suaratimur.id – Momentum penangkapan tersangka kasus korupsi dan gratifikasi Lukas Enembe memang menyita perhatian banyak pihak, termasuk dari pihak keluarga yang hingga saat ini masih menyisakan tanya dan kekecewaan atas adanya hal tersebut. Sejumlah protes dan isu dilayangkan oleh pihak keluarga tersangka seiring dengan dibawanya Lukas Enembe ke Jakarta. Adik tersangka, Elius menyatakan pihaknya tidak bisa menjenguk sang kakak ketika dirawat di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, dirinya pun juga kecewa karena Lukas Enembe tidak dibawa menggunakan pesawat Garuda saat penangkapan oleh KPK. Pihak keluarga berharap agar bisa diberi akses untuk dipertemukan karena mengkhawatirkan kondisi Lukas Enembe.

Sementara itu, Agus Kogoya yang juga mengaku sebagi pihak keluarga Lukas Enembe juga menyesalkan atas perlakukan KPK yang hingga saat ini tidak memberikan akses untuk memberikan pendampingan. Menurutnya, perlakukan aparat dalam penangkapan terhadap Lukas Enembe seperti layaknya seorang penjahat kelas berat, teroris, atau pemberontak. Sangat disesalkan dan benar-benar menyakitkan hati masyarakat Papua yang mencintai Lukas Enembe. Pihak keluarga berharap kepada KPK agar memastikan kondisi Lukas tetap sehat dan proses hukum yang dijalankan benar-benar memenuhi rasa keadilan berdasarkan kemanusiaan.

Tak hanya dari pihak keluarga, protes yang menjurus provokasi juga muncul dari juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) OPM, Sebby Sambom. Menurutnya cara KPK menangkap Lukas Enembe terkesan membuat sang tersangka seperti penjahat.

Polisi Minta Pihak Keluarga Lukas Enembe Tak Provokasi Masyarakat Papua

Merespon hal tersebut, pihak aparat keamanan mengingatkan kepada keluarga Lukas Enembe ataupun pihak lain untuk tidak mengaitkan penangkapan sang tersangka dengan isu-isu yang membuat kondisi di Jayapura tidak kondusif. Pasalnya, penangkapan tersebut murni merupakan penegakan hukum atas kasus tindak pidana korupsi. Polri bersama TNI, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama terus memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat agar tidak terpengaruh informasi hoax yang sempat beredar.

Wakapolda Papua Brigjen Pol Ramdani Hidayat meminta masyarakat Papua tidak terhasut dengan adanya isu-isu kemerdekaan dari kelompok yang ingin memecah belah persatuan tanah Papua. Sementara itu, Menko Polhukam, Mahfud MD memastikan kondisi Papua kondusif pasca penangkapan Lukas Enembe oleh KPK. Mahfud menyebut tokoh-tokoh di Papua sudah bicara dan mendukung jalannya proses hukum terhadap Lukas Enembe. Hingga saat ini, pemerintah terus mengawasi pergerakan uang oleh orang-orang yang berhubungan dengan tersangka. Termasuk juga pengawasan terhadap uang pemda agar tidak terjadi penyalahgunaan yang bertentangan dengan hukum.

Alasan KPK Butuh Waktu untuk Tangkap Lukas Enembe

Selain adanya apresiasi publik, tak jarang juga sebagian pihak mempertanyakan sikap KPK yang seakan mengulur proses penangkapan Lukas Enembe yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak beberapa bulan yang lalu. Bukan tanpa alasan, pihak KPK kemudian rela menunggu hingga empat bulan sejak Lukas Enembe berstatus tersangka sebelum akhirnya dijemput paksa di sebuah restoran di kota Jayapura pada 10 Januari 2013 lalu.

Juru bicara KPK, Ali Fikri dalam keterangan di media menjelaskan bahwa selain menghindari potensi gejolak masyarakat yang mengarah pada konflik horizontal, kondisi kesehatan juga menjadi pertimbangan. Untuk diketahui bahwa Lukas Enembe baru saja keluar ke publik saat meresmikan beberapa gedung pemerintahan di Jayapura. Hal tersebut menguatkan kesimpulan bahwa kondisi kesehatan sang tersangka tidak lebih buruk seperti yang disampaikan oleh kuasa hukumnya. Sebelumnya, alasan kesehatan selalu menjadi tameng sang tersangka untuk mangkir dari dua kali pemanggilan pemeriksaan. Alasan kesehatan pula yang menjadi kendaraan agar dirinya diperbolehkan ke Singapura untuk berobat.

Pihak KPK kembali menjelaskan bahwa penangkapan yang diikuti penahanan terhadap setiap tersangka wajib memenuhi prosedur kelengkapan minimal dua alat bukti. Di dalam pemenuhannya, tim penyidik membutuhkan waktu sehingga proses hukum berjalan cepat dan memberi kepastian hukum kepada tersangka. Dapat dipastikan bahwa telah terdapat lebih dari dua alat bukti dalam kasus Lukas Enembe. Terdapat proses, fase, dan strategi dalam pemenuhannya, dimana akhir dari prosesnya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pengadilan.

Penangkapan Lukas Enembe Bukti Kehadiran Negara untuk Keadilan Masyarakat Papua

Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan bahwa Gubernur Papua non aktif Lukas Enembe telah menjadi tahanan KPK terhitung sejak 11 Januari 2023. Menurutnya langkah tegas KPK membawa Lukas ke Jakarta merupakan peristiwa yang bermakna bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Tak hanya itu kehadiran KPK di Papua menjadi peringatan ke mana pun dan di mana pun pelaku korupsi, bakal dikejar KPK. Termasuk juga kepada seluruh birokrasi negara agar jangan bermain-main dengan hukum dan dengan tindakan atau kelakuan koruptif. Penetapan Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek di Pemprov Papua dilakukan sesuai prosedur hukum dan peraturan perundang-undangan berlaku. Pihaknya juga telah bekerja secara profesional dan memperhatikan hak asasi manusia, untuk menjaga masyarakat Papua. KPK sangat berhati-hati dalam melakukan penangkapan sekaligus memastikan keamanan Papua tetap damai.  

Dukungan Tokoh Masyarakat Terhadap Penangkapan Lukas Enembe

Dalam proses penyidikan Lukas Enembe, pihak KPK juga mendapatkan dukungan dari sejumlah tokoh Papua. Tokoh adat Kabupaten Tolikara Esap Bogum mengirimkan pesan dukungan yang mendukung kegiatan KPK dalam penegakan hukum. Selanjutnya, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Jayapura Pendeta Joop Suebu menyampaikan dukungannya dan mengimbau aparat hukum KPK, Kejaksaan Agung RI, dan Polri menegakkan hukum di Tanah Papua. Kemudian, Ketua LMA Kabupaten Mamberamo Tengah Babor Bagabol juga menyatakan dukungan.

Sementara itu, Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw, mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga ketentraman dan kedamaian di tanah Papua, khususnya pasca penangkapan Lukas Enembe oleh penyidik KPK. Dirinya mengimbau agar masyarakat yang ada di Papua maupun di luar Papua tetap menjaga situasi dan kondisi di Papua aman dan damai dengan tidak memberikan pernyataan serta tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya yang sifatnya memprovokasi keadaan di tanah Papua. Proses hukum yang sedang berjalan adalah hal yang harus dihormati.

