Oleh : Alif Fikri )*

Radikalisme berbasis agama masih menjadi ancaman nyata bagi bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan pendidikan keagamaan sebagai salah satu solusi untuk menangkal paham terlarang tersebut.

Radikalisme adalah paham berbahaya di Indonesia. Untuk mencegah penyebaran radikalisme maka caranya adalah dengan pendidikan agama. Pendidikan yang diajarkan tidak hanya mengenai hubungan dengan Tuhan, tetapi juga sesama manusia, termasuk mereka yang beda agama. Pendidikan agama juga wajib menanamkan toleransi dan saling menghormati.

Indonesia merupakan negara demokrasi dengan berlandaskan Pancasila. Demokrasi, Pancasila, dan UUD 1945 sudah disepakati sejak era kemerdekaan, dan tidak bisa diubah dengan ajaran apapun. Namun kelompok radikal ingin mengubah wajah Indonesia dan membentuk negara khilafah serta mengajak masyarakat untuk menjadi radikal. Padahal sudah jelas, bahwasannya radikalisme dan khilafah tidak cocok jika diterapkan di Indonesia yang pluralis.

Kelompok radikal diam-diam dan merekrut anggotanya, agar mereka mendapatkan pendukung dalam mendirikan negara khilafah. Langkah kelompok radikal ini harus dicegah agar Indonesia tetap damai. Penyebabnya karena mereka sering memakai jalan kekerasan seperti pengeboman, untuk mencapai tujuannya. Pencegahan radikalisme menjadi program yang wajib, agar terorisme dan radikalisme tidak merusak Indonesia.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan bahwa radikalisme ada di bidang pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan. Orang tua harus memperkuat pendidikan agama pada anak, baru pendidikan umum. Dalam artian, untuk mencegah radikalisme maka pendidikan agama harus diperkuat, dan tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah.

Pendidikan agama di rumah amat penting karena agama jadi pedoman hidup anak sampai ia dewasa. Pendidikan agama yang dimulai dari rumah wajib dilakukan karena menjadi tanggung jawab orang tua. Agama adalah pegangan manusia, sehingga orang tua mengajarkan anak untuk taat beribadah dan menjalankan perintah agama dengan hati yang ikhlas.

Orang tua mengajarkan agama ke anaknya dengan memberi tahu tata cara beribadah, hukum-hukum agama, membacakan kitab suci, dll. Selain mengajarkan ritual keagamaan, anak juga diajari mengenai menjaga hubungan baik, bukan hanya dengan Tuhan tetapi dengan sesama manusia.

Anak diajari untuk taat beribadah juga bergaul dengan manusia. Keduanya harus seimbang, dan tidak boleh hanya taat berdoa tetapi sombong dengan tetangga. Dalam menjalin hubungan antar sesama manusia juga tidak hanya dengan teman yang seagama tetapi juga beda agama.

Jika anak diajari sejak dini cara untuk bertoleransi dan bergaul dengan semua orang meski agamanya berbeda, maka ia akan paham cara untuk menjadi fleksibel di masyarakat. Indonesia adalah negara pluralis dan ada 6 agama yang diakui oleh negara. Jika ia paham toleransi maka akan menolak radikalisme karena tidak mau jadi ekstrimis seperti mereka.

Seseorang yang diberi bekal ilmu agama oleh orang tuanya sejak dini, akan jadi toleran karena memahami makna toleransi. Ia tidak akan terkena bujuk-rayu kelompok radikal dan teroris. Namun ia menggunakan logikanya dan tidak mau diajak jadi kader, yang akan menyerbu dan mengebom dengan semena-mena. Dalam ajaran agama apapun hal ini tidak dibenarkan, sehingga ia tidak mau jadi radikal.

Penguatan pendidikan agama juga dilakukan di sekolah karena anak belajar di sana minimal 6 jam dalam sehari. Dalam mengajarkan agama maka guru tak hanya memberi tahu apa saja rumah ibadah, ritual agama, dan lain sebagainya. Namun ia juga menceritakan kisah-kisah nabi yang sejak dahulu sudah toleran. Dalam berdakwah, nabi tidak melakukannya dengan pemaksaan dan kekerasan, tetapi dengan lemah-lembut.

