suaratimur.id – Sebuah pemberitaan datang dari pernyataan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay sebagai kuasa hukum honorer yang tergabung dalam Forum Komunikasi Honorer se-provinsi Papua dan Dewan Pimpinan Wilayah Aliansi Honorer Nasional Papua. Mereka mengajukan 4 poin perihal pengangkatan honorer Papua sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).  Pertama, meminta kepada Presiden RI untuk segera memerintahkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) dan Menteri Dalam Negeri untuk tidak mengirimkan PNS atau ASN dari luar provinsi di Papua untuk dijadikan PNS atau ASN di provinsi maupun kabupaten dan kota di seluruh tanah Papua, sebelum persoalen honorer diselesaikan. Kedua, LBH Papua meminta presiden segera perintahkan Menpan RB untuk realisasikan pengangkatan 20 ribu tenaga honorer menjadi PNS atau ASN di Papua.

Kemudian Ketiga, kepada Menpan-RB untuk segera memerintahkan kepala daerah provinsi, kabupaten, kota di Tanah Papua untuk mengangkat seluruh honorer di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi Papua Tengah, Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan, Pemerintah Provinsi Papua Selatan, Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya beserta Pemerintah Kabupaten dan Kota di dalamnya menjadi PNS atau ASN. Keempat, meminta Kepala Daerah Provinsi Papua, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Barat Daya segera mengangkat seluruh Honorer menjadi PNS atau ASN di wilayahnya masing-masing.

Emanuel Gobay lantas mendasarkan poin-poin ajuan tersebut pada perintah konstitusi bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur pada Pasal 28d ayat (d), UUD 1945 maka seluruh Honorer diseluruh wilayah Papua memiliki hak untuk diangkat menjadi PNS atau ASN dan sesuai dengan perintah ketentuan HAM terkait Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan sebagaimana diatur pada Pasal 43 ayat (3), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM maka seluruh honorer di seluruh wilayah Papua yang telah mengabdi selama beberapa tahun dalam pemerintah berhak diangkat jabatannya menjadi PNS atau ASN dalam lingkungan pemerintahan tempatnya bekerja.

Meski tergolong sebuah protes dan tuntutan, namun penyampaian dari Emanuel Gobay masih mampu diserap dan diterima secara bijak oleh pihak yang dituju dalam hal ini adalah pemerintah. Sayangnya, dalam proses tersebut kemudian muncul sejumlah akun yang bersifat provokatif turut merespon pemberitaan tersebut. Akun Twitter @Lupasaya7 mengunggah cuitan dengan opini provokatif bahwa Mendagri diisukan akan datangkan ribuan ASN dari luar Papua, sudah diduga sejak awal hal tersebut memang politik pendudukan warga penjajah, bukan untuk orang Papua. Cuitan tersebut kemudian diretweet oleh puluhan akun, salah satunya akun @gembala_koteka yang kerap bersikap oposisi dengan pemerintah.

Penyampaian Menpan-RB Terkait Upaya Keberpihakan Terhadap ASN Papua

Sebelumnya, Menpan-RB secara tegas telah menyampaikan bahwa pemerintah pusat akan mengafirmasi orang Papua dalam seleksi CPNS. Hal tersebut disampaikan saat bincang bersama ASN Provinsi Papua di Jayapura pada Jumat 19 Mei 2023. Hal tersebut disebut sebagai perhatian besar dari Presiden Jokowi kepada orang Papua. Dijelaskannya bahwa ASN menjadi engine dari birokrasi. Pelayanan dan birokrasi merupakan hal yang berkesinambungan dalam mewujudkan pelayanan publik yang prima. Untuk mewujudkan birokrasi yang semakin baik tersebut, Kemenpan-RB saat ini terus menggaungkan reformasi birokrasi berdampak sesuai arahan Presiden Joko Widodo. ASN sebagai pasukan terdepan juga harus siap beradaptasi dan bekerja lincah untuk dapat memenuhi ekspektasi publik.

Dirinya menegaskan bahwa penerimaan 20 ribu ASN di Provinsi DOB Papua akan diutamakan 80% OAP. Hal tersebut berdasarkan perintah dan amanat dari Presiden Jokowi untuk memprioritaskan OAP dalam perekrutan ASN sebagai bentuk afirmasi bagi Papua. Untuk itu dirinya meminta kepada pemerintah daerah untuk lebih segar melihat kebijakan Presiden Jokowi sebagai bentuk afirmasi kepada orang Papua dengan memberikan data kepada Menpan RB soal orang Asli Papua. Pasalnya, yang baru diusulkan kepada Kemenpan-RB dari pemerintah daerah di Papua baru 8.000 sementara yang dibutuhkan itu 20.000 ASN, dan untuk memenuhi hal tersebut harus menunggu dari sekda dan dari teman-teman di Papua untuk mengusulkan, jadi presiden sangat memperhatikan Papua, sehingga sangat tidak mungkin dan tidak benar kalau ada mobilisasi ASN dari daerah Jawa ke Papua. Hal tersebut sekaligus menjawab pernyataan dari Emanuel Gobay sebagaimana diberitakan suarapapua.com berjudul: LBH Papua: Stop Datangkan PNS dari Luar Tanah Papua!, dalam artikel tersebut menyatakan agar pemerintah tak datangkan PNS dari luar Papua.

Jika merujuk pada hasil keputusan antara Komisi II DPR dan pemerintah pada pertengahan tahun lalu. Telah terdapat kesepakatan adanya bentuk afirmasi untuk penerimaan ASN di daerah otonomi baru (DOB) Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan. Kebijakan tersebut kemudian masuk dalam salah satu UU tentang pembentukan provinsi. Dalam rapat kerja tersebut, salah satu RUU yang dijadikan contoh pembahasan terkait penerimaan ASN adalah RUU Provinsi Papua Selatan. Raker tersebut menyepakati satu pasal tersendiri yang memasukkan ayat pertama dimana ketentuan mengenai peraturan di Provinsi Papua Selatan diatur dengan peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara dengan ketentuan khusus sebagai bentuk afirmasi. Selanjutnya pada ayat dua, untuk pertama kalinya pengisian ASN di Provinsi Papua Selatan dilakukan penerimaan CPNS OAP yang berusia paling tinggi 48 tahun. Kemudian pegawai honorer OAP yang terdaftar kategori II di Badan Kepegawaian Negara (BKN) menjadi CPNS yang berusia paling tinggi 50 tahun, yakni Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward O.S. Hiariej menyatakan bahwa UU Otonomi khusus Papua dengan turunan UU pemekaran provinsi sebagai sesuai lex spesialis sistematis. Ketika nantinya mencantumkan dalam UU ini untuk pertama kalinya 50 tahun, dengan demikian ketentuan lainnya menjadi tidak berlaku.