Tersangka Lukas Enembe adalah contoh bahwa tindakan pejabat publik yang ugal-ugalan mengatasnamakan apapun, bertindak tidak disiplin sebagai penyelenggara negara, tetaplah harus dibawa ke ranah hukum.

__
Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Menjelang akhir tahun 2022, sebuah hasil simpulan berkaitan dengan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) di wilayah hukum Papua telah disampaikan oleh pihak kepolisian melalui Kapolda Papua, Irjen Polisi Mathius Fakhiri dalam momentum bertajuk refleksi akhir tahun 2022, Rabu 28 Desember lalu. Dalam penjelasannya disampaikan bahwa tren gangguan kamtibmas kejahatan konvensional di Papua mengalami peningkatan sebesar 18,46% dari 3.288 kasus di tahun 2021 menjadi 3.895 kasus di tahun 2022. Kasus tersebut terdiri dari pencurian kendaraan bermotor (curanmor), pencurian, pencurian dengan kekerasan, pencurian dengan pemberatan, pengeroyokan, penganiayaan berat dan pembunuhan. Sementara itu, untuk kasus kejahatan transnasional juga mengalami peningkatan terdapat 4 kasus atau 1,07% dari 372 kasus di tahun 2021 menjadi 376 kasus di tahun 2022. Namun, disisi lain, untuk kasus kriminal siber mengalami penurunan.

Terkait permasalahan separatisme, pihaknya mencatat bahwa sepanjang tahun 2022, aksi Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua menurun sebanyak 16 kasus, dimana pada tahun 2021, aksi KST Papua berjumlah 106 kasus sedangkan di tahun ini berjumlah 90 kasus. Aksi KST Papua mayoritas terjadi di Kabupaten Yahukimo, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Nduga, Pegunungan Bintang, Yalimo, Jayawijaya dan Kepulauan Yapen. Imbas dari aksi kelompok separatis tersebut, sebanyak 10 orang TNI meninggal dunia dan 14 TNI terluka. Sedangkan, untuk personel Polri sebanyak 4 orang meninggal dunia dan 3 orang mengalami luka.

Polda Papua menyebutkan bahwa aksi KST Papua atau juga disebut Kelompok Krimimal Bersenjata (KKB) masih menjadi ancaman pada tahun 2023 mendatang yang menimbulkan ketakutan bagi masyarakat, khususnya warga non Papua. Aparat keamanan tetap mengedepankan pendekatan kesejahteraan dalam penanganan. Pihaknya juga berharap adanya peran aktif kepala daerah dan tokoh agama, tokoh masyarakat serta pemuda untu memberikan pemahaman terhadap kelompok-kelompok tersebut agar tidak mengganggu jalannya pembangunan. Peran serta kepala daerah dan perangkatnya sangat dibutuhkan, mengingat banyak diantaranya yang masih memiliki kekerabatan dengan anggota kelompok separatis.

Sikap Tegas Kapolda Papua Barat Tangkap Kelompok Separatis Hidup atau Mati

Merespon adanya klaim dari Kelompok Separatis melalui tayangan video provokatif yang menyatakan bahwa telah menguasai wilayah Maybrat Papua Barat, pihak aparat keamanan melalui Kapolda Papua Barat, Irjen Daniel T.M. Silitonga memberikan arahan kepada personel Polri di jajarannya agar tidak lengah menghadapi teror dari kelompok tersebut. Dirinya memerintahkan kepada segenap jajarannya untuk melakukan penangkapan terhadap KST Papua yang masih meneror, baik dalam keadaan hidup maupun mati. Selain itu, dirinya juga meminta kepada para anggotanya untuk meningkatkan status siaga di wilayah yang terendus teror omong kosong KST Papua. Secara tegas pihaknya menjelaskan kembali bahwa personel Polri dan TNI telah menguasai wilayah Maybrat sebelum kelompok separatis tersebut mengkalim telah menduduki. Hingga saat ini wilayah Maybrat dipastikan dalam situasi kondusif.

Diketahui bahwa hingga kini anggota KST Papua yang masih bersarang di wilayah Maybrat hingga Bintuni Papua Barat masih menebar teror terhadap warga sipil dan aparat keamanan. Pihak Kepolisian telah menyebar identitas sejumlah anggota kelompok separatis yang masuk daftar pencarian orang (DPO) dalam rangkaian serangan terhadap pos militer maupun warga sipil pekerja jalan.

Presiden Jokowi Diminta Lebih Spesifik dalam Penanganan Kelompok Separatis Papua untuk Hindari Ambiguitas

Adanya teror yang berujung omong kosong dari kelompok separatis utamanya di wilayah Maybrat, berawal dari adanya pesan Presiden Jokowi terhadap Panglima TNI dalam momentum pelantikan. Saat itu Presiden berpesan agar TNI bersikap tegas terhadap keberadaan kelompok separatis. Pernyataan tersebut kemudian menimbulkan tanya dan spekulasi dari berbagai pihak. Satu diantaranya datang dari anggota komisi I DPR RI, Christina Aryani. Menurutnya, pernyataan sang Presiden kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono harus lebih diperjelas. Sebab, menurutnya hal tersebut dapat menimbulkan ambiguitas atau tafsiran TNI yang selama ini dianggap tidak tegas terhadap kelompok separatis. Dirinya juga menyoroti sikap pemerintah yang acapkali menggunakan istilah berbeda-beda terhadap gerakan separatis di Papua. Pasalnya, hal tersebut berimbas pada upaya penanganan gerakan separatis. Untuk diketahui, bahwa hingga kini Perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme belum ditandatangani.

Penjelasan Pemerintah Terkait Dinamika Upaya Penyelesaian Konflik Papua

Sementara itu, sebuah tudingan terhadap pemerintah muncul dari Koordinator Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Gereja Kristen Injjil (GKI) Tanah Papua, Dora Balubun yang menyatakan bahwa pemerintah tidak pernah merespon adanya permintaan dialog terkait penyelesaian konflik Papua. Menanggapi hal tersebut, Menko Polhukam, Mahfud MD menyatakan bahwa upaya dialog untuk kedamaian di Papua sudah dilakukan banyak pihak, namun KST Papua masih menunjukkan sikap tidak kooperatif. Pemerintah telah berkali-kali melakukan dialog, bukan saja dengan tokoh gereja, tetapi juga semua unsur lembaga organisasi di Papua, seperti masyarakat adat, DPRD, maupun MRP.

Adanya penyematan label teroris untuk KST Papua tentu bukan tanpa dasar. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 yang menyebut bahwa teroris adalah siapapun orang yang merencanakan, menggerakkan, dan mengorganisasikan terorisme. Sedangkan terorisme memiliki pengertian, perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban secara massal atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, terhadap lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, dan keamanan.

Eksistensi KST Papua atau KKB dengan aksi brutalnya selama ini menimbulkan rasa takut yang tak berkesudahan bagi warga setempat. Tidak salah jika warga Papua meradang dan mengekspresikan kecemburuan terhadap saudara-saudara di wilayah lain yang bisa menikmati kehidupan tanpa rasa takut adanya serangan hingga desingan peluru kelompok separatis. Pada akhirnya, upaya memerangi dan membebaskan Papua dari beragam teror dan kejahatan kemanusiaan oleh kelompok separatis dan teroris merupakan wujud konkrit bagi negara untuk melindungi hak dasar masyarakat Papua.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

suaratimur.id – Belum juga mereda momentum peringatan hari HAM sedunia yang dimanfaatkan oleh sejumlah organisasi termasuk underbow kelompok separatis seperti Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Petisi Rakyat Papua (PRP) untuk menyampaikan orasi terkait permasalahan HAM khususnya di Papua. Terjadi sebuah peristiwa pembunuhan yang melibatkan kelompok separatis dan teroris (KST) Papua atau lebih sering disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terhadap masyarakat sekitar di wilayah pegunungan Bintang yang diketahui berprofesi sebagai tukang ojek. Mirisnya, pasca kejadian tersebut terdapat informasi yang dibelokkan dengan klaim bahwa korban yang dibunuh merupakan aparat keamanan yang sedang menyamar.