Sang guru bisa menceritakan kisah ketika nabi memberi makan pengemis. Padahal keyakinannya berbeda dengan nabi. Pengemis yang buta selalu marah dan memaki-maki nabi, serta tidak tahu bahwa yang menyuapinya adalah nabi. Baru kemudian ketika nabi meninggal, ia tahu dan sangat menyesal. Inilah toleransi yang diajarkan oleh nabi dan berdakwah dengan kemanusiaan.

Guru agama tidak hanya mengajarkan tentang berderma dan amalan-amalan berpahala lain. Namun ia menekankan bahwa menjalin hubungan dengan sesama manusia juga berpahala. Walau keyakinannya berbeda, bukan berarti dimusuhi. Ia juga memberi tahu bahaya radikalisme, dan murid-murid paham mengapa tidak boleh ada terorisme dan aksi pengeboman, karena melanggar hak asasi manusia dan hukum agama.

Jika semua guru mengajarkan tentang bahaya radikalisme sejak dini maka para murid akan paham, mengapa radikalisme dan terorisme dilarang di Indonesia. Mereka mengerti bahwa terorisme akan menghancurkan perdamaian di negeri ini, dan paham radikal tidak cocok bagi negara demokrasi dan pluralis seperti Indonesia. Negara khilafah tidak akan pernah berdiri karena tidak ada pendukungnya.

Pendidikan agama yang dilakukan sejak dini, baik dari rumah (keluarga) maupun dari sekolah, akan mencegah penyebaran radikalisme di Indonesia. Para murid tidak hanya belajar tentang ritual agama dan hal-hal yang mendatangkan pahala. Namun mereka juga paham cara bertoleransi, mengerti bahaya radikalisme, dan akhirnya menolak radikalisme dan terorisme di Indonesia.

)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa institute

Oleh : Alif Fikri )*

Radikalisme masih menjadi ancaman bersama yang patut untuk diwaspadai. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan nilai-nilai Pancasila untuk membendung paham terlarang tersebut, termasuk di dunia pendidikan.
Kelompok radikal ingin sekali bercokol terus-menerus di Indonesia. Mereka menyasar ke semua kalangan, mulai dari orang dewasa hingga mahasiswa. Tujuannya agar kaderisasi makin meluas dan makin banyak yang mendukung mereka.

Sedih sekali ketika kampus ‘diserang’ oleh kelompok radikal, karena mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa. Jika mayoritas mahasiswa sudah radikal sejak semester awal maka ketika sudah jadi sarjana mereka akan makin radikal. Saat jadi pejabat atau memegang tanggungjawab penting di instansi, maka mereka akan menyebarkan radikalisme.

Atas alasan tersebut radikalisme selalu diberantas di lingkungan kampus. Universitas Indonesia berusaha membentengi mahasiswa (dan dosen) dari bahaya radikalisme dengan penguatan nilai-nilai Pancasila. Caranya dengan pengajaran mata kuliah agama, yang akan ditambahkan dengan pengetahuan Pancasila.

Pancasila dan agama tidak bersebrangan karena saling terikat. Seseorang yang beragama akan selalu mengimplementasikan Pancasila karena taat kepada Tuhannya dan bertindak adil kepada sesama manusia, termasuk yang berbeda akidah.

Cara lain untuk memberantas radikalisme adalah pembangunan rumah ibadah di lingkungan UI, tidak hanya satu tetapi sampai lima keyakinan yang diakui oleh pemerintah. Dengan cara ini maka para mahasiswa akan memiliki rasa toleransi yang tinggi, karena terbiasa melihat kawan-kawannya yang memiliki keyakinan lain masuk dan beribadah di tempat tersebut.

Rasa toleransi memang menjadi kunci untuk memberantas radikalisme. Penyebabnya karena jika mahasiswa sudah memiliki radikalisme, maka ia akan menghormati satu sama lain. Tak hanya kepada kawan sekelas yang memiliki keyakinan yang sama, tetapi juga kepada yang lain yang punya keyakinan berbeda.

