suaratimur.id – Tepat di momentum peringatan hari pahlawan 10 November, sebuah aksi demonstrasi dilakukan oleh sekelompok mahasiswa di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ). Dalam aksi tersebut, pihak kepolisian mengamankan 13 orang mahasiswa USTJ yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di halaman kampus setempat di wilayah Padang Bulan Jayapura. Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura Kota, Kombes Polisi Victor Mackbon menyampaikan bahwa selain pengibaran bendera bintang kejora, belasan mahasiswa yang dibantu rekan-rekannya juga melakukan tindakan anarkhis melempari petugas saat aksinya hendak dibubarkan. Terdapat empat personil polisi yang terluka dalam insiden tersebut sehingga langsung diperintahkan untuk divisum.

Wakil Rektor USTJ Bidang Kemahasiswaan, Isak Rumbarar mengakui adanya mahasiswa yang diamankan di Polrestas Jayapura Kota. Dirinya sempat kaget setelah mengetahui adanya demo yang dilakukan mahasiswa disertai pengibaran bendera bintang kejora. Pihaknya lantas mempersilahkan pihak aparat keamanan bertindak sesuai hukum yang berlaku. USTJ memberikan ruang kepada mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya, namun tindakan yang bertentangan hukum dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora tidak bisa dibenarkan.

Mewaspadai Kemunculan Bendera Bintang Kejora Sebagai Simbol Eksistensi Kelompok Separatis

Sebelum adanya pengibaran bendera di kampus USTJ Jayaprura, kejadian adanya pengibaran juga terjadi dalam pemakaman aktivis Papua Merdeka Filep Jacob Semuel Karma. Sepanjang perjalanan menuju pemakaman, bendera bintang kejora mengiringi kepergian sang aktivis senior hingga ke liang lahat meski telah dilarang oleh aparat kepolisian. Kemunculan bendera Bintang Kejora hingga KNPB sudah sejak awal menghiasi di kawasan rumah duka di Jalan Simpang Tiga, Lampu Merah Dok V Atas, Distrik Jayapura Utara, Jayapura, Papua.

Bendera tersebut dikibarkan di atas sebuah mobil pikap yang membawa peti jenazah Filep Karma menuju ke pemakaman. Peti jenazah Filep Karma terlihat dibungkus bendera Bintang Kejora. Ketegangan antara massa simpatisan dan polisi sempat terjadi ketika rombongan melintas di depan Gereja Paulus Dok V, Distrik Jayapura Utara. Massa yang mengawal jenazah Filep ke pemakaman, menolak imbauan polisi agar menurunkan kedua bendera tersebut. Namun upaya polisi gagal lantaran massa tetap bertahan membawa dan mengibarkan bendera tersebut. Victor mengaku ada kesan pembiaran, tetapi pihaknya beralasan tidak ingin ada konflik dalam situasi tersebut.

Adanya sejumlah kasus pengibaran bendera bintang kejora disinyalir menjadi bagian dari upaya kelompok separatis untuk menunjukkan eksistensinya. Kegiatan pengibaran yang dilakukan berulang bisa dikategorikan sebagai bentuk provokasi. Terlebih, keberadaan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang condong ke arah kelompok separatis menjadi pintu masuk bagi gerakan yang berlatar belakang kampus. Pengibaran tersebut tentu saja bukan kegiatan iseng belaka, bisa dipastikan jika aparat tidak bertindak tegas maka akan muncul kasus serupa di berbagai titik wilayah Papua atau bahkan daerah lain.

Tak Ada Tempat untuk Bendera Bintang Kejora

Pernyataan tersebut sempat ditegaskan oleh mantan Menko Polhukam Wiranto menanggapi adanya pengibaran di sejumlah daerah menyusul protes insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya tahun 2019 lalu. Melalui pernyataannya, pemerintah menegaskan bahwa pengibaran bendera melanggar Undang-undang.