Dikutip dari pemberitaan suarapapua.com, bahwa Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kodap XXXV Bintang Timur memberikan klaim bahwa pihaknya telah menembak mati anggota intelijen yang menyamar sebagai tukang ojek di jalan trans Jayapura Oksibil Pegunungan Bintang di Mangabip Distri Okaom pada 5 Desember 2022 lalu. Klaim tersebut berawal dari sebuah video yang diunggah di media sosial kemudian menyebar hingga pemberitaan media online.

Tindakan Licik Kelompok Separatis Selipkan Pistol di Tubuh Korban Lantas Tuduh Sebagai Aparat

Kasus pembunuhan yang kemudian diketahui dilakukan oleh KST pimpinan Nason Mimin tersebut kemudian mendapat respon dari pihak TNI perihal adanya klaim bahwa korban merupakan aparat keamanan. Komandan Resor Militer (Korem) 172/PWY Brigjen TNI J.O Sembiring secara tegas menyatakan bahwa tiga korban tewas merupakan masyarakat sipil yang kesehariannya berprofesi sebagai tukang ojek. Aksi pembunuhan tidak diajarkan di agama apapun, tak ada yang mengajarkan melakukan pembantaian keji kemudian direkam dan disebarkan untuk menebar ketakutan di masyarakat. Sebuah hal licik juga telah dilakukan oleh kelompok separatis yang menuduh korban sebagai aparat intelijen dengan menyelipkan senjata sejenis pistol di tubuh korban setelah sebelumnya dianiaya sehingga seolah-olah adalah barang yang dibawa oleh korban. Hal tersebut termasuk dalam upaya untuk menutupi kebiadaban dan membenarkan apa yang mereka lakukan.

Dari laporan yang diterima, disebutkan bahwa saat insiden penembakan korban bersama 6 orang rekan seprofesinya sedang menunggu penumpang di kampung Mangabib, Distrik Oksebang. Saat berada di pangkalan ojek, tiba-tiba kelompok separatis pimpinan Nason Mimin tersebut datang dan menembak sehingga kemudian terdapat 3 orang meninggal dan 3 orang lainnya berhasil diselamatkan warga seteleh melarikan diri. Adanya pistol yang digunakan oleh KST untuk diselipkan di tubuh korban diindikasi merupakan salah satu jenis senjata milik organik TNI AD yang sempat hilang ketika Heli MI 17 milik Penerban jatuh pada tahun 2019 lalu di Kabupaten Pegunungan Bintang.

Sejumlah Aksi Penyerangan Kelompok Separatis Papua Terhadap Tukang Ojek

Dalam rentang beberapa tahun terakhir, kejadian penyerangan yang dilakukan oleh kelompok separatis terhadap tukang ojek terjadi secara acak di sejumlah daerah rawan dengan kondisi korban luka parah hingga meninggal dunia. Di bulan Maret tahun 2021, kelompok separatis menembak seorang tukang ojek bernama Udin di kampung Eromaga. Korban saat itu baru mengantar penumpang kemudian ditembak mengenai dada kanan tembus punggung, serta luka tembak pada pipi kiri. Masih di tahun yang sama, di bulan Oktober seorang pengemudi ojek bernama Jusalim di tembak di bagian kepala oleh dua orang yang menyamar sebagai orang yang minta diantar. Beruntung, dirinya sempat menoleh sehingga hanya melukai bagian pipi, kejadian tersebut terjadi di Jembatan Kali Ilami Kampung Wako Puncak, Papua.

Di Tahun 2020, di bulan September dua tukang ojek di kampung Mamba, Kabupaten Intan Jaya mengalami luka tembak setelah ditembak oleh kelompok separatis yang berafiliasi kepada OPM. Kemudian pada tahun 2019, tiga tukang ojek tewas setelah ditembak oleh kelompok bersenjata pimpinan Lekagak Telenggen di distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua. Ketiga korban ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala dan sayatan senjata tajam di sekujur tubuh. Lalu pada bulan Juni tahun 2018, anggota polisi yang sedang piket menerima laporan dari warga yang menemukan sesosok manusia dalam kondisi terkapar dan berlumuran darah yang kemudian diketahui seorang tukang ojek. Kejadian tersebut terjadi di Distrik Kalome, Puncak Jaya.

Menjelang pelaksanaan Pilkada tahun 2017 lalu, dua tukang ojek tewas setelah ditembak oleh kelompok Goliath Tabuni karena kecewa atas tuntutannya terkait kasus kecelakaan yang melibatkan keluarganya belum direalisasikan oleh pemerintah sehingga melampiaskan kepada kedua tukang ojek tersebut. Kejadian penyerangan juga pernah terjadi di tahun 2013, ketika seorang tukang ojek ditembak oleh orang tak dikenal di sekitar kali Semen, Kampung Wandengobak, Distrik Mulia. Korban meninggal dunia di tempat dengan mengalami luka tembak di bagian atas puting susu sebelah kanan tembus ke punggung kanan.

Motif Kejam Kelompok Separatis untuk Tunjukkan Eksistensi

Sejak bertahun-tahun masyarakat di sebagian wilayah Papua merasakan ketidaknyamanan dan ketidakamanan hidup berdampingan dengan kelompok separatis yang cenderung bertindak anarkis. Mereka menjadi sumber penderitaan bagi masyarakat dengan sering bertindak kejam melakukan aksi teror hingga menyebabkan banyak orang kehilangan nyawa.

Dari awal, kehadiran KST Papua bertujuan untuk merdeka dengan segala upaya melepaskan diri dari NKRI. Salah satu upaya yang mereka lakukan yakni melalui kekerasan yang kemudian menimbulkan korban, tidak hanya dari aparat, namun juga telah menyasar masyarakat sipil tanpa rasa belas kasihan. Sebagian dari mereka menganggap bahwa orang-orang sipil telah menjadi mata dan telinga aparat, termasuk yang terjadi kepada sejumlah tukang ojek sehingga menurut mereka perlu untuk dilakukan penyerangan.

Penyerangan terhadap warga sipil juga bisa disebuat sebagai strategi kelompok separatis untuk menginternasionalisasi permasalahan Papua. Mereka hanya ingin agar situasi di Papua tidak aman, militer turun ke Papua lebih banyak, sehingga mata dunia, dalam hal ini PBB bisa melihat bagaimana Papua menjadi daerah perang, yang mengkorbankan ribuan bahkan ratusan ribu warga sipil. Diciptakanlah propaganda dengan menyerang warga sipil, merusak fasilitas daerah, serta membuat situasi tak aman sehingga keinginan mereka agar PBB turun tangan dan berujung pada referendum atau penentuan nasib bagi masyarakat Papua.