Perbedaan ini bukanlah halangan untuk bersatu, karena memang sebelum era kemerdekaan, sudah ada berbagai perbedaan. Akan tetapi, toh kita tetap merdeka juga dan jadi bersatu di atas perbedaan tersebut, dan tidak pernah mempermasalahkannya.

Jika mahasiswa menyadari bahwa perbedaan itu indah maka mereka tidak akan mudah untuk terkena radikalisme (baik dari kampus maupun luar). Penyebabnya karena kelompok radikal terlalu ekstrim dengan hanya meyakini satu hal dan menyalahkan semua pihak yang berbeda dengannya. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan karena mereka selalu bertindak intoleran.

Para mahasiswa memang harus dijauhkan dari radikalisme, karena merekalah calon pemimpin bangsa. Jika mereka anti radikalisme dan menyadari bahwa perbedaan itu indah, maka kelak jika jadi pejabat negara, akan bertindak arif. Mereka tidak mudah menghakimi, tetapi memahami bahwa di Indonesia ada pluralisme.

Selain mahasiswa, maka dosen juga perlu dijauhkan dari radikalisme. Jangan sampai mereka ternyata jadi anggota kelompok radikal lalu menyebarkan radikalisme ke para mahasiswa. Akan jadi kacau-balau karena akan menyebar, bagai virus yang berbahaya. Dosen juga wajib ingat bahwa mereka tidak boleh terkena radikalisme, karena akan terancam pemecatan dari pihak kampus (apalagi jika berstatus ASN).

Penguatan nilai Pancasila di kawasan kampus memang perlu dilakukan untuk menghalau radikalisme. Penyebabnya karena jika semua mahasiswa dan dosen mengimplementasikan Pancasila, maka mereka akan menyadari bahwa Indonesia terdiri dari banyak suku dan ada enam keyakinan yang diakui oleh pemerintah.

Penguatan nilai-nilai Pancasila menjadi benteng untuk melindungi agar jangan sampai radikalisme menyebar di kampus. Mata kuliah Pancasila perlu diberikan agar semuanya mengimplementasikan Pancasila. Baik mahasiswa maupun dosen, dilarang keras untuk terkena radikalisme, karena paham ini berbahaya bagi persatuan bangsa.

)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute

Oleh : Abdul Haris )*

Radikalisme ditengarai telah menyebar ke berbagai elemen masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan Pancasila sebagai kunci pencegahan penyebaran radikalisme di Indonesia.
Radikalisme adalah paham yang wajib diberantas karena ia ingin mengubah konsep negara menjadi khilafah.
Untuk memberantas radikalisme maka penguatan ideologi Pancasila terus dilakukan. Jika tiap orang memahami dan mengimplementasikan Pancasila maka ia tidak akan terjebak dalam ekstrimisme dan radikalisme.

Saat pandemi, tak hanya virus Covid-19 yang wajib dihabisi, tetapi juga radikalisme. Paham tersebut harus dihapus dari Indonesia karena mereka selalu memaksa untuk membuat negara khilafah dan mengganti Pancasila dengan ideologi mereka. Padahal konsep negara khilafah tidak cocok dengan kondisi Indonesia yang majemuk dan mengakui 6 keyakinan.

Untuk memberantas radikalisme maka cara yang paling tepat adalah dengan penguatan ideologi Pancasila. Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) menyatakan bahwa kesiapsiagaan menjadi wujud salah satu strategi negara dalam mencegah radikalisme dan terorisme.

Brigjen Pol R Ahmad melanjutkan, kesiapsiagaan yang dimaksud bukan hanya fisik melainkan juga ideologi Pancasila. Akan tetapi kesiapsiagaan juga dilakukan dengan pendekatan agama, seperti menanamkan nilai-nilai wawasan kebangsaan, Pancasila, dan nasionalisme. Ideologi berpendekatan agama perlu diterapkan karena kelompok radikal dan teroris sering membenturkan antara agama dengan negara, budaya, dan Pancasila.