DPRD Kawal Pengangkatan ASN Jalur Afirmasi

Berkaitan dengan hal tersebut, anggota DPRD Kabupaten Jayapura, Konstan Daimoi mengapresiasi kerja pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayapura, dalam hal ini Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang telah berupaya mengisi kuota pengangkatan ASN melalui jalur afirmasi atau khusus di kabupaten Jayapura, dimana saat ini dari kuota 1.000 yang disiapkan telah terdapat 820 orang tenaga kontrak (K2) yang datanya sudah sampai ke Kemenpan-RB untuk ditetapkan. Sebagai wakil rakyat dirinya akan melakukan pengawasan terhadap pengangkatan ASN formasi jalur khusus ini. Terutama bagaimana proses pengangkatan ASN formasi khusus ini dipercepat, karena sudah cukup lama masyarakat atau tenaga kontrak ini menunggu. Dirinya juga meminta pemerintah, supaya dalam proses pengangkatan terhadap ASN di Kabupaten Jayapura memperhatikan hak kesulungan yang telah diakui melalui UU otonomi khusus. Artinya penempatan ASN harus didominasi oleh Orang Asli Papua.

Mewaspadai Provokasi Pihak Oposisi yang Tak Sejalan dengan Kebijakan Pemerintah

Bukan kali ini saja, adanya nyinyir dari sejumlah pihak yang masih tak sejalan dengan kebijakan pemerintah menghiasi timeline di media sosial. Satu hal yang perlu diketahui dan menjadi penegasan bahwa sederetan pihak provokatif tersebut sedari awal kebijakan DOB akan diterapkan telah menolak dengan sejumlah alasan yang tak masuk akal. Lebih dari itu, setiap kebijakan pemerintah bahkan tak didukung oleh orang-orang ini. Bagi mereka, pelepasan Papua dari Indonesia adalah misi yang terus diupayakan. Perubahan demi perubahan yang menuju ke arah lebih maju dan sejahtera bagi Papua, termasuk realisasi kebijakan DOB seperti tak dihiraukan. Lepas dari sebuah negara bukan mutlak menjadi sebuah jalan baru yang kemudian dianggap lebih baik dari sebelumnya. Wilayah Timor-Timur menjadi kasus yang bisa menjadi contoh bagi para penolak kebijakan pemerintah tersebut. Puluhan tahun merdeka namun tak bisa seperti yang mereka harapkan saat memutuskan untuk berpisah saat itu.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Di tengah proses pemerintah daerah mempersiapkan perangkat provinsi pemekaran kebijakan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua yang beberapa waktu lalu telah disahkan. Masih saja terdapat opini provokatif yang sengaja bersikap nyinyir mempertanyakan urgensi DOB terhadap orang asli Papua (OAP). Adalah seorang pemuda Papua di Provinsi Papua Pegunungan bernama Unas Ginia. Ia menuliskan opininya melalui portal media nokenwene.com bahwa DOB di tanah Papua semakin menyingkirkan masyarakat asli Papua. Kebijakan DOB dinilainya bukan untuk menyejahterakan masyarakat Papua dan membuka lapangan pekerjaan bagi OAP. Dirinya mengatasnamakan masyarakat Papua lantas menyebut telah disingkirkan seperti menjadi penonton di daerah sendiri, padahal provinsi hadir untuk prioritaskan anak daerah.

Sikap nyinyir tersebut ternyata dilatarbelakangi oleh kekecewaan masalah pribadi. Ia baru saja melihat pengumuman hasil tes IPDN dari Provinsi Papua Pegunungan. Dirinya mengaku kecewa dengan hasil tes IPDN Provinsi Papua Pegunungan yang tidak 100% OAP. Padahal, menurut pendapatnya UU Otsus menekankan prioritas bagi orang Papua namun faktanya tidak demikian. Terlebih, ia melihat bahwa honorer provinsi Papua Pegunungan akan penuh dengan non Papua, otomatis menurutnya penerimaan Aparatur Sipil Negara (ASN) nanti akan diutamakan honorer tersebut dan disebut akan menguasai provinsi baru. Dirinya lantas meminta kepada Pj Gubernur Papua Pegunungan melihat kondisi adanya penyingkiran OAP. Di akhir opininya, ia kemudian mengancam bahwa jika kondisi tersebut terus terjadi, maka masyarakat di Provinsi Papua Pegunungan diklaim akan turun ke jalan melakukan aksi di halaman kantor Gubernur.

Hal serupa juga datang dari akun twitter @Mulait_ yang menyebut bahwa Kebijakan DOB serta Otsus merupakan ide BIN dan bagian dari upaya menguasai tanah Papua. OAP dikhawatirkan akan kalah saing dengan para pendatang. Sebuah ketakutan berlebihan dari masyarakat yang sejak awal telah diperhatikan dan bahkan diistimewakan pemerintah pusat melalui sejumlah kebijakan seperti Otsus dan DOB. Untuk diketahui bahwa akun twitter @Mulait_ melalui sejumlah unggahannya kerap berada pada posisi oposisi.

Telaah Informasi dan Pengetahuan Berkaitan dengan Ruang Afirmasi bagi OAP

Sikap kekhawatiran bahwa warga pendatang akan menguasai wilayah Papua merupakan sebuah ketakutan dari seseorang yang minim informasi seperti katak dalam tempurung. Berkali-kali pemerintah menjelaskan, bahkan diteruskan oleh sejumlah tokoh Papua bahwa kebijakan DOB akan menjadikan OAP sebagai tuan rumah di wilayah sendiri. Pernyataan terbaru berkaitan dengan hal tersebut juga datang dari tokoh muda Papua, Steve Mara. Dengan tegas, ia bahkan mempertanyakan bahwa siapa yang menjadi tuan tanah di bumi Papua saat ini? Siapa yang mengisi jabatan publik di Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kota, Desa, Militer, Kepolisian, Menteri? Apakah tidak ada orang Papua? Harus direnungkan dengan baik bahwa untuk sampai hingga kebijakan otonomi daerah telah melalui perjalanan panjang. Di balik Otonomi daerah yang diterapkan di bumi Papua saat ini, ada upaya orang asli Papua (OAP) untuk menjadi Tuan Tanah di Bumi Papua. Jika tidak percaya, maka bisa diperiksa nama-nama gubernur atau kepala daerah di Papua semenjak tahun 2000. Apakah mereka bukan OAP? Apakah generasi Papua sebelumnya adalah generasi buta huruf yang tidak memahami situasi bangsa Papua dan tidak bisa berpikir secara bebas? Hal ini harus menjadi perenungan bersama. Steve Mara yakin suatu hari nanti putera-puteri Papua akan menduduki kursi pimpinan nasional yang tertinggi di Nusantara. Kiranya setiap insan Papua berkontribusi untuk membangun pemahaman yang utuh, tidak selektif dalam memaknai peristiwa penting, seperti sejarah Papua dan peristiwa Pepera yang masih saja dipertanyakan oleh pihak tertentu. Sehingga pada akhirnya pemahaman tersebut kokoh karena dibangun di atas batu pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan pasir kekeliruan dan hasutan.

Kemudian berkaitan dengan penataan dan penerimaan ASN di Provinsi pemekaran, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) sejak awal telah menawarkan pengadaan ASN di tiga wilayah baru tersebut dengan mempertimbangkan kearifan lokal yakni komposisi 80% OAP dan 20% non OAP. Tiga provinsi baru tersebut diperkirakan bakal membutuhkan ASN hingga mencapai puluhan ribu pegawai. Secara lengkap, penawaran pemerintah dalam pemenuhan pegawai di wilayah DOB meliputi: Pengukuhan dalam jabatan yang telah menduduki jabatan setara dengan jabatan yang masih satu rumpun jabatan, khususnya yang berasal dari Provinsi induk, uji kesesuaian dalam jabatan (job fit) bagi pegawai yang telah menduduki jabatan setara dengan rumpun jabatan yang berbeda, serta seleksi terbuka dan kompetitif berdasarkan peraturan UU apabila tidak terdapat kesesuaian ASN dengan jabatan yang dibutuhkan baik dari dalam lingkungan provinsi maupun luar Provinsi Papua.