Pengamat Intelijen dan Terorisme, Stanislaus Riyanta sependapat bahwa aksi yang dilakukan Kelompok Separatis di Papua merupakan strategi dari mereka, yakni motif eksistensi ingin menunjukkan keberadaan mereka. Selain itu, mereka juga menunjukkan perlawanan terhadap program-program pemerintah. Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional – Pemuda Adat Papua (DPN-PAP) Jan Christian Arebo, menyatakan bahwa kelompok separatis menjadi berani dan brutal dalam melakukan aksinya karena merasa mendapat dukungan. Diketahui bahwa terdapat peran-peran oknum di Papua yang mengatasnamakan Dewan Gereja yang hingga sampai hari ini terus bersuara mendukung Papua Merdeka.

Pada akhirnya pemerintah perlu merombak pendekatan untuk meredam kelompok separatis yang hingga kini masih berupaya menunjukkan eksistensinya serta berjuang memerdekakan diri dari Indonesia. Evaluasi kebijakan pengamanan di Papua secara menyeluruh sangat mendesak. Jangan sampai terjadi lagi adanya korban dari tukang ojek, warga sipil, atau dari manapun yang menjadi ‘tumbal’ motif eksisitensi dari kelompok separatis di Papua.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

Oleh: Levi Raema Wenda*)

Penindakan tegas kepada Kelompok Separatis Teroris (KST) Papua oleh aparat keamanan harus terus dilakukan tidak hanya kepada anggotanya, tetapi juga kepada para pendukungnya. Tindakan tegas akan memberikan efek yang jelas bahwa tidak boleh ada pihak-pihak tertentu yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

KST Papua, Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan kelompok yang lahir pada tahun 1960-an. Tujuan utama dari kelompok ini adalah memisahkan Bumi Cenderawasih dari pangkuan Ibu Pertiwi. Untuk mencapai tujuannya, KST Papua kerap melakukan provokasi kepada Masyarakat Papua dengan melakukan penyerangan dan tindak kekerasan ke warga sipil baik itu Orang Asli Papua, atau pendatang. Kelompok ini juga sering terlibat bentrok dengan aparat penegak hukum yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban di Papua.

KST Papua sering menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan utamanya. KST Papua dengan berani menyusup ke dalam Lembaga Pemerintahan untuk melancarkan aksinya. Hal ini terungkap setelah pihak kepolisian berhasil menggagalkan upaya pemasokan ratusan butir amunisi kepada KST Papua. Yang lebih mengejutkan dari kasus ini adalah pelakunya yang merupakan seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN).

Oknum ASN berinisial AN ini ditangkap saat memasok ratusan butir amunisi ke KST Papua di Distrik Elelim, Kabupaten Yalimo, Papua. Pelaku ditangkap dengan membawa uang tunai senilai Rp 450 juta serta ratusan butir amunisi. Uang tersebut akan digunakan pelaku untuk mencari amunisi yang nantinya akan dipasok ke KST Papua. Kini pelaku beserta barang buktinya telah diamankan oleh pihak kepolisian.

Dari kasus ini, diketahui uang senilai Rp 450 juta ini diduga berasal dari oknum pejabat. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Komisaris Besar Polisi Faizal Ramadhani, di Jayapura pada Rabu, 13 Juli 2022.

Penangkapan oknum ASN berinisial AN ini bermula dari pantauan aparat yang melihat gerak-gerik AN yang mencurigakan saat sedang mengendarai kendaraan roda dua pada 29 Juni 2022. Kemudian tanggal 2 Juli 2022, polisi menangkap T di Jayapura yang diduga menjual 160 butir amunisi kepada AN. Dan beberapa hari setelahnya Polisi Militer Daerah Militer (Pomdam) XVII/Cenderawasih menangkap Kopral Dua (Kopda) BI dan Kopral Satu (Koptu) TJR yang diduga ikut terlibat dalam kasus tersebut.

AN yang merupakan oknum dari ASN ini, ternyata mendapatkan amunisinya tidak hanya dari Jayapura, tapi juga dari negara tetangga Papua Nugini. Kombes Faizal menjelaskan bahwa AN menyeberang ke Papua Nugini lewat wilayah Pegunungan Bintang. Untuk menghindari pemeriksaan di perbatasan, AN Kembali ke Papua melalui jalur tradisional di Kabupaten Keerom.

Setelah dari Keerom, kemudian AN bertolak ke Jayapura hendak ke Wamena (Kabupaten Jayawijaya) menggunakan sepeda motor. Sebelum sampai di Wamena, AN tertangkapdi Distrik Elelim, Kabupaten Yalimo. Kombes Faizal kemudian mengaskan walaupun AN berstatus sebagai ASN Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nduga, AN merupakan anggota KST Papua di bawah pimpinan Egianus Kogoya.

Penangkapan oknum ASN Pemkab Nduga ini mendapat apresiasi dari Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Mathius D Fakhiri. Kapolda Papua menegaskan bahwa penangkapan AN ini akan membuat banyak nyawa terselamatkan. Hal ini dikarenakan suplai amunisi bagi KST Papua akan terhambat dan akan mengganggu aktivitas mereka. Fakhri menambahkan bahwa KST Papua selalu berupaya menembak dengan jarak dekat dari sasaran agar tidak memboroskan amunisi, dengan berkurangnya jumlah amunisi KST Papua, maka banyak nyawa yang dapat diselamatkan. Pihak kepolisian juga akan mengusut sumber pendanaan KST Papua untuk menjalankan kegiatannya.

Penangkapan pihak yang mendukung operasi KST Papua ini bukanlah yang pertama terjadi. Menurut Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), sudah 51 orang ditangkap dan dijadikan tersangka dalam kasus jual beli senjata dan amunisi di Papua dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Direktur ALDP, Arum Siregar mengungkapkan bahwa penjulan senjata dan amunisi kepada KST Papua tidak hanya dilakukan oleh warga sipil, tetapi juga oleh aparat TNI dan Polri. Dirinya menambahkan bahwa dari 51 orang yang terlibat, 20 orang diantaranya merupakan aparat TNI dan Polri. Sepanjang 10 tahun terakhir, pihak ALDP mencatat ada 9.605 amunisi dan 52 pucuk senjata yang nyaris dijual oknum kepaa KST Papua, dan berhasil digagalkan. Sebuah keberhasilan, mengingat bila senjata dan amunisi itu berhasil sampai ke tangan KST Papua, kemungkinan ada banyak nyawa Rakyat Indonesia yang harus dikorbankan.

Diketahui ada enam lokasi yang menjadi pintu masuk ke wilayah pegunungan yang merupakan basis lokasi KST Papua, seperti Nabire, Timika, Jayapura, dan Sorong yang menjadi akses utama jalur transaksi yang mudah masuk ke wilayah pegunungan.

Diperlukan tindakan tegas untuk memberikan efek jera kepada pendukung dari KST Papua. Dengan tindakan tegas, pendukung KST Papua khususnya dari oknum ASN, ataupun TNI/Polri akan sadar dengan kesalahannya. Dengan hukuman yang jelas juga akan membuat mereka mengingat janji mereka untuk terus setia kepada Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia akan terus membentang dari Sabang sampai Merauke dan tidak ada tempat untuk gerakan separatis untuk memisahkan dirinya dari Ibu Pertiwi.

*) Penulis adalah Pengamat Papua, mantan jurnalis media lokal di Papua.

suaratimur.id – Sebuah aksi protes dilakukan oleh sejumlah masyarakat dari Kampung Noglait, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga Papua pasca meninggalnya salah satu warga bernama Markus Gwijangge pada 5 April 2022 lalu. Masyarakat menduga bahwa peristiwa tersebut merupakan korban salah tembak yang dilakukan oleh aparat setempat.