Dalam artian, kesiapsiagaan ideologi Pancasila akan membawa WNI dalam sikap yang moderat dan menjauhkan diri dari radikalisme dan terorisme. Penyebabnya karena jika seseorang sudah jadi moderat maka ia tak akan terbawa arus terorisme dan ekstrimisme, karena cara pandangnya sudah jernih dan tidak mau menjadi orang yang terlalu fanatik.

Pancasila dan agama memang tidak selayaknya dibenturkan karena di dalam Pancasila sudah termasuk, yakni di sila pertama: ketuhanan yang maha Esa. Dengan begini maka tidak betul bahwa kelompok radikal menuduh, ketika di negara berideologi Pancasila maka tidak mengakui agama dan bersikap terlalu liberal.
Jika di dalam sila pertama saja sudah disebutkan bahwa ketuhanan yang maha Esa maka sudah jelas bahwa pemerintah mewajibkan seluruh rakyat untuk menaati Tuhannya terlebih dahulu, baru melakukan yang lain. Amatlah salah ketika kelompok radikal menuduh bahwa pemerintah saat ini juga berkaitan dengan komunisma. Penyebabnya karena sudah dilarang keras sejak era orde baru.

Penguatan ideologi Pancasila bisa dilakukan dengan beberapa cara. Pertama dengan menambahkan mata pelajaran budi pekerti dan pemahaman Pancasila, dari tingkat SD hinga perguruan tinggi. Tujuannya agar masyarakat sejak dini tahu apa saja implementasi Pancasila dan tidak hanya hafal kelima silanya.
Ketika banyak orang yang paham implementasi Pancasila maka mereka tidak akan terjebak radikalisme.
Penyebabnya karena mereka tahu bahwa di Indonesia masyarakatnya sangat majemuk dan tidak cocok dengan konsep khilafah yang selalu dibanggakan oleh kelompok radikal. Lagipula dalam Pancasila disebut azas keadilan, sedangkan kelompok teroris bertindak tidak adil dengan mengebom tempat umum dan menyerang yang tidak bersalah.

Cara kedua untuk menguatkan ideologi Pancasila adalah dengan mengadakan pemilihan duta Pancasila. Anak-anak muda akan tertarik untuk mendaftar, bukan karena ingin mendapatkan hadiahnya, tetapi karena paham bahwa menjadi duta sama saja dengan menyelamatkan negara ini dari ancaman radikalisme.

Ketika duta Pancasila sudah terpilih maka ia akan mengadakan kampanye (kebanyakan di media sosial). Akan makin banyak orang yang paham dan mengingat kembali sila-sila dalam Pancasila serta berusaha mengimplementasikannya, sehingga mereka tidak tertarik jika diajak masuk ke kelompok radikal.

Penguatan ideologi Pancasila adalah vaksin untuk menyembuhkan radikalisme di negeri ini. Jangan sampai paham berbahaya ini tersebar karena bisa membuat negara hancur-lebur. Kita harus mengimplementasikan semua sila dalam Pancasila karena sangat bermanfaat.

)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini

Oleh : Muhammad Yasin )*

Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) merupakan aturan wajib yang harus dilalui untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tes tersebut diharapkan dapat mencegah pegawai KPK terpengaruh paham radikal dan intoleran.

Pangeran Khairul Saleh selaku Wakil Ketua Komisi III DPR RI menuturkan bahwa proses beralihnya status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) telah diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan dijabarkan dalam PP Nomor 41 Tahun 2020.

Menurtunya, konsekuensi dari aturan tersebut adalah para pegawai KPK akan melalui berbagai tes sebelum menjadi ASN, salah satunya adalah Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Pada tahun 2019 lalu Isu Radikalisme di KPK berkembang karena panitia seleksi calon pimpinan (pansel capim) KPK 2019-2023 melibatkan pelacakan oleh BNPT agar jangan sampai pimpinan KPK terpapar radikalisme karena dugaan kecenderungan radikalisme di lembaga tersebut.