Eksistensi bendera bintang kejora tak terlepas dari sosok Nicolaas Jouwe. Pria yang lahir di Hollandia (saat ini Jayapura) pada 24 November 1924 pernah menjadi pemimpin Papua yang anti-Indonesia. Dirinya sempat ikut dalam aktivitas Gerakan Persatuan Nieuw Guinea, yang dibentuk Belanda untuk menentang pengaruh Indonesia. Dari nama Nicolaas Jouwe, kemudian terhubung dengan tokoh senior sekaligus pendiri OPM, yakni Nicholas Messet. Dalam kisah perjalanannya mencari arti kemerdekaan, Nicholas Messet bercerita bahwa dirinya bertemu dengan salah satu sosok pemimpin Papua yang juga terpilih menjadi Wakil Presiden dari Dewan Nugini yang mengatur koloni Belanda, Nugini Belanda yakni Nicolaas Jouwe. Dalam pertemuan tersebut dirinya merasa tersentak ketika mendengarkan cerita langsung Jouwe saat bertemu dengan mantan Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy. Secara gamblang dijelaskan bahwa ternyata sejak 24 Agustus 1828, Papua telah menjadi bagian dari Hindia-Belanda yang mana otomatis merupakan bagian dari Indonesia. Presiden Amerika ke-35 tersebut memperingatkan Jouwe bahwa ternyata selama ini keberadaan OPM telah dicurangi oleh Belanda.   

Sontak setelah mengetahui kebenaran tersebut, Nicholas Messet yang merupakan salah satu pendiri OPM merasa menemukan titik balik. Dirinya mengaku sadar dan pada tahun 2007 memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sebelumnya, Nicholas Messet pernah menyatakan diri sebagai salah satu orang yang mengibarkan bendera bintang kejora Papua pada tanggal 1 Desember 1961. Meski demikian, setelah menyadari bahwa kolonial Belanda telah melakukan politik pecah belah dengan memutarbalikkan fakta, dirinya secara tegas menyatakan bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia dengan tanggal kemerdekaan 17 Agustus 1945.  

Baginya, keberadaan bendera bintang kejora Papua adalah sebuah kenangan lama, kenangan saat dirinya tertipu oleh Belanda agar lepas dari negara Indonesia. Maka secara tegas, juga mengingatkan kepada para anggota kelompok separatis Papua atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), termasuk KNPB dan AMP agar tersadar dan terbangun dari angan-angan yang diciptakan oleh koloni Belanda seperti dirinya dahulu. Papua merupakan bagian dari NKRI, segala macam bentuk disintegrasi sudah sepatutnya dicegah demi percepatan kemajuan bumi cenderawasih.

Sejumlah aksi simbol eksistensi yang hingga saat ini masih dilakukan oleh Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua atau juga disebut KKB merupakan korban propaganda sesat pikir yang menyeruak sekian lama ditambah dengan minimnya pengetahuan sejarah berkaitan dengan tanah Papua. Hal tersebut juga diperparah dengan pengaruh orang-orang luar yang memiliki misi panjang untuk mengeruk keuntungan dari Papua dan orang-orang didalamnya. Para anggota kelompok separatis ini masih beranggapan bahwa Papua merupakan sebuah entitas yang berdiri sendiri, tidak terdapat hubungan dengan NKRI, atau malah mirisnya merasa dicaplok oleh NKRI. Padahal sesungguhnya antara NKRI dan Papua memiliki kesamaan sejarah, yakni wilayah Hindia-Belanda, bekas jajahan Belanda di masa lalu.

Pada akhirnya, diperlukan kewaspadaan bersama terkait adanya hal-hal pelanggaran yang sengaja dilakukan salah satunya melalui pengibaran bendera bintang kejora. Bisa jadi hal tersebut sengaja dilakukan untuk memancing reaksi publik yang lebih luas. Seperti diketahui bahwa Indonesia sedang memiliki hajatan event KTT G20 yang melibatkan negara-negara di dunia. Adanya letupan-letupan seperti kasus pengibaran bendera bintang kejora bisa dimaksudkan untuk mengundang perhatian dunia internasional. Berangkat dari hal tersebut, sudah seharusnya pihak aparat bertindak lebih aktif dalam merespon adanya kejadian pengibaran bendera bintang kejora, apapun motifnya.  

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Munculnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) tak bisa terlepas dari sejarah tanah Papua dan hubungannya dengan negara Belanda yang sempat menduduki wilayah tersebut. Salah satu tokoh senior sekaligus pendiri OPM, yakni Nicholas Messet dalam beberapa waktu terakhir kembali ramai diperbincangkan publik terkait kisah hidup dan keputusanya untuk kembali ke NKRI.

Diketahui bahwa pada tahun 2007 lalu, ia memutuskan kembali ke NKRI setelah lebih dari 40 tahun malang melintang mencari arti dari kata kemerdekaan bagi Papua hingga berada di Amerika Serikat. Dalam perjalannnya, ia kemudian tersadar bahwa upaya kemerdekaan Papua adalah cita-cita bangsa Belanda untuk memecah belah negara Indonesia.