Rencananya, korban akan dibawa oleh masyarakat bersamaan dengan aksi protes ke kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Nduga untuk selanjutnya diteruskan ke jajaran pos aparat keamanan untuk dimintakan pertanggungjawaban.

Kronologi Kejadian

Berdasarkan informasi yang behasil dihimpun, bahwa pada hari Selasa 5 April 2022 di salah satu pos aparat keamanan di wilayah Distrik Ilaga terdapat suara tembakan peringatan, kemungkinan karena terdapat hal mencurigakan namun belum diketahui detailnya. Hingga pada keesokan harinya (6/4), beberapa anggota masyarakat dari kampung Noglait mendatangi puskesmas untuk menjemput salah satu warganya Bernama Markus Gwijangge di rumah duka kampung Noglait yang diduga merupakan korban dari adanya tembakan peringatan tersebut. Selanjutnya kedatangan ambulance yang membawa korban tiba di Puskesmas Kenyam untuk dilakukan pemeriksaan.  

Hukum Adat dan Hukum Nasional di Papua

Adanya aksi protes dari masyarakat berkaitan dengan suatu kejadian tertentu di wilayahnya, bukanlah sebuah hal yang baru. Masyarakat di Papua kental dengan hukum adat sebagai rujukan dalam setiap peristiwa yang terjadi. Pemberian sanksi oleh petugas adat kepada pelaku pelanggaran adat sampai dengan saat ini masih sangat kental dan diakui oleh masyarakat adat setempat. Penggantian ganti rugi biasanya menggunakan uang atau babi.

Namun dalam perjalanannya, Sebagian dari tradisi hukuman adat tersebut kemudian mengalami kompromi dengan hukum nasional, terutama bagi daerah-daerah yang sudah membuka diri dengan masyarakat pendatang serta menerapkan hukum sesuai dengan ketentuan negara Indonesia. Adanya konsekuensi bagi setiap pelaku yang melakukan pelanggaran hukum diharapkan akan lebih condong pada penerapan hukum nasional. Tentunya melalui kesepakatan kedua belah pihak yang difasilitasi tokoh masyarakat setempat.   

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menyatakan bahwa hukum di Indonesia berbeda dengan hukum adat di Papua untuk kasus tindak pidana seperti pembunuhan. Hal tersebut berdasarkan pengalamannya menjadi Kepala Kepolisian Daerah Papua pada 2012-2014.

Sistem hukum di Indonesia dalam menangani kasus pembunuhan, misalnya, sudah mengatur mulai proses di kepolisian hingga penahanan. Namun, dalam hukum adat di Papua, ada kompensasi yang harus dibayarkan dari pelaku kepada korban. Menurutnya, warga suku di Papua berkewajiban mengikuti arahan kepala suku. Jadi, apabila terjadi kasus tertentu, kepala suku wajib melindungi anggotanya.

Dicontohkan apabila terdapat anggota suku ada yang terbunuh, tidak menutup kemungkinan terjadi perang antar suku. Kepala suku bisa mendeklarasikan untuk perang demi melindungi anggota suku. Bahkan mekanisme perang pun teratur. Kedua pihak menyepakati waktu perang dan jeda di sela-sela waktu perang.

Namun Tito menegaskan, hukum adat tersebut tidak bisa diterapkan di Tanah Air. “Tapi, kalau diterapkan hukum nasional, kacau,” ujarnya. Sebab, ia menilai hukum adat tersebut bisa termasuk dalam kategori pembunuhan. Bagi mereka, hukum tidak bisa selesai hanya sampai jaksa. Tapi ada tuntutan berupa uang yang akan diserahkan kepada keluarga korban dan sisanya untuk pesta suku.

Tito menuturkan, suatu ketika, terjadi perang suku di sebuah wilayah soal sengketa tanah. Perang tersebut mengakibatkan beberapa korban meninggal. Terdapat istilah bayar kepala dan bayar darah. Bayar kepala adalah memberikan kompensasi bagi korban yang meninggal. Sedangkan bayar darah adalah kompensasi untuk korban yang terluka.

Tito mengatakan nilai kompensasi yang diminta korban bisa mencapai ratusan juta. Apabila nilai kompensasi belum disepakati, perang suku bisa berlanjut hingga sebulan. Menurut Tito, negara tidak boleh membiarkan pembunuhan terjadi. Ia pun akhirnya mengerahkan pasukan gabungan dari TNI dan Polri untuk mencegah perang semakin memanas.

Masyarakat Agar tidak Terprovokasi

Berangkat dari hal tersebut, Sehubungan dengan adanya aksi protes dari masyarakat Kampung Noglait di distrik Kenyam Kabupaten Nduga terkait adanya kejadian warganya yang tertembak, maka diharapkan peran dari tokoh adat, pemerintah daerah, serta dari pihak aparat keamanan untuk duduk bersama menyelesaikan permasalahan sehingga tidak timbul adanya hal-hal yang tidak diinginkan melibatkan massa serta kerawanan provokasi yang mungkin ditimbulkan.

Hingga kini proses pengusutan terkait adanya korban yang diduga salah sasaran tersebut masih berlangsung, masyarakat Kampung Noglai agar mampu bersikap bijak dengan tidak bersikap gegabah sehingga situasi wilayah tetap aman serta kondusif.

Adanya kejadian tersebut hendaknya juga menjadi pembelajaran bersama bagi seluruh pihak untuk bahu-membahu saling menjaga keamanan dan ketentraman. Saling percaya, saling menyapa, hingga saling hilangkan rasa curiga. Karena pada akhirnya, kedamaian di seluruh penjuru wilayah Papua menjadi harapan bersama bagi seluruh masyarakat didalamnya. Sa Ja Ko, Ko Jaga Sa. Kitong Semua Selamat.

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

Oleh : Abdul Razak )*

Badan Intelijen Negara (BIN), TNI, Polri, dan instansi keamanan lainnya berusaha maksimal untuk mencegah aksi teror selama Ramadhan. Masyarakat mendukung berbagai upaya tersebut, agar kenyamanan beribadah tidak terusik oleh aksi brutal kelompok radikal.

Menjelang bulan suci Ramadhan, Pemerintah terus lakukan pengamanan demi menciptakan Ramadhan damai dengan berbagai macam upaya pencegahan aksi teror. Dengan hadirnya bulan suci tersebut, tentu semua pihak akan berharap tidak ada lagi berbagai macam upaya teror yang mampu menebar ketakutan masyarakat luas sehingga mereka enggan untuk melakukan aktivitasnya.

Karena tidak hanya mencoreng kesucian bulan Ramadhan, namun tentu dengan adanya tindakan terorisme juga akan menggerogoti negara serta menghancurkan perdamaian yang selama ini sudah tercipta. Maka dari itu upaya untuk pemberantasan tindak terorisme terus dilakukan. Dinyatakan oleh Irjen Pol Istiono selaku Kapolda Bangka Belitung bahwa jajarannya akan terus meningkatkan kewaspadaan untuk bisa melawan aksi terorisme jelang Ramadhan.