Pemerintah juga bakal mempertimbangkan sejumlah syarat penerimaan ASN bagi OAP. Untuk diketahui bahwa Pemerintah dan Komisi II DPR sebelumnya telah sepakat mengakomodasi OAP untuk lebih dominan dalam formasi ASN pada DOB Papua. Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, menegaskan bahwa pemekaran provinsi tetap menggaransi keberadaan OAP. Telah disepakati komposisi sebesar 80 persen OAP mengisi formasi ASN.

Melalui kebijakan pemekaran wilayah, pemerintah juga berhasil memperjuangkan afirmasi OAP, dimana batas pengangkatan ASN untuk CPNS hingga 48 tahun, sedangkan usia 50 tahun untuk CPNS berasal dari tenaga honorer. Keputusan tersebut memiliki dasar dan alasan bahwa apabila pemerintah menggunakan skema rekrutmen CPNS seperti biasa, maka tidak akan memenuhi kebutuhan ASN di tiga provinsi baru hasil pemekaran Papua, sehingga batas persyaratan usia dinaikkan.  Keputusan menaikkan usia tersebut menjadi salah satu bukti perjuangan afirmasi untuk mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua.

Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah untuk 900 Pelajar Papua

Fakta berikutnya berkaitan dengan dukungan pemerintah pusat terhadap OAP, sebanyak 900 pelajar di Papua mendapat beasiswa afirmasi pendidikan menengah (Adem). Beasiswa tersebut berlaku untuk Provinsi Papua termasuk tiga DOB. Kepala Bidang Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus DPPAD Papua Laurens Wantik menjelaskan, penerima Beasiswa Adem adalah program penerima beasiswa yang dikhususkan untuk orang asli Papua. Penerima beasiswa Adem disebar di 150 sekolah menengah atas dan kejuruan di enam provinsi yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali. Untuk tahun 2023, beasiswa Adem yang disiapkan untuk Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Selatan sebanyak 350 orang.  Rekrutmen sudah mulai dilakukan dan setelah dinyatakan lulus SMP mereka akan dikirim ke sekolah penerima.

Pemberian beasiswa Adem bertujuan memberikan pendidikan menengah yang berkualitas sehingga diharapkan terjadi percepatan pembangunan sumber daya manusia di Papua. Selain beasiswa Adem, program yang tengah pada masa sosialisasi yakni beasiswa Afirmasi pendidikan tinggi (Adik). Dua program yang diperuntukkan bagi OAP tersebut diharapkan mampu menjawab angka statistik pendidikan yang kurang baik, khususnya di wilayah Papua.

Sikap Pesimis Terhadap Kebijakan DOB Tak Lebih dari Keengganan Memajukan Papua

Sebegitu banyak program dan kebijakan yang dihadirkan oleh pemerintah pusat terhadap masyarakat Papua terutama OAP, namun masih saja terdapat keluh kesah dan rasa kekecewaan yang muncul dalam unggahan narasi di media online. Manusia memang tidak sempurna, begitu juga dengan realisasi kebijakan pemerintah yang memang harus dikawal agar benar-benar tepat sasaran. Sebagaimana yang tertuang di Pancasila sila ke-5 yang berbunyi ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’, pemekaran Papua yang membentuk empat provinsi baru merupakan salah satu bentuk wujud perhatian pemerintah terhadap masyarakat kawasan Timur untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Hal tersebut juga diamini oleh pejabat Walikota Jayapura, Frans Rekey bahwa melalui pemekaran terlihat jelas dari sudut lokasi dan tanggung jawab daerah masing-maisng.

Maka daripada mengutuk ruang kegelapan, akan lebih baik jika menyalakan lilin sebagai terang jalan dalam upaya memajukan serta menyejahterakan tanah Papua secara bersama-sama. Tuhan memberkati.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)­

suaratimur.id – Menjadi kajian bersama bahwa eksistensi Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua yang mereka sebut sendiri sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang hingga kini masih terus menunjukkan pergerakannya tak lepas dari bantuan dan dukungan sejumlah pihak. Sebuah pernyataan hasil analisis sekaligus indikasi muncul dari Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri bahwa beberapa pejabat termasuk oknum ASN di Papua terlibat mendukung pergerakan KST Papua atau juga disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Pernyataan tersebut disampaikan saat kunjungannya di Timika pada 30 April 2023 lalu, bahwa terdapat beberapa pejabat yang terlibat dengan kelompok TPNPB OPM yang menyandera pilot Susi Air, Philip Mehrtens. Pihaknya berjanji akan mengambil langkah tegas jika pejabat daerah Papua terbukti membantu KST atau KKB. Tidak dibenarkan kepada siapapun atau pihak manapun yang terlibat untuk mendukung aksi Egianus Kogoya. Kapolda lantas memberikan ultimatum terhadap para pejabat yang terdapat kaitan dengan penyanderaan pilot Susi Air. Jika terdapat pihak yang bermain belakang, maka dirinya tidak segan-segan untuk melakukan tindakan hukum.

Peneliti isu Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merespon hal tersebut menilai bahwa pejabat daerah seharusnya dapat memegang peran penting dalam penyelesaian konflik antara TPNPB OPM dengan aparat keamanan, mereka seharusnya menjadi mediator sehingga terjadi negosiasi serta proses dialog dari level yang paling bawah. Dirinya berharap bahwa pemerintah daerah dapat membantu membuka ruang dialog untuk konflik tersebut supaya operasi militer dan tembak menembak di Papua dapat berhenti.

Sementara itu, di sisi lain juru bicara TPNPB OPM, Sebby Sambom mengatakan bahwa kelompoknya sama sekali tidak menerima dukungan dalam bentuk apapun dari pemerintah maupun pejabat Papua.

Fakta banyaknya Anggota Kelompok Separatis yang Berkerabat dengan Pejabat di Papua

Sebelum pernyataan adanya pejabat yang terlibat mendukung kelompok separatis, pada akhir tahun lalu Kapolda Papua juga sempat menyatakan harapannya terhadap kebijakan Daearah Otonomi Baru (DOB) kaitannya dengan pihak kelompok separatis yang kerap menunjukkan penolakan melalui sejumlah aksi. Disampaikan dirinya bahwa terdapat fakta banyak anggota kelompok separatis yang memiliki hubungan kekerabatan dengan para pejabat di daerah sehingga bisa mendapat sentuhan langsung akan mampu bekerjasama dalam membangun tanah Papua.

Berkaitan dengan hal tersebut, mantan Panglima OPM Lambert Pekikir juga angkat bicara berkaitan dengan hubungan antara gerakan separatis dengan pejabat di Papua, utamanya berkaitan dengan kasus Lukas Enembe. Dirinya menjelaskan berkaitan dengan perbedaan OPM murni dan OPM buatan. Jika OPM murni, memiliki visi dan misi untuk memperjuangkan Papua merdeka, sedangkan OPM buatan lebih kepada upaya menunjukkan keberadaannya dengan melakukan sejumlah aksi dengan angkat senjata. Mirisnya, hal tersebut mendapat dukungan dari pejabat, salah satunya dari Lukas Enembe. Dirinya bahkan sejak awal menyerukan agar para pejabat di Papua diperiksa, mulai dari tingkat provinsi hingga distrik, bahkan sampai ke kepala kampung di seluruh Papua.