Pembentukan Negara Papua adalah Tipu Daya Belanda

Dalam kisah perjalanannya mencari arti kemerdekaan, Nicholas bercerita bahwa dirinya bertemu dengan salah satu sosok pemimpin Papua yang juga terpilih menjadi Wakil Presiden dari Dewan Nugini yang mengatur koloni Belanda, Nugini Belanda yakni Nicolaas Jouwe. Dalam pertemuan tersebut dirinya merasa tersentak ketika mendengarkan cerita langsung Jouwe saat bertemu dengan mantan Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy. Secara gamblang dijelaskan bahwa ternyata sudah sejak 24 Agustus 1828, Papua telah menjadi bagian dari Hindia-Belanda yang mana otomatis merupakan bagian dari Indonesia. Presiden Amerika ke-35 tersebut memperingatkan Jouwe bahwa ternyata selama ini keberadaan OPM telah dicurangi oleh Belanda.  

Sontak setelah mengetahui kebenaran tersebut, Nicholas Messet yang merupakan salah satu pendiri OPM merasa menemukan titik balik. Dirinya mengaku sadar dan pada tahun 2007 memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sebelumnya, Nicholas pernah menyatakan diri sebagai salah satu orang yang mengibarkan bendera bintang kejora Papua pada tanggal 1 Desember 1961. Meski demikian, setelah menyadari bahwa kolonial Belanda telah melakukan politik pecah belah dengan memutarbalikkan fakta yang ada, dirinya secara tegas menyatakan bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia dengan tanggal kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Baginya, keberadaan bendera bintang kejora Papua adalah sebuah kenangan lama, kenangan saat dirinya tertipu oleh Belanda agar lepas dari negara Indonesia. Maka secara tegas, juga mengingatkan kepada para anggota kelompok separatis Papua atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) agar tersadar dan terbangun dari angan-angan yang diciptakan oleh koloni Belanda seperti dirinya dahulu. Papua merupakan bagian dari NKRI, segala macam bentuk disintegrasi sudah sepatutnya dicegah demi percepatan kemajuan bumi cenderawasih.

Propaganda Sesat dan Pengkaburan Sejarah Papua

Sejumlah aksi teror yang hingga saat ini masih dilakukan oleh Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua atau juga disebut KKB merupakan korban propaganda sesat pikir yang menyeruak sekian lama ditambah dengan minimnya pengetahuan sejarah berkaitan dengan tanah Papua. Hal tersebut juga diperparah dengan pengaruh orang-orang luar yang memiliki misi panjang untuk mengeruk keuntungan dari Papua dan orang-orang didalamnya.

Para anggota kelompok separatis ini masih beranggapan bahwa Papua merupakan sebuah entitas yang berdiri sendiri, tidak terdapat hubungan dengan NKRI, atau malah mirisnya merasa dicaplok oleh NKRI. Padahal sesungguhnya antara NKRI dan Papua memiliki kesamaan sejarah, yakni wilayah Hindia-Belanda, bekas jajahan Belanda di masa lalu.

Masyarakat Papua Jangan Terpancing Isu Kemerdekaan Semu

Menjawab sejumlah argumen kelompok separatis yang hingga kini masih berupaya untuk keluar dari Indonesia dan menganggap hal tersebut sebagai sebuah kemerdekaan. Nicholas Messet secara tegas mengatakan bahwa anak muda masa kini tidak perlu bermimpi Papua akan merdeka seperti yang dilakukannya selama 40 tahun lalu dan berakhir dengan sia-sia. Menurutnya disebut merdeka adalah jika sudah mendapat pekerjaan, baru bisa berpikir bahwa dunia ini besar. Namun jika hanya bermain judi atau togel tanpa bisa membantu orang lain, maka merdeka hanyalah slogan belaka.

Terkait itu, dirinya juga teringat dengan nasihat yang diberikan mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta bahwa negara Indonesia besar sekali, kita harus bangga karena berada dalam negara besar, sementara kalau melepaskan diri kemudian berada di luar, tidak ada pihak yang mau mendengar. Banyak contoh negara kecil yang tidak banyak pihak yang mau mendengar. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh pemuda Papua saat ini adalah belajar, belajar, dan belajar. Karena dengan begitu maka hal baik akan didapat, bukan saja di Indonesia namun di seluruh dunia.