Tidak hanya dari pihak Polri saja, namun operasi gabungan bersama dengan pihak TNI dan BIN juga akan sangatlah membantu. Patroli gabungan harus sering dilakukan guna benar-benar mampu mencegah adanya tindakan terorisme dalam bentuk apapun.
Beberapa hal bisa bisa diupayakan adalah dengan mencegah terjadinya kerumunan yang terlalu masif, karena selain masih dalam kondisi pandemi Covid-19, tentu kerumunan merupakan sasaran paling empuk sasaran aksi teror. Kemudian hal lain yang harus dilakukan adalah dengan terus menyusuri dan meningkatkan kewaspadaan di tempat-tempat tertentu yang salama ini dianggap sangat rawan dengan adanya tindak terorisme.

Upaya tersebut dilakukannya dengan melakukan berbagai bentuk pengamanan mulai dari rumah ibadah, pusat perbelanjaan hingga tempat-tempat wisata yang terus ditingkatkan pengawasan serta pengamanannya. Lebih lanjut, dirinya menyatakan bahwa seluruh masyarakat jangan sampai terlena dan menganggap kalai serangan kelompok teroris seolah memanglah tidak ada, seluruh pihak harus terus tetap waspada.

Bisa dikatakan pula sebenarnya Ramadhan tahun 2021 lalu termasuk relatif aman, namun bukan berarti kita bisa langsung akan menganggap kalau tahun ini juga begitu dengan sama sekali tidak bermawas diri dan waspada. Para aparat juga terus melakukan penjagaan supaya ancaman pengeboman atau serangan apapun yang menimbulkan ketakutan massal bisa dihindari, termasuk salah satunya adalah tindakan sweeping sembarangan yang mungkin saja dilakukan oleh ormas tertentu.

Pemerintah akan menjamin bahwa kelancaran peribadatan Umat Muslim selama Ramadhan benar-benar terlaksana. Maka dari itu kondusivitas dan stabilitas keamanan harus terus dijaga dengan ketat. Salah satu langkah nyata sebagai bentuk pencegahan adanya tindakan terorisme telah dilakukan oleh Densus 88 Antiteror yang berhasil meringkus 6 anggota teroris yang diduga terlibat dalam organisasi ISIS pada tanggal 21 Maret 2022 lalu.

Perlu disampaikan pula bahwa jaringan pergerakan terorisme saat ini tidak hanya sekedar secara terang-terangan saja, melainkan mereka juga banyak masuk dan memberikan berbagai macam propaganda melalui media sosial. Jadi tidak hanya sekedar di dunia nyata, namun pergerakan mereka cukup masif dilakukan di dunia maya yang banyak sekali diakses oleh masyarakat dengan mudah. Maka dari itu masyarakat sendiri harus terus meningkatkan kewaspadaan mereka, terutama ketika mencerna sebuah informasi yang bisa saja adalah hoaks.

Keberlangsungan keamanan negara bahkan bukanlah tanggung jawab pemerintah dan jajaran aparat saja, melainkan itu adalah tanggung jawab kita bersama. Kewaspadaan dan rasa nasionalisme harus terus digaungkan melalui berbagai macam jalan, termasuk adalah melalui media sosial dan teknologi informasi lainnya. Karena strategi lama dalam upaya pencegahan terorisme mungkin bisa saja akan ketinggalan jaman apabila kita tidak mengikuti kemajuan di era digital seperti sekarang ini.

Peran dari kewaspadaan masyarakat sendiri juga bisa sangat membantu upaya pemerintah ini. Karena masyarakat bisa langsung melaporkan apabila menemui unggahan-unggahan tertentu yang berkonotasi ajakan terorisme ataupun ajaran-ajaran yang menyimpang dan mengarah pada radikalisme. Berbagai macam hal yang mencurigakan tersebut ketika langsung dilaporkan oleh masyarakat, maka akan jauh lebih cepat tertangani bahkan mungkin sebelum mereka melancarkan aksinya.

)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini

Oleh : Muhammad Yasin )*

Masyarakat mendukung Aparat Keamanan (Apkam) agar terus optimal menangani radikalisme. Dengan adanya optimalisasi peran Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI/Polri maka radikalisme diharapkan dapat dicegah penyebarannya agar tidak semakin luas.

Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, ancaman radikalisme telah masuk dalam kalangan pelajar. Menurutnya, hal tersebut harus menjadi alarm bagi pemerintah dalam penanggulangan terorisme. Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman mengatakan, pihaknya telah memerintahkan kepada seluruh jajaran TNI AD agar mengantisipasi dan memiliki kepekaan terhadap perkembangan gerakan kelompok radikal.

Dudung menegaskan, seluruh prajurit TNI AD harus peka dan peduli terhadap perkembangan kelompok radikal. Dirinya juga mengingatkan bahwa TNI AD memiliki posisi yang sangat strategis. Sehingga dirinya meminta kepada jajarannya untuk melakukan pembinaan kepada masyarakat sebagai langkah antisipasi perkembangan paham radikal.

Pengamat Militer dari Center of Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas menuturkan, keinginan KSAD Jenderal Dudung Abdurachman untuk melibatkan aparatnya dalam menangani masalah radikalisme bukanlah hal yang baru. Dirinya menyebut bahwa pada 22 November 2021 lalu, Dudung juga secara gamblang telah mengutarakan rencana pelibatan Babinsa untuk mendeteksi ancaman radikalisme.

Masuknya radikalisme di kalangan pelajar antara lain dipengaruhi oleh guru atau pengajar yang berafiliasi atau bersimpati terhadap organisasi yang berkeinginan mengganti Pancasila dengan ideologi transnasional. Kelak hal tersebut akan mengarahkan anak-anak untuk mendukung paham khilafah.

Anak memang menjadi obyek yang sangat mudah terpapar paham radikal, karena anak sangat mudah menyerap doktrin. Selain itu, anak cenderung lebih loyal dari orang dewasa sehingga mudah untuk menjadi radikal.

Selain pengaruh dari guru, radikalisme yang menyasar kalangan anak-anak juga terjadi akibat derasnya arus informasi yang beredar di media sosial dan internet. Apalagi saat ini banyak orang mencari ilmu agama melalui gawainya. Alhasil, banyak yang menjadi sesat karena tidak mengetahui asal-muasal, dalil dan sumber informasi tersebut.

Sementara itu, Aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memastikan bahwa instruksi Presiden Jokowi untuk tidak sembarangan mengundang penceramah akan dipedomani oleh seluruh aparat kepolisian. Instruksi itu disampaikan Jokowi saat memberikan sambutan di Rapim TNI-Polri.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menjelaskan, apabila nantinya ditemukan hal tersebut, maka Polri akan memberikan sanksi tegas kepada personel kepolisian. Menurutnya, hal itu juga kebaikan untuk mencegah paham radikalisme. Dedi menuturkan, apabila terbukti ada yang dilanggar, Propam akan menindak tegas anggota tersebut. Karena ini untuk kebaikan bersama dan memitigasi sebaran paham radikalisme.

Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta kepada keluarga besar TNI dan Polri agar tidak sembarangan mengundang penceramah atas dasar demokrasi. TNI dan Polri beserta keluarga harus menjaga kedisiplinan nasional.

Dulu kita sempat mendengar nama NII (Negara Islam Indonesia), di mana kelompok tersebut kerap melakukan ‘cuci otak’ dalam merekrutnya. Hal ini membuat warga resah, apalagi target yang direkrut saat itu adalah Mahasiswa dari berbagai kampus.

Perlu kita ketahui bahwa upaya cuci otak jelas bertentangan dengan norma dan ajaran Islam. Karenanya, peran pemuka agama dan pemerintah untuk mengoptimalkan counter isu dengan memberikan pelajaran akidah dan pendalaman ajaran Islam yang anti radikal.