Riwayat Oknum ASN dan Pejabat Papua Terlibat Dukung OPM

Jika ditarik mundur ke belakang, kejadian adanya dukungan dari sejumlah oknum ASN dan pejabat Papua terhadap gerakan OPM memang nyata adanya. Sekitar dua tahun lalu, satgas Nemangkawi yang saat ini telah berubah menjadi Satgas Damai Cartenz telah menemukan adanya keterlibatan oknum ASN berinisial ES yang bertugas di Pemerintah Kabupaten Yahukimo menjadi pemasok senjata api kepada kelompok separatis Papua. Saat penangkapan terjadi, petugas menemukan 26 butir amunisi tajam 5,65 mm, 8 butir amunisi 38 SPC, 1 magazin M-16, 1 pasang pakaian loreng Komite Nasional Papua Barat (KNPB), 2 parang, 2 kapak, 1 sabit, 1 badik; 1 sangkur; 1 besi tajam, 1 palu, dan lain-lain. Sejumlah barang bukti tersebut diduga kuat memiliki keterkaitan dengan TPNPB OPM. Mirisnya, penangkapan tersebut bukan kali pertama terjadi dan melibatkan ASN di daerah Papua.

Pada Juni 2022, Pihak Kepolisian juga menangkap ASN berinisial AN yang diduga sebagai pemasok sejata api, dan amunisi. AN ditangkap di Pos Yalimo saat akan melintas dari Jayapura menuju Wamena. Darinya, Polisi menyita 615 butir peluru tajam aktif, 1 senjata pistol jenis FN, dan dua magazin amunisi untuk senjata laras panjang V2 Sabhara dan SS 1. AN diketahui bekerja sebagai ASN di Kabupaten Nduga.

Kemudian, berdasarkan data dari PPATK tahun 2021 lalu, disampaikan oleh Kepada PPATK saat itu, Dian Ediana Rae bahwa berdasarkan analisis dan pengamat PPATK, terdapat indikasi anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan kesejahteraan Papua, namun tidak digunakan sebagaima mestinya. PPATK menemukan anggaran yang ditarik tidak mengikuti prosedur yang seharusnya mulai dari penggunaan rekening pribadi, berikut dengan penarikan tunai lalu baru dipergunakan PPATK saat itu juga mengungkap adanya 80 transaksi mencurigakan dari dana APBD dan anggaran Otsus Papua selama 10 tahun terakhir. Temuan tersebut melibatkan lebih dari 53 oknum, mulai dari pejabat pemerintah daerah, rekanan pemda, vendor, dan ormas. Potensi kerugian negara diperkirakan mencapai triliunan rupiah.

Mendorong Pihak Kepolisian untuk Ungkap Nama Pejabat yang Terlibat Dukung Kelompok Separatis Papua

Meski indikasi yang kuat tersebut telah disampaikan kepada publik, namun akan lebih terasa dampaknya jika pihak kepolisian benar-benar menyampaikan nama-nama pejabat yang terlibat mendukung TPNPB OPM beserta dengan bukti-bukti terlampir. Berlarutnya upaya pembebasan Pilot Susi Air yang disandera OPM kelompok Egianus Kogoya membuat pihaknya lebih mengedepankan penegakan hukum. Untuk diketahui bahwa sebelumnya, pejabat Bupati Nduga telah diutus untuk melakukan negosiasi namun hingga kini belum membuahkan hasil. Penegakan hukum pada akhirnya harus dilakukan agar kasus penyanderaan sang Pilot Susi Air tersebut tidak semakin berlarut-larut.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Jelang pengesahan kebijakan pemekaran wilayah di Papua, sejumlah agenda dan persiapan terus dilakukan oleh pemerintah bersama DPR. Ruang afirmasi bagi orang asli Papua (OAP), menjadi salah satu poin yang dibahas dalam rapat kerja komisi II DPR di Gedung DPR Senayan, Selasa 28 Juni 2022 kemarin.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri, Bahtiar secara tegas menyatakan bahwa RUU pemekaran Papua memberikan ruang afirmasi bagi OAP. Dalam salah satu pasal juga dijelaskan terkait pengisian aparatur sipil negara (ASN) dan juga tenaga honorer di tiga provinsi pemekaran Papua. Selain itu, juga dibahas relevansi antara RUU pemekaran dengan penataan ASN yang sudah ada.

Pemekaran Provinsi Menggaransi OAP Mengisi 80% Formasi ASN

Berkaitan dengan penataan dan penerimaan ASN di provinsi pemekaran, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) menawarkan pengadaan ASN di tiga wilayah baru tersebut dengan mempertimbangkan kearifan lokal yakni komposisi 80% OAP dan 20% non OAP. Nantinya tiga provinsi baru tersebut membutuhkan ASN hingga mencapai puluhan ribu pegawai.

Secara lengkap, penawaran pemerintah dalam pemenuhan pegawai di wilayah Daerah Otonomi Baru (DOB), meliputi: Pengukuhan dalam jabatan yang telah menduduki jabatan setara dengan jabatan yang masih satu rumpun jabatan, khususnya yang berasal dari Provinsi induk, uji kesesuaian dalam jabatan (job fit) bagi pegawai yang telah menduduki jabatan setara dengan rumpun jabatan yang berbeda, serta seleksi terbuka dan kompetitif berdasarkan peraturan UU apabila tidak terdapat kesesuaian ASN dengan jabatan yang dibutuhkan baik dari dalam lingkungan provinsi maupun luar Provinsi Papua.

Pemerintah juga bakal mempertimbangkan sejumlah syarat penerimaan ASN bagi OAP. Hal tersebut akan dimatangkan kembali payung hukumnya pada kesempatan rapat kerja. Untuk diketahui bahwa Pemerintah dan Komisi II DPR sepakat mengakomodasi OAP untuk lebih dominan dalam formasi ASN pada DOB Papua. Kebijakan tersebut nantinya dimasukkan pada salah satu pasal dalam RUU pembentukan provinsi yang saat ini sedang berproses di DPR. Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, menegaskan bahwa pemekaran provinsi tetap menggaransi keberadaan OAP. Telah disepakati komposisi sebesar 80 persen OAP mengisi formasi ASN.

Komisi II DPR bersama pemerintah juga telah menyetujui RUU Pemekaran Papua dibawa ke tingkat Paripurna untuk diambil keputusan yang dijadwalkan pada Kamis 30 Juni 2022. Selain itu, Ketua Komisi II DPR juga memastikan jika pembentukan provinsi baru akan mempengaruhi jumlah kursi DPR. Hal tersebut merujuk pada Pasal 186 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dimana diatur jumlah anggota DPR sebanyak 575 orang, dengan minimal perwakilan tiga kursi untuk setiap provinsi. Dalam konteks tiga wilayah baru, DPR dan Pemerintah akan membicarakan hal tersebut usai ketiga RUU disahkan menjadi undang-undang, apakah jumlah kursi diatur lewat revisi UU Pemilu atau Perppu.

