguan.”, ujar Jim.

“Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan KST telah mengkhianati nilai demokrasi masayarakat Papua”, tambah Jim.

Belakangan diketahui telah terjadi kontak senjata antara KST Papua dengan apkam. Satu anggota KST di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua ditembak aparat gabungan TNI-Polri. Baku tembak terjadi saat aparat sedang patroli di dekat bandara.

“Sampai malam tadi, tim gabungan masih melakukan penyisiran dan pengejaran kelompok kriminal teroris bersenjata yang membawa rekannya yang tertembak,” kata Kasatgas Humas Nemangkawi, Kombes Iqbal Alqudussy, Selasa (8/6/2021).

Disebutkan, peluru aparat menembus paha teroris KST tersebut. Namun belum ada kepastian tembakan mengakibatkan anggota KST itu meninggal dunia atau tidak.

Kekhawatiran masyarakat terhadap aktivitas Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) terus berkembang. Koalisi ini dituding masyarakat sarat akan kepentingan politik praktis. Bahkan tokoh-tokoh yang tergabung didalam koalisi itu, merupakan barisan yang nyatanya masuk dalam koalisi pemenangan paslon capres 2019. Sehingga kekhawatiran masyarakat itu pun wajar adanya.

Sejumlah kelompok masyarakat pun diketahui menolak deklarasi serta manuver politik yang dilakukan oleh KAMI. Aksi penolakan itu terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu kelompok masyarakat yang menolak langkah KAMI, yakni Serdadu Merah Putih. Mereka merasa bahwa KAMI memiliki kepentingan untuk menciptakan persoalan politik.

Koordinator Serdadu Merah Putih, Daryanto, mengungkapkan bahwa kepentingan politik dibalik narasi yang digaungkan KAMI berbahaya bagi sistem demokrasi Indonesia. “KAMI ini kan gerakan politik yaa, kita khawatir gerakan ini dapat mengancam demokrasi kita. Kita kan gamau hal ini terjadi,” tegas Daryanto.

Selain itu, lanjut Daryanto, keberadaan KAMI ini berpotensi memunculkan gesakan sesama anak bangsa, yang ujungnya akan memecah belah dan membuat keributan saja. “Keberadaan KAMI juga berpotensi memunculkan gesekan antar sesama anak bangsa, jika terus dibiarkan. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi benih-benih perpecahan di Indonesia,” pungkasnya.

Di tempat lain, Aliansi Satukan Langkah Untuk Negeri juga menyatakan diri menolak KAMI berserta provokasinya di wilayah Pemalang. Koordinator Aliansi Satukan Langkah Untuk Negeri, Andi Rustono, mengatakan KAMI memanipulasi masyarakat untuk membenci Pemerintah. Hal itu dimaksudkan agar masyarakat tidak mendukung kebijakan-kebijakan Pemerintah. “KAMI memprovokasi masyarakat, memecah-belah bangsa untuk membenci Pemerintah yang sah. Hal ini yang akan mengancam sistem demokrasi Indonesia,” kata Andi.

Andi meminta masyarakat untuk mengantisipasi provokasi-provokasi yang disampaikan oleh kelompok-kelompok politik terselubung, seperti KAMI. Dirinya juga menyebut KAMI ini hanya barisan sakit hati yang terbuang dari birokrasi maupun kalah dalam kontestasi Pemilu 2019 lalu. “KAMI merupakan kumpulan orang-orang yang tersingkir atau tidak terpakai dalam pusaran kekuasaan. Jangan sampai manuver KAMI membawa polarisasi residu dari Pilpres lalu,” tutupnya. (JS)