Sebuah Pesan Bahwa Isu Kemerdekaan Adalah Kepentingan Pihak Asing

Sebuah pesan juga terucap dari seorang mantan anggota OPM yang pernah mendekam di tahanan selama 15 tahun karena turut mengibarkan bendera bintang Kejora di Jayapura, Dr. Filep Karma.

Dalam pernyataannya, ia meminta masyarakat Papua agar tidak terpancing oleh isu politik kemerdekaan yang digemborkan oleh TPNPB-OPM karena hanya akan membawa malapetaka bagi diri sendiri, keluarga, dan tatanan kehidupan masyarakat di Papua secara umum.

Isu tentang kemerdekaan Papua sengaja dihembuskan oleh oknum atau kelompok tertentu yang ingin “mengail di air keruh” agar dapat meraup keuntungan politik, finansial, dan material dari isu tersebut. Diskusi politik seputar kemerdekaan Papua telah berlangsung lama sejak tahun 1960-an namun sejauh pengamatan dan refleksi yang mendalam, kemerdekaan Papua sangat sulit tercapai atau dapat dikatakan “mimpi yang tidak kunjung datang” karena orang Papua sendiri tidak memiliki kesamaan pandang tentang kemerdekaan itu sendiri. Ada yang berpendapat, merdeka berarti lepas dari NKRI sedangkan yang lainnya berpikir bahwa merdeka berarti membangun dalam alam Otonomi Khusus Papua bersama saudara-saudara dari wilayah lain di Indonesia di dalam rangkulan ibu pertiwi Indonesia.

Pemerintah Indonesia telah memahami persoalan Papua sehingga secara sungguh-sungguh berupaya menata pembangunan Papua melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua, serta kebijakan pemekaran provinsi.

Menyadari akan semuanya ini, dirinya meminta semua lapisan masyarakat Papua agar tidak terpancing isu-isu politik yang menyesatkan diri sendiri dan jauh lebih baik mengambil posisi yang tepat yaitu membanting tulang, menyingsingkan lengan baju untuk membangun tanah Papua yang sejahtera dan damai bagi semua suku, agama, ras dan golongan.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Aksi Demonstrasi Penolakan Kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) dan Kebijakan Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua secara umum berlangsung kondusif. Hal tersebut menjadi keberhasilan pihak aparat keamanan dan jajaran terkait melalui beberapa teknis antisipasi dan pengajuan syarat yang dilakukan terhadap pendemo sebelum hari pelaksanaan berlangsung.

Meskipun begitu, di beberapa titik masih terdapat kericuhan kecil yang secara sigap berhasil diantisipasi dan dikendalikan oleh aparat kepolisian. Untuk diketahui bahwa dalam merespon aksi ini, aparat keamanan menurunkan sebanyak 2000 personil gabungan yang disiagakan di beberapa tempat.

Massa Aksi Langgar Larangan Long march

Seperti yang dijelaskan sebelumnya oleh Kapolresta Jayapura Kota, Ajun Komisaris Besar (AKBP) Victor Dean Mackbon, bahwa pihak kepolisian sejak awal menolak adanya aksi demonstrasi karena beberapa syarat yang diajukan tidak dapat dipenuhi oleh koordinator aksi, yakni Petisi Rakyat Papua (PRP). Namun begitu, jika memang aksi tetap dilaksanakan karena merupakan hak warga negara dalam menyuarakan pendapat sesuai undang-undang. Pihak kepolisian akan menfasilitasi massa aksi dengan menyediakan kendaraan truk untuk bertemu dengan pihak DPR Papua ataupun memfasilitasi titik penyampaian aspirasi, seperti di Perumnas Waena II dan Jalan Biak Abepura. Namun secara tegas pihak kepolisian melarang keras adanya long march dari titik manapun. Jika masih terdapat kegiatan tersebut, maka akan segera ditindak tegas.

Sebuah narasi pemberitaan muncul dari media online Jubi.id menyatakan bahwa massa yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) dihadang, dipukul, ditangkap, dan ditembaki gas air mata oleh aparat keamanan di depan Gapura Universitas Cenderawasih Abepura dan Kampus USTJ. Koordinator lapangan aksi, Gerson Pigai menjelaskan bahwa pihak kepolisian menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa yang mulai bergerak sejak pagi dari titik aksi expo menuju Abepura. Hal yang sama juga dirasakan oleh pengunjuk rasa dari titik USTJ yang akan bergerak keluar kampus dari pukul 06:58 WIT. Sementara di titik lingkaran, aksi yang dimulai pukul 06.15 WIT dihadang di titik keluar jalan Biak Lingkaran. Sedangkan pengunjuk rasa di Titik Sentani Pos 7 atas mulai bergerak 06.54 WIT dipukul mundur ke halaman kampus Walterpos, Sentani.