Pemerintah Putuskan Naikkan Batas Usia Pengangkatan OAP Menjadi ASN

Proses pembahasan kebijakan pemekaran wilayah yang dilakukan secara bertahap dan sigap menjadi bukti perhatian pemerintah dan DPR terhadap upaya memajukan kesejahteraan masyarakat Papua, salah satunya melalui Otsus dan pemekaran wilayah.

Melalui kebijakan pemekaran wilayah, pemerintah juga berhasil memperjuangkan afirmasi OAP, dimana batas pengangkatan ASN untuk CPNS hingga 48 tahun, sedangkan usia 50 tahun untuk CPNS yang berasal dari tenaga honorer. Keputusan tersebut memiliki dasar dan alasan bahwa apabila pemerintah menggunakan skema rekrutmen CPNS seperti biasa, maka tidak akan memenuhi kebutuhan ASN di tiga provinsi baru hasil pemekaran Papua, sehingga batas persyaratan usia dinaikkan.

Keputusan menaikkan usia tersebut menjadi salah satu bukti perjuangan afirmasi untuk mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua.

Dukungan yang Terus Mengalir Menjelang Pengesahan Kebijakan DOB

Seperti tak kenal henti, dukungan terhadap kebijakan pemekaran DOB dari hari ke hari terus bermunculan. Para pihak yang mendukung sangat optimis bahwa pemekaran menjadi upaya percepatan pembangunan di Papua.

Tokoh agama dari suku Dani di Kampung Kali Harapan Nabire, Pendeta Nekies Kogoya, memberikan pernyataan sikap dukungan kebijakan pemerintah tentang pemekaran DOB di Papua karena akan memberikan dampak positif bagi masyarakat, antara lain melalui pembangunan dari segala bidang sehingga rakyat Papua menjadi lebih maju dan sejahtera.

Terkait adanya isu aksi penolakan DOB 14 Juli mendatang, hal tersebut diindikasi dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak setuju pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Diimbau kepada masyarakat suku Dani terutama yang bermukim di wilayah Kampung Kali Harapan Nabire untuk tidak bergabung dalam aksi tersebut, karena hanya akan merugikan diri sendiri dan keluarga. Masyarakat seharusnya taat kepada pemerintah apalagi jika ada kebijakan yang akan membawa dampak pada kesejahteraan.

Sementara itu, puluhan masyarakat dan mahasiswa Papua dan Maluku yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Papua (PMP) Kota Ambon dan Forum Damai Cinta Indonesia (FORDACI) Maluku melakukan aksi unjuk rasa di depan Gong Perdamaian, Kota Ambon, Selasa 28 Juni 2022. Hal tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap pembentukan DOB di tanah Papua. Ketua PMP Kota Ambon, Mathias Andarek, mengatakan bahwa pihaknya akan terus menyampaikan aspirasi melalui aksi demonstrasi sampai pemerintah pusat merealisasikan pembentukan DOB. Menurutnya, pembentukan DOB di Papua sangat penting karena diyakini akan menjadi suatu cara untuk meningkatkan pembangunan di berbagai sektor, antara lain sektor pendidikan, pembangunan infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM), dan perekonomian masyarakat maupun daerah.

Tak hanya dukungan terkait kebijakan pemekaran, adanya sejumlah tindakan brutal yang dilakukan oleh kelompok separatis Papua dalam beberapa waktu terakhir mengundang keprihatinan sekaligus pernyataan sikap penolakan terhadap keberadaan kelompok yang terkenal bengis tersebut.

Adalah komponen masyarakat Papua, yang terdiri dari beberapa Organisasi Masyarakat dan kepemudaan serta tokoh masyarakat, menggelar deklarasi yang diiringi pernyataan sikap menolak kehadiran OPM di atas Tanah Papua. Ketua II Pemuda Adat Saireri sekaligus Ketua Pemuda Mandala Trikora, Ali Kabiay, mengatakan perjuangan OPM sekarang adalah perjuangan yang tidak murni membela orang Papua.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

Oleh : Ismail )*

Kelompok Negara Islam Indonesia (NII) patut diwaspadai, apalagi ditengarai mereka pandai menyusup secara halus di sebuah kelompok, tak terkecuali mahasiswa Hingga Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan bahwa NII telah menyusup ke dalam aparatur sipil negara (ASN) hingga mahasiswa. Dirinya juga meminta kepada masyarakat untuk waspada terhadap gerakan kelompok ini. Apalagi gerakan organisasi ini terlihat nyata di tengah masyarakat.

Dalam rekaman videonya, Moeldoko mengatakan, bahwa NII telah berada di tengah-tengah masyarakat. Melalui ASN, aparat keamanan, mahasiswa, serta melalui berbagai institusi termasuk pula pengusaha.

Moeldoko berkata NII saat ini memiliki strategi yang berbeda dengan era Kartosewirjo dan Kahar Muzakkar. Menurutnya, NII zaman sekarang tak selalu bergerak melalui perlawanan senjata. Mantan Panglima TNI itu menyebut NII bergerak mencari simpati. Salah satu teknik yang diterapkan oleh NII adalah baiat atau sumpah setia.

Moeldoko berujar, bahwa NII mampu melakukan pergerakan tanpa senjata dengan bahaya yang dahsyat, dikatakan dahsyat karena kalau pergerakan senjata, tentu saja akan mudah dikenali, pelakunya mudah ditangkap serta mudah untuk diselesaikan. Dirinya juga meminta masyarakat untuk terus waspada. Dirinya ingin masyarakat selalu sadar terhadap lingkungan sekitar.

Sebelumnya, Densus 88 mengklaim memiliki bukti tentang rencana NII menumbangkan pemerintahan sebelum 2024. Mereka menyebut telah melakukan penyidikan setelah meringkus sejumlah anggota NII di Sumatera Barat.

Densus 88 mengklaim NII hendak mengganti ideologi Pancasila dan sistem pemerintahan Indonesia dengan khilafah atau syariat Islam. NII juga akan melakukan sejumlah aksi teror. Hal ini diketahui setelah Densus 88 Antiteror Polri menangkap 16 orang di wilayah Sumatera Barat.

Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88, Komes Aswin Siregar, mengatakan bahwa NII ingin melengserkan pemerintah sebelum Pemilu 2024. Ia menambahkan jika NII Sumbar memiliki rencana mengganti ideologi Pancasila.

Aswin mengatakan Densus 88 menemukan sejumlah bukti yang ditemukan dalam bentuk dokumen tertulis yang menunjukkan bahwa jaringan NII di Sumatera Barat memiliki visi-misi yang sama persis dengan NII Kartosuwiryo, yakni mengganti ideologi Pancasila dan sistem pemerintahan Indonesia saat ini dengan syariat Islam, sistem khilafah dan hukum Islam. Dirinya juga menyebut jika terdapat sebuah golok dari salah satu tersangka teroris NII. Kemudian, ada bukti petunjuk mereka mencari pandai besi untuk membuat senjata.

Di antara sekian rencana tersebut, terdapat juga potensi ancaman berupa serangan teror yang tertuang dalam wujud perintah mempersiapkan senjata tajam dan juga mencari pandai besi.