Gerakan radikalisme di Indonesia merupakan bahaya laten yang dapat mengancam stabilitas keamanan. Utamanya gerakan radikalisme berbasis agama.

Berbagai propaganda tentang paham radikal masih terlihat di beberapa tempat, seperti perguruan tinggi, masjid, organisasi masyarakat dan bahkan dalam lingkup kantor pemerintah pun paham radikal sudah bisa memasuki wilayahnya.

Meski organisasi radikal telah dibubarkan, tapi mereka masih bisa mendapatkan penganut paham radikal dengan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan paham sesatnya. Di sinilah mereka mulai meracuni siapapun yang penasaran dengan paham yang dapat menyesatkan pikiran, seperti menganggap pancasila sebagai thagut.

Aparat keamanan memiliki peran penting dalam menangani masalah radikalisme, TNI – Polri memiliki peran vital dalam menciptakan kondusifitas dan kedamaian tanpa adanya provokasi yang berujung pada aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama.

)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini

Oleh : Janet Theresia )*

Segenap warga Papua mendukung keberadaan aparat keamanan karena mereka mengerti bahwa TNI datang sebagai sahabat rakyat. Dengan adanya keberadaan TNI/Polri, dan BIN di Papua maka diharapkan stabilitas keamanan di Papua akan terjaga.

Masalah keamanan di Papua masih menjadi fokus pemerintah karena keberadaan KST (kelompok separatis dan teroris) yang menjadi duri dalam daging. Tak hanya membelot, mereka juga mengajak warga sipil untuk ikut memberontak. Hasutan demi hasutan ditiupkan demi keinginan mereka untuk membuat republik federal Papua barat.

Ketika ada provokasi dari KST dan belum efektif maka mereka menggunakan cara kekerasan dan meneror masyarakat. Akan tetapi cara terakhir ini kurang ampuh karena warga Papua, khususnya di daerah Intan Jaya, menjalin komunikasi yang baik dengan aparat keamanan. Hal ini diutarakan oleh Satgas Kodim Yonif Pararaider 328/Dirgahayu dalam acara salib persaudaraan.

Warga mulai berkomunikasi dengan akrab dengan aparat keamanan karena mereka tak lagi takut akan ancaman KST. Pasalnya, mereka sadar bahwa saat itu KST hanya gertak sambal dan tidak benar-benar melaksanakan yang ia ucapkan. Mereka lalu tidak mengindahkan ancaman KST karena lebih setia kepada NKRI.

Membaiknya hubungan antara aparat keamanan dengan rakyat Papua adalah suatu hal yang sangat baik karena sebenarnya mereka setia kepada Indonesia, akan tetapi selalu diancam oleh KST, sehingga awalnya takut saat melihat prajurit TNI. Akan tetapi, ketika pemerintah mengubah strategi dengan pendekatan yang lebih humanis, maka pelan-pelan mereka mulai paham bahwa aparat ada bukan untuk membuat suasana jadi menakutkan.

Rakyat Papua jadi paham bahwa kedatangan prajurit TNI ke Papua dalam jumlah besar adalah untuk mengamankan keselamatan mereka dari ancaman KST dan OPM. Bukan sebaliknya, untuk membuat suasana ngeri atau bahkan menjadi DOM alias daerah operasi militer seperti dulu saat masa orde baru di tanah rencong.

Prajurit TNI di Papua memang selalu ditambah sehingga muncul pasukan loreng di mana-mana, atau mereka berpakaian seperti sipil saat sedang menyamar. Keberadaan pasukan TNI tidak perlu ditakuti karena mereka datang untuk merangkul dan bersahabat dengan rakyat. Tidak mungkin ada prajurit yang bertindak buruk, karena mereka sudah bersumpah untuk selalu melindungi segenap warga negara Indonesia.

Malah jika ada banyak pasukan TNI di seluruh wilayah Papua akan menciptakan rasa aman, karena jika ada aparat maka pasukan KST tidak akan berani menyerang warga sipil. Mereka akan pikir-pikir karena senjata api yang digunakan oleh aparat lebih canggih daripada punya mereka (yang biasanya bekas dan didapatkan dari pasar gelap).

Mindset ini yang perlu ditanamkan, tak hanya bagi warga sipil di Intan Jaya, tetapi juga di seluruh wilayah Papua. Prajurit TNI adalah warga negara Indonesia dan mereka tidak mungkin memperlakukan WNI lain secara tidak adil. Tidak usah takut bahkan menangis saat melihat aparat keamanan yang berseliweran karena mereka sedang melaksanakan tugasnya. Di balik seragam loreng tersimpan hati lembut yang mau bercengkrama dengan rakyat.

Hubungan baik antara rakyat sipil dan TNI harus dibina terus karena masyarakat bisa membantu pemberantasan KST dengan jadi informan (secara tidak resmi). Ketika ada anggota KST yang menyerang dan kabur ke rumah warga, maka empunya rumah bisa diam-diam menelepon untuk melapor.

Warga Papua, khususnya di Intan Jaya, mendukung keberadaan aparat keamanan di Bumi Cendrawasih. Mereka sadar bahwa kedatangan prajurit TNI adalah untuk mengemban misi suci, untuk mengamankan wilayah Papua dari serangan KST. TNI adalah sahabat rakyat jadi tidak perlu ditakuti.

)* Penulis adalah Mahasiswa Papua tinggal di Bandung

Oleh : Lisa Pamungkas )*

Aparat Keamanan terus berupaya untuk mencegah teror menjelang akhir tahun. Selain mempersiapkan posko pengamanan maupun melaksanakan Operasi Lilin 2021, TNI/Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) juga terus berupaya mencegah ancaman gangguan Kamtibmas yang mungkin dapat terjadi.

Akhir tahun dan libur natal merupakan momen di mana aparat keamanan harus tetap bersiaga. Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri berhasil menangkap 370 terduga teroris sepanjang tahun 2021. Meningkat dari tahun 2020 dengan 232 terduga teroris yang ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Polri.

Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Antiteror Polri Kombes Aswin Siregar mengatakan, meningkatnya penangkapan tersebut disebabkan karena pihaknya ingin mengikis total jaringan teroris yang masih ada di Indonesia.

Meski demikian dirinya tidak ingin berasumsi bahwa meningkatnya penangkapan tersebut disebabkan karena semakin suburnya teroris di Indonesia. Menurutnya, peningkatan jumlah penangkapan tersebut menjadi bukti kinerja dan kerja keras Densus yang meningkat dan semakin efektif.

Sebelumnya, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror telah mengamankan 370 terduga pelaku tindak pidana terorisme. Jumlah tersebut merupakan tangkapan sepanjang 2021, hingga 24 Desember. Dari data Densus, penangkapan terbanyak dilakukan pada bulan Maret yakni sebanyak 75 orang, kemudian April sebanyak 70 orang serta Agustus 61 orang.

Selanjutnya, penangkapan paling sedikit dilakukan pada bulan Oktober 1 orang, September 7 orang dan Juli hanya sebanyak 8 orang. Proses identifikasi dan pengembangan kasus-kasus tindak pidana terorisme dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan rencana-rencana teror yang dilakukan oleh jaringan tertentu. Secara terus menerus Densus 88 akan melakukan kegiatan dalam rangka menciptakan situasi aman di Indonesia.