Seluruh kejadian tersebut memiliki satu keterkaitan sebab, yakni pelarangan adanya long march yang sebelumnya telah disampaikan oleh pihak kepolisian namun tidak diindahkan oleh massa peserta aksi. Merasa terpojok, beberapa perwakilan massa justru membuat keterangan kepada sejumlah wartawan peliput berupa tuduhan bahwa pihak kepolisian bertindak represif. Padahal sebelumnya sudah jelas dikatakan oleh pihak kepolisian bahwa larangan long march untuk mencegah agar tidak mengganggu situasi kamtibmas. Jika terjadi suatu hal yang melawan petugas, maka akan terdapat langkah tegas dari kepolisian.

Waspada Unggahan Foto Hoaks dari Massa Aksi untuk Memprovokasi Masyarakat

Namun, seperti tak ingin kehilangan momentum dalam hari kegiatan aksi, sejumlah oknum dari PRP kemudian mengunggah konten lama berisikan foto demonstran yang terluka. Dalam narasinya, mereka menuduh pihak kepolisian bertindak represif. Padahal foto yang diunggah adalah kejadian lama.

Menanggapi hal tersebut, Kapolresta Jayapura Kota AKBP Victor Dean Mackbon   membantah bahwa hal tersebut termasuk hoaks yang sengaja dilempar oleh massa aksi untuk memprovokasi masyarakat. Foto tersebut merupakan file lama yang diunggah ulang oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Pihaknya juga sudah memastikan dengan mengecek postingan tersebut serta akan dilakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap akun media sosial Facebook yang menyebarkan foto hoaks tersebut. Dalam unggahan tersebut disebut terdapat massa aksi terluka di wilayah expo, namun kenyataannya di wilayah tersebut tidak terdapat massa yang melakukan aksi dan juga tidak dilakukan pembubaran paksa oleh aparat.

Kapolres kembali mengimbau kepada masyaraka agar tidak cemas dan mudah terprovokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menyebarkan berita bohong atau hoaks.

Ditemukan Bendera Bintang Kejora, Aksi Ditunggangi Kelompok Separatis

Salah satu kekhawatiran berikut dengan antisipasi yang telah dilakukan oleh aparat sebelumnya, menemui kenyataan. Dalam aksi yang berfokus pada penolakan Otsus dan Kebijakan DOB tersebut Polisi mengamankan adanya bendera bintang kejora di Sorong Papua Barat. Bendera tersebut diamankan saat massa melakukan long march dari depan lampu merah Remu menuju kantor DPRD Kota Sorong.

Massa aksi penolakan DOB di Timika juga menyusupkan poin tuntutan referendum dalam aksinya.

Situasi Terkendali, Massa Aksi Berangsur-angsur Membubarkan Diri

Secara keseluruhan aksi yang dilaksanakan di berbagai titik tersebut dinyatakan kondusif oleh aparat kepolisian. Kepala Bidang Humas Polda Papua Kombes Pol. Ahmad Musthofa Kamal menyatakan bahwa aksi unjuk rasa yang berlangsung di sejumlah daerah tersebut berlangsung aman.

Pada sejumlah wilayah di Provinsi Papua berlangsung aksi unjuk rasa penolakan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang dilakukan oleh massa yang mengatasnamakan Petisi Rakyat Papua (PRP), KNPB Baliem di Kabupaten Jayawijaya dan Fopera di Kabupaten Paniai. Polda Papua dan Polresta Kota Jayapura telah melakukan patroli dan penyekatan serta razia di beberapa titik untuk mengantisipasi berkumpulnya massa yang lebih banyak. Personel gabungan masih melakukan pengamanan di titik-titik kumpul massa. Di beberapa daerah massa telah membubarkan diri dengan tertib.

Sekali lagi, bahwa beredarnya video, foto dan narasi yang mengatakan adanya bentrokan antara aparat keamanan TNI dan Polri dengan massa di lapangan. hal tersebut tidak benar. Kepada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dengan menyebarkan berita yang belum tentu benar atau hoaks.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)