NII diketahui memiliki 1.125 anggota yang tersebar di Provinsi Sumatera Barat. Sebanyak 400 orang diantaranya berstatus personel aktif. Ini disampaikan langsung oleh Brigjend Ahmad Ramadhan selaku Karo Penmas Divisi Humas Polri.

Di sisi lain jaringan NII sudah tersebar luas di Indonesia. Pasalnya, anggota NII tidak hanya di Sumatera Barat saja, tetapi juga di berbagai provinsi lain, seperti DKI Jakarta, Bali, Maluku hingga Jawa Barat.

Ramadhan menyebutkan, bahwa kelompok NII tidak memandang usia dan jenis kelamin saat melakukan perekrutan anggota. Diketahui, ada 77 anak di bawah usia 13 tahun yang direkrut dan dicuci otak agar mau bergabung. Mereka juga membaiat agar anak-anak yang direkrut bersedia dibaiat atau diambil sumpah setianya.

Selain itu, 126 anggota NII yang berusia dewasa juga diduga sudah direkrut sejak mereka masih di bawah umur. Untuk itu, Polri akan berkoordinasi dengan komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) berkaitan dengan keanggotaan NII. Hal ini tentu saja patut diwaspadai, karena tidak ada yang benar-benar kebal terhadap pengaruh NII yang justru bisa merusak rasa persatuan yang ada di Indonesia.

Pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, bahwa rencana menggulingkan pemerintah oleh NII telah terjadi hingga ini. Bahkan, sejak 1949, NII memang tidak setuju dengan konsep Republik Indonesia, sejak ada 7 kata yang dicoret dari Piagam Jakarta.

Keberadaan NII menandakan bahwa penyebaran radikalisme masih terjadi, sehingga diperlukan kewaspadaan bersama. Dengan adanya kesadaran dan sinergitas semua pihak, penyebaran paham terlarang diharapkan dapat ditekan.

)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Insitute

Oleh : Muhammad Yasin )*

Masyarakat mendukung tindakan tegas kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terpapar radikalisme. ASN merupakan ujung tombak pelayanan publik dan pemerintahan, sehingga harus tegak lurus kepada Ideologi Pancasila.

Radikalisme semakin meluas ke hampir semua kalangan masyarakat. Saat ini mulai marak para aparatur sipil negara (ASN) yang ternyata jadi anggota kelompok radikal. Mereka melakukan hal yang terlarang karena ketika diangkat jadi CPNS (calon pegawai negeri sipil) sudah disumpah untuk setia pada negara, yang berarti tidak boleh bersinggungan dengan radikalisme yang berlawanan dengan pemerintah.

Ketika ada ASN yang terpapar radikalisme maka ia wajib ditindak karena melanggar peraturan. Anggota Komisi II DPR RI Lukman Hakim menyatakan, “Kelompok radikal bisa menggoyang keutuhan NKRI. Pemerintah jangan menganggap enteng radikalisme. Ketika ada seleksi pembukaan CPNS dan TNI serta polri maka harus disaring agar tidak ada yang termasuk radikal.”

Dalam artian, radikalisme memang tidak bisa dibiarkan karena ia bisa merusak bangsa. Salah satu elemen masyarakat yang penting adalah ASN, oleh karena itu mereka dilarang keras untuk jadi radikal. Tentu caranya dengan seleksi CPNS yang lebih ketat. Ketika sudah tersaring maka terjamin tidak akan ada ASN yang ternyata radikal.

Selama ini seleksi CPNS masih berfokus pada uji matematika, pengetahuan, dan hal teknis lain. Akan tetapi sistem ujian yang baru harusnya juga berfokus pada penyaringan anti radikalisme. Caranya bukan dengan memberi soal, tetapi cukup melihat jejak digital para peserta ujian CPNS. Jika mereka memaki pemerintah dan membanggakan jihad maka bisa dipastikan teracuni radikalisme sehingga tidak bisa diloloskan jadi ASN.

Untuk memastikan peserta ujian CPNS terpengaruh radikalisme memang tinggal dilihat akun media sosialnya. Hal ini bukan untuk menyepelekan, tetapi memang kebanyakan orang terlalu terbuka di media sosialnya, sehingga tanpa sadar menampakkan bahwa ia termasuk anggota kelompok radikal.

Selain seleksi awal maka perlu ada penyaringan lagi bagi pada ASN yang telah berdinas, baik lama maupun sebentar. Jika ketahuan terpapar radikalisme maka mereka akan mendapat berbagai hukuman. Pemberian hukuman ini bukanlah sebuah pelanggaran karena justru para pegawai tersebut yang tidak menaati peraturan, karena seorang ASN adalah abdi negara yang berarti setia pada negara.

Hukuman yang diterima oleh ASN yang terpapar radikalisme tergantung dari keparahan kasusnya. Jika masih jadi simpatisan maka hanya mendapat teguran dari atasan dan ia harus berjanji untuk tidak lagi mendukung kelompok radikal. Akan tetapi jika makin parah maka hukumannya makin berat.

Misalnya jika ada ASN yang ternyata jadi anggota kelompok radikal maka ia bisa terkena ancaman penundaan kenaikan pangkat. Hal ini menjadi sebuah efek jera agar ia meninggalkan kelompok tersebut, karena jika batal naik pangkat batal pula kenaikan gajinya.

Namun ketika sudah sangat parah, misalnya ada ASN yang jadi petinggi di kelompok radikal bahkan jadi gembong teroris, maka ia bisa mendapat hukuman paling berat yakni pemecatan. Pasalnya, ia lebih memilih untuk ada di sisi penghianat daripada setia pada negara. Tindakan tegas ini diperlukan agar tidak ada yang mengikuti jejaknya.

ASN merupakan garda terdepan pemerintahan, sehingga harus dapat bekerja maksimal dan bebas ideologi anti Pancasila. Dengan optimalnya pelayanan ASN yang tidak terafiliasi paham radikal, maka target pembangunan dapat tercapai dan pelayanan publik dapat meningkat.

)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute

Oleh : Muhammad Yasin )*

Radikalisme merupakan virus berbahaya yang dapat mempengaruhi masyarakat, tidak terkecuali kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Penyebaran radikalisme di kalangan ASN harus dihentikan agar tidak makin meluas.

Aparatur sipil negara (ASN) aadalah pekerjaan impian mayoritas sarjana, karena saat jadi pegawai negeri akan mendapatkan gaji cukup besar plus tunjangan, dan nanti ketika purna tugas akan diberi uang pensiun. Tak heran pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tiap tahun begitu membludak peminatnya. ASN dianggap memiliki posisi yang stabil dan sangat dihormati di masyarakat.

Akan tetapi terungkap fakta bahwa 27 ASN sudah terkena radikalisme. Y. Tony Surya Putra, Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bidang penanganan radikalisme menyatakan bahwa ASN yang terlibat radikalisme karena terbukti anti Pancasila, anti persatuan, dan intoleransi. Dalam artian, ternyata radikalisme sudah meracuni pemikiran para pegawai negeri.

Tony melanjutkan, seharusnya seorang pegawai negeri wajib memilih pergaulan, baik di kantor maupun di masyarakat. Ia juga tidak boleh terpancing akan hasutan di media sosial yang bisa menjebaknya dalam pemikiran radikal. Dalam artian, ASN harus memilih lingkungan yang baik dan anti radikal serta tak boleh terjebak hoaks dan propaganda yang sengaja disebar oleh kelompok radikal di media sosial.