Pada kesempatan berbeda Ketua Badan Pengurus Setara institute Hendardi mengatakan bahwa tes wawasan kebangsaan yang merupakan salah satu syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah bagian atau upaya pemerintah dalam mencegah intoleransi dan radikalisme di instansi tersebut.

Tentu tidak hanya di KPK saja, namun upaya mencegah adanya intoleransi dan radikalisme juga dilakukan di lingkup pemerintah lainnya misal instansi ASN, Polri, TNI hingga ranah pendidikan yakni universitas dan sekolah-sekolah.

Sehingga siapapun yang dalam dirinya bersemai intoleransi dan radikalisme, maka bisa saja dirinya tidak lolos dalam uji moderasi bernegara dan beragama.

Dirinya juga menilai bahwa informasi terkait tidak lolosnya sejumlah pegawai KPK dalam alih status menjadi ASN, menurutnya adalah hal biasa dan tidak perlu memantik perdebatan. Ada yang lolos dan ada yang gagal merupakan hal yang lumrah.

Tentu saja para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dialihkan menjadi aparatur sipil negara (ASN) sehingga harus menjalani seleksi. Namun pelaksanaan seleksi ini menuai sorotan banyak pihak, terutama karena aspek TWK yang dianggap hanya sekadar formalitas untuk mencopot pegawai-pegawai berintegritas.

Perlu diketahui juga bahwa TWK pada seleksi ASN KPK tersebut menyinggung banyak hal seperti HTI, FPI dan terorisme yang dianggap tak sesuai tugas pokok fungsi pegawai.

Menanggapi polemik tersebut, Bima Haria Wibisana akhirnya angkat bicara, dirinya menilai wajar jika soal TWK dalam seleksi ASN mempertanyakan soal radikalisme dan organisasi massa, sebab memang itulah yang hendak dinilai lewat asesmen.

Asesmen tersebut sebetulnya juga berguna utuk melihat derajat radikalisme peserta tes. Jadi tentu saja wajar jika terdapat pertanyaan atau pancingan dalam wawancara seperti itu untuk menggali tingkat keyakinan peserta.

Dirinya juga menegaskan, peralihan pegawai KPK menjadi bagian dari ASN berarti harus mentaati seluruh perundang-undangannya dan membela negara. Dimana membela negara berarti juga membela Pancasila, UUD 1945 dan mentaati seluruh peratura perundang-undangannya. Karena hal tersebut merupakan sumpah ASN.

Pada kesempatan berbeda, mantan Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Irham Dimy mengatakan, negara menggunakan mekanisme TWK untuk menguatkan ideologi bangsa, keamanan hingga wawasan pegawai KPK itu sendiri.

Irham mengatakan, pelaksanaan TWK tersebut juga dinilai tidak hanya mempunyai tujuan sekadar untuk mengetahui kompetensi seseorang dalam hal pekerjaan. Lebih jauh dari itu, TWK mempunyai tujuan khusus dalam hal ini menyangkut wawasan kebangsaan itu sendiri.

Pada kesempatan berbeda, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji, menyatakan bahwa sebaiknya KPK memang patuh terhadap regulasi yang sah dari negara terkait alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Seno menilai, alih tugas pegawai KPK menjadi ASN tidak terkait dengan pelemahan kelembagaan. Hal tersebut dikarenakan UU KPK sudah menegaskan posisi independensi kelembagaannya dalam menjalankan tupoksi penegakan hukum yang berlaku.

Artinya dengan UU KPK yang baru, KPK akan tetap berjalan secara independen sesuai dalam tugas pokok fungsi (tupoksi)nya termasuk menjalankan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat tinggi/Menteri yang lau.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan alih status pegawai KPK menjadi ASN bukanlah upaya untuk melemahkan independensi KPK. Sebab alih status pegawai tersebut sudah dinyatakan konstitusional dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Pelaksanaan TWK tidak bertujuan untuk melemahkan KPK, justru pelaksanaan TWK tersebut dapat menjadi jaring agar KPK benar-benar bersih dari radikalisme.

)* Penulis adalah kontributor Forum Literasi Bogor