Saat ASN sudah terkena radikalisme maka ia bisa terkena hukuman keras. Mulai dari teguran oleh kepala dinas, batalnya kenaikan jabatan, penurunan jabatan atau pangkat, hingga yang paling fatal adalah pemecatan secara tidak hormat. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa ada 10 ASN yang dipecat tiap bulan karena terlibat radikalisme.

Dalam artian, ketika sampai dipecat dengan tidak hormat maka kasusnya sudah sangat parah. Akan sangat rugi jika ia diberhentikan begitu saja karena tak akan mendapat uang pensiun. Namanya juga jadi rusak di mata masyarakat karena dianggap sebagai penghianat bangsa dan mantan pegawai negeri yang gagal. Jabatan ASN tidak selamanya dan mereka harus paham bahwa jadi kader radikal adalah kesalahan fatal yang berujung pemecatan.

Untuk mencegah penyebaran radikalisme maka pertama dengan pencegahan dari tahap awal. Saat pendaftaran CPNS, selain menunjukkan surat vaksin, peserta juga harus menunjukkan bukti bahwa ia anti radikalisme. Selain itu akun sosial medianya juga dipantau. Saat terbukti ia mengumbar jihad, khilafah, dll maka dipastikan tak akan diloloskan jadi ASN.

Kedua, para pegawai yang telah resmi jadi ASN, baik lama maupun baru, akun media sosialnya juga dipantau. Pengawasan harus dilakukan karena sebagai abdi negara mereka merepresentasikan negara. Jangan sampai ada ASN tetapi tingkahnya tak karuan di media sosial. Jika ada yang menemukan ASN seperti itu maka laporkan saja pada polisi siber.

Sedangkan yang ketiga, saat ini sudah ada aplikasi ASN no radikal. Dengan aplikasi ini maka bisa diketahui apakah ada pegawai negeri yang radikal atau tidak, dan ketika yang mengawasi adalah mesin maka ia tidak bisa dibohongi begitu saja.

Terakhir, akan lebih baik lagi diadakan seminar dan himbauan pada ASN tentang bahaya radikalisme. Mereka perlu diingatkan kembali apa saja kerugian saat terlibat kelompok radikal, karena hukuman terbesarnya adalah pemecatan.

ASN yang terbukti radikal bisa mendapat teguran keras, penundaan kenaikan pangkat, sampai yang paling fatal adalah pemecatan secara tidak hormat. Pencegahan harus dilakukan agar semua ASN tidak teracuni oleh radikalisme, mulai dari penyaringan CPNS yang anti radikal sampai pengawasan di media sosial.

)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute

Oleh : Rahmat Siregar )*

Aparatur Negara seperti TNI, Polisi, Aparatur Sipil Negara, maupun Pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bebas dari radikalisme. Aparatur negara yang terpapar paham radikal akan dapat menghambat pelayanan publik dan mengganggu jalannya roda pemerintahan.

Aparatur negara adalah profesi yang menjadi idaman banyak orang, karena dianggap memiliki gaji tetap dan tunjangan kesehatan. Oleh karena itu tes aparatur negara seperti CPNS atau TNI/Polri selalu ramai peminat. Sementara itu, tes CPNS saat ini memiliki 1 syarat baru yakni tidak boleh terpapar radikalisme.

Mengapa ada aturan seperti itu? Penyebabnya karena jika seorang pegawai negeri jadi kader radikal maka akan berbahaya. Pertama, ia bisa menyebarkan paham itu ke rekan-rekan kerjanya. Kedua, ia bisa memanfaatkan jabatan dan fasilitas yang dimiliki dan disalahgunakan untuk mendukung program-program kelompok radikal.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa ASN tidak boleh terpapar radikalisme. Jika ketahuan maka ia akan mendapat peringatan keras, dan jika masih ngotot bisa terkena ancaman hukuman, mulai dari tidak bisa naik pangkat hingga pemecatan. Menteri Tjahjo lalu bercerita bahwa tiap bulan ia memecat 40 ASN secara tidak hormat gara-gara mereka jadi anggota kelompok radikal.

Lantas bagaimana kementrian aparatur negara tahu bahwa seorang ASN terpapar radikalisme? Menteri Thahjo melanjutkan, caranya dengan melihat jejak digitalnya di media sosial. Jika seorang ASN gemar sekali menghina pemerintah dan menyinggung-nyinggung tentang jihad, serta negara khilafah, maka dipastikan ia sudah menjadi anggota kelompok radikal. Penyebabnya karena itu ciri-cirinya.

Dengan melihat jejak digital maka akan mudah sekali penelusurannya, sehingga pihak kementrian bisa menegur ASN tersebut. Mengapa ancaman hukuman terberatnya adalah pemecatan? Penyebabnya karena radikalisme adalah penyakit menahun dan ketika ASN malah memilih setia kepada kelompoknya maka sama saja ia kehilangan rasa nasionalisme, karena kelompok radikal sangat anti pancasila.

Ancaman hukuman ini tidak main-main karena jika seorang ASN dipecat secara tidak hormat akan rugi besar. Pertama, ia kehilangan mata pencaharian dan ketika sudah masuk usia di atas 40 akan susah untuk mencari pekerjaan baru karena rata-rata perusahaan mencari karyawan fresh graduated yang masih belia. Kedua, ia tidak akan mendapatkan uang pensiun sama sekali.

Ketika ada ancaman hukuman seperti ini dianggap sangat pantas karena jangan sampai radikalisme malah tumbuh subur di kementrian dan lembaga negara lain. Seorang ASN adalah abdi negara sehingga harus setia pada negara. Akan tetapi, ketika ia sudah terpapar radikalisme, maka akan kehilangan rasa nasionalisme dan menjadi penghianat negara, karena berambisi mendirikan negara khilafah.

Oleh karena itu amat wajar jika dalam tes CPNS disayaratkan tidak boleh terlibat radikalisme, sehingga ASN yang tersaring tak hanya cerdas tetapi juga harus jujur dan setia pada negara. Lebih baik melakukan tes ketat sejak awal daripada melakukan seleksi lagi setelah semua diangkat sebagai abdi negara.

Peraturannya memang sudah jelas, ASN tidak boleh jadi anggota (atau bahkan hanya simpatisan) kelompok radikal. Bayangkan jika ada ASN yang terpapar radikalisme maka di media sosial ia akan rajin misuh-misuh dan menghina pemerintah. Padahal itu sama saja mempermalukan dirinya sendiri karena ia akan dianggap rendah oleh orang lain.

Semua aparatur sipil negara harus bebas dari radikalisme dan pemeriksaannya sangat mudah, cukup dilihat dari jejak digitalnya di media sosial. Ancaman hukuman bagi ASN yang terpapar radikalisme, yang paling keras, adalah pemecatan secara tidak hormat. Tidak ada ampun karena jangan sampai ASN malah menyalahgunakan jabatannya untuk menguntungkan kelompok radikal.

)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute

Oleh : Awaludin )*

Tiap warga negara Indonesia tidak boleh terlibat radikalisme, termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka adalah abdi negara oleh karena itu tidak boleh jadi penghianat negara dengan jadi kader radikalisme.

Menjadi pegawai negeri adalah impian bagi sebagian besar warga negara Indonesia karena gaji dan tunjangannya relatif tinggi, sementara nanti saat pensiun tenang karena masih mendapatkan uang. Oleh sebab itu tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) selalu dipadati oleh pendaftar.

Ketika sudah diterima jadi Aparatur Sipil Negara (ASN) maka ada sederet peraturan yang mengikat. Amatlah wajar karena tidak setiap orang bisa jadi ASN dan memang mereka memiliki tanggungjawab yang tinggi. Aturan yang ada mulai dari jam kerja, kedisiplinan, hingga larangan akan keterlibatan dengan radikalisme.
Mengapa harus radikalisme? Penyebabnya karena paham itu terlarang di Indonesia dan sebagai pegawainya negara, seorang ASN tidak boleh pro dengan kelompok yang bertentangan dengan Indonesia.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa seorang Aparatur Sipil Negara harus menjauhi radikalisme dan terorisme. Terutama pada pejabat tinggi madya. Walaupun sudah memiliki kriteria tetapi jika ketahuan terkait radikalisme maka tidak bisa terpilih. Malah akan mendapat teguran keras.

Menteri Tjahjo melanjutkan, untuk mengetahui apakah seorang ASN terlibat radikalisme dan terorisme, maka amat mudah karena ada jejak digitalnya. Untuk peraturan anti radikalisme seorang ASN di media sosial maka berlaku juga untuk istri atau suami dari ASN tesebut.

Dalam artian, seorang pegawai negeri memang harus menjaga omongan di dunia maya dan tidak boleh sembarangan atau ketahuan terlibat radikalisme, karena akan mendapat teguran keras dari atasannya. Bahkan jika parah ia bisa terancam pemecatan, karena seorang abdi negara tidak boleh jadi penghianat negara dengan jadi anggota kelompok radikal dan teroris.

Mengapa pasangan dari ASN juga terkena aturan anti radikalisme? Penyebabnya karena masalah etika, dan tentu banyak orang yang tahu bahwa ia adalah istri atau suami dari ASN, akan sangat mencoreng muka saat ketahuan terlibat radikalisme. Jika ia selalu sesumbar bahkan membangga-banggakan jihad, bisa jadi pasangannya juga teracuni radikalisme dan terorisme.

Ketika ada istri yang terlibat radikalisme sementara sang suami adalah ASN dan ia tidak mengetahuinya, maka ia dianggap tidak bisa mendidik istri. Itu adalah kesalahan fatal karena radikalisme dan terorisme adalah hal yang terlarang. Oleh karena itu sebagai pasangan, wajib untuk mengawasi media sosial pasangannya, bukannya posesif tetapi untuk mencegah keburukan seperti radikalisme.

ASN wajib bebas radikalisme karena amat berbahaya jika ia terlibat di dalamnya. Bisa jadi ia memanfaatkan posisi dan jabatannya untuk menyuburkan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Atau, ia menyumbang gajinya untuk kegiatan radikalisme dan malah nekat korupsi demi mendapatkan banyak uang demi mendukung radikalisme.

Seorang ASN yang terlibat radikalisme akan mendapat beberapa jenis hukuman, mulai dari teguran keras hingga pemecatan. Memang hukumannya keras karena seorang ASN digaji oleh negara sehingga tidak boleh jadi kader radikalisme dan terorisme yang bermusuhan dengan negara.

Aparatur sipil negara adalah abdi negara dan wajib setia pada negara. Mereka tidak boleh jadi penghianat negara dengan terlibat radikalisme dan terorisme. Penelusuran terhadap ASN yang radikal dan teroris juga dilakukan di media sosial dan mereka tidak boleh barbar dan seenaknya, bahkan parah sampai menghina negara sendiri, karena akan mendapat teguran keras dari kepala dinas.

)* Penulis adalah warganet tinggal di Bogor

Oleh: Achmad Faisal

Sebanyak 1.271 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilantik menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tepat di hari lahir Pancasila, 1 Juni 2021. Sebuah pelantikan yang sakral karena bertepatan dengan hari lahir lambang negara Indonesia, Pancasila.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan alasan pelantikan 1 Juni 2021 yaitu sebagai simbol bahwa pegawai KPK seorang Pancasilais.

Alasan ini sangat tepat dan didukung masyarakat Indonesia. Pasalnya, pegawai KPK merupakan lembaga tumpuan masyarakat Indonesia dalam pemberantasan korupsi.
Tentu saja dalam menjalankan tugasnya seorang pegawai KPK harus berkualitas dengan menitikberatkan aspek kecintaan kepada tanah air, bela negara, kesetiaan kepada Pancasila, Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bebas dari radikalisme dan organisasi terlarang.

Nasionalisme dan profesionalitas 1.271 pegawai KPK yang akan dilantik ini tidak perlu diragukan lagi. Apalagi mereka telah melalui penyaringan tes wawasan kebangsaan (TWK). TWK sangat penting sebagai penguatan wawasan kebangsaan setiap pegawai pemerintah.

TWK merupakan bagian dari asesmen alih status pegawai KPK ke ASN. Hal itu sebagai konsekuensi disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Pakar Hukum Pidana Profesor Romli Atmasasmita menegaskan pegawai yang lolos TWK ASN KPK wajib “Merah Putih”. ASN di lembaga hebat KPK wajib merah putih. Mereka yang lolos TWK ASN sangat kukuh sikap nasionalismenya. Mereka juga menolak paham khilafah dan radikalisme.

Kepala badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Harua Wibisana berharap kepada 1.274 pegawai KPK yang dilantik menjadi ASN menjadi PNS terbaik atau Be the best PNS. Bahwa mereka memiliki kewajiban yang lebih, tidak hanya pada pemberantasan korupsi namun pada semua tujuan dan prgram pemerintah.

Masyarakat sendiri optimistis pegawai KPK ini bekerja profesional dan berintegritas. Untuk itu mereka perlu didukung dan bukan dilemahkan dengan praduga negatif.
Saya sangat yakin, masa depan lembaga antirasuah di tangan 1.271 pegawai KPK yang menjadi ASN ini akan bersinar.
Semangat nasionalisme yang menjadi landasan kinerja mereka akan membawa KPK independen. Tidak ada lagi kasus yang lolos karena ada keberpihakan oknum pegawai KPK dengan dogma tertentu.

Ketua Umum Lembaga Advokasi Kajian Strategis Indonesia (LAKSI) Azmi Hidzaqi menyebut 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK, menolak hasilnya, dan menuding pelaksanaan TWK adalah tindakan tidak profesional dan terkesan tidak sesuai prosedur hukum.

Untuk 51 orang pegawai yang dipecat, Azmi menilai keputusan itu tepat. Sebab mereka bersikap melawan keputusan pimpinan KPK secara terang-terangan, reaksioner, dan frontal. Pegawai gagal TWK terhadap keputusan pejabat negara dapat disimpulkan sebagai langkah subordinasi terhadap kekuasaan pemerintah yang sah.

Untuk itu mari kita akhiri polemik TWK dan pegawai KPK yang tidak lolos TWK. Kita dukung lembaga hebat KPK dengan semangat Pancasila agar lebih kuat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia dan menyapu habis para koruptor.

)*Penulis adalah mantan jurnalis