Perlu diketahui, dalam 1 bulan terakhir Densus 88 telah mengamankan puluhan terduga teroris di sejumlah wilayah. Tercatat, ada 9 orang diamankan di Provinsi Sumatera Utara, satu orang di Sumatera Selatan dan empat lainnya di Kepulauan Riau.

Kemudian, lima tersangka lain teroris JI ditangkap di kawasan Lampung dan Sumatera Selatan. Empat tersangka bertugas untuk mengamankan buron teroris lain yang dikejar oleh aparat keamanan.

Dalam sepekan terakhir, Densus juga telah menangkap tiga tersangka teroris JAD (Jamaah Ansharut Daulah) di Kalimantan Tengah, dua di Kalimantan Selatan dan tiga tersangka dari Jaringan Islamiyah (JI) di Jawa Tengah.

Perlu diketahui bahwa jaringan ISIS telah mentargetkan Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk aksi teror di akhir Tahun 2021. Hal tersebut terungkap setelah tiga terduga teroris berhasil diamankan.

Penangkapan tersebut dilakukan oleh dua tim yang merupakan bentuk dari Densus 88 Antiteror Polri dengan diperbantukan oleh Satbrimob Polda Kalteng guna meringkus terduga teroris itu di dua lokasi.

Terduga satu teroris yang diamankan di Palangkaraya adalah seorang pria berinisial MS. Sedangkan dua terduga teroris yang diamankan di Kabupaten Kotawaringin Timur, yakni AR dan juga RT. Kabidhumas Polda Kalteng Kombes Pol Kismanto Eko Saputro saat dikonfirmasi telah membenarkan akan adanya peristiwa penangkapan terhadap terduga teroris tersebut.

Kismanto mengatakan, bahwa ketiga terduga teroris tersebut terlibat dalam rencana untuk melakukan aksi teror pada akhir 2021 di Wilayah Bumi Tambun Bungai ini. Ia juga menjelaskan bahwa Densus 88 berhasil menyita sejumlah barang bukti hasil penggeledahan terhadap tiga terduga teroris. Menurutnya, para terduga tersebut telah berbaiat kepada Abu Bakar Al Baghdadi dan penggantinya.

Barang bukti yang ditemukan adalah senjata api rakitan, senjata tajam, baju yang digunakan untuk latihan militer, dan buku buku yang berkaitan dengan pemahaman ideologi serta beberapa barang bukti lain terkait perbuatan pidana terorisme.

Salah seorang saksi yang merupakan pegawai Hotel Hawai di Jalan Bubut Kota Palangkaranya bernama Ardi, juga membenarkan ihwal penangkapan pengunjung hotel oleh Densus 88. Menurutnya, petugas datang dengan mengenakan pakaian biasa namun membawa senjata laras panjang. Tak berapa lama, petugas langsung membawa seseorang yang diduga merupakan teroris.

Penangkapan ini tentu saja menjadi alarm bagi kita semua, bahwa kelompok teroris belum benar-benar lenyap dari Nusantara. Boleh jadi mereka tampak seperti warga biasa, tetapi dalam keyakinannya mereka meyakini bahwa aksi teror yang dilakukan merupakan aksi amaliyah yang mendekatkan dirinya kepada surga.

Aparat keamanan tentu saja harus bekerja keras dalam mengantisipasi ancaman teror yang ada, tentu saja kita tidak ingin seperti timur tengah yang hancur karena saling teror.

)* Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)

Oleh : Abner Wanggai )*

Masyarakat mendukung Aparat Keamanan untuk memberantas Kelompok Separatis dan Teroris (KST) di Papua. Kelompok tersebut hanya menimbulkan keresahan dan mengganggu kedamaian menjelang Natal.

Papua adalah wilayah Indonesia yang mndapatkan perhatian besar dari pemerintah, terutama di era Presiden Jokowi. Buktinya adalah dilanjutkannya otonomi khusus sehingga ada dana besar yang bisa digunakan untuk membangun Bumi Cendrawasih. Masyarakat Papua sendiri merasa bahagia karena kehidupannya makin membaik berkat infrastruktur yang dibangun.

Sayang sekali perubahan positif di Papua tidak bisa dirasakan oleh kelompok separatis dan teroris (KST) karena mereka tetap ngotot untuk memerdekakan diri, karena merasakan ketidak adilan. Padahal sentralisasi seperti zaman orde baru sudah dihapus, sehingga dengan otonomi penuh pemerintah Papua lebih bebas membangun dan memakmurkan masyarakatnya.

Kekecewaan KST diungkapkan dengan menyerang aparat keamanan karena mereka merepresentasikan pemerintah Indonesia. Seperti tanggal 7 Desember 2021 lalu, ketika KST hendak menyerang personel TNI di distrik Suru-Suru. Kepala Penerangan Kodam XVII Cendrawasih Kolonel Arm Reza Nur Patria menyatakan bahwa KST datang dengan formasi menyerang.

Kolonel Arm Reza melanjutkan, dalam peristiwa panas tersebut memang tidak ada korban jiwa dari pihak TNI. Aksi nekat anggota kelompok pemberontak tersebut berhasil digagalkan dan dibalas dengan serangan balik oleh prajurit TNI dan ada 1 korban jiwa dari KST. Tindakan tegas terukur terpaksa diambil karena anggota KST membawa senjata api laras panjang dan tidak menghiraukan peringatan prajurit TNI.

Tindakan tegas prajurit TNI memang diperbolehkan karena dalam keadaan bahaya, di mana taruhannya adalah nyawa. Lagipula, KST juga bersalah karena membawa senjata api yang jelas ilegal karena warga sipil tidak boleh menggunakan pistol atau senjata api apapun. Selain itu, mereka juga nekat menyerang anggota TNI terlebih dahulu.

Setelah peristiwa ini maka penyisiran ke markas KST terus dilakukan oleh Satgas Nemangkawi, sebagai satuan tugas yang dikhususkan untuk memberantas kelompok pemberontak di Papua. Penyearngan ke markas memang lebih efektif karena dipastikan di sana ada banyaka anggota KST yang bersembunyi.

Markas KST memang ada banyak dan sebagian tersembunyi, tetapi harus ditemukan agar KST cepat dibubarkan. Untuk menemukan markas tersebut maka ada bantuan dari pihak intelijen. Masyarakat juga diharap melapor ke aparat keamanan jika mereka mencurigai ada 1 tempat yang sekiranya sering didatangi oleh KST.

Masyarakat selama ini setuju-setuju saja ketika ada penindakan tegas bagi anggota KST. Pasalnya, mereka juga sudah lelah menghadapi kelompok pemberontak tersebut. Pertama, gara-gara KST nama baik Papua jadi tercoreng, karena diidentikkan dengan kelompok separatis. Padahal mereka hanya segelintir orang dan tidak merepresentasikan seluruh warga di Bumi Cendrawasih.

Kedua, jika ada KST maka berpengaruh terhadap perekonomian warga. Saat anggota KST berkeliaran dn membuat teror tentu masyarakat bersembunyi karena takut kena peluru nyasar, sehingga pasar dan pertokoan terpaksa ditutup. Selain itu, bisa jadi wisatawan asing ogah traveling ke Papua gara-gara takut KST, padahal kedatangan mereka bisa menambah devisa dan pemasukan pemerintah daerah.

Oleh karena itu pemberantasan KST didiukung penuh oleh masyarakat, termasuk ketika ada tindakan tegas. KST sudah terlalu sering membuat kekacauan dan korbannya tak hanya aparat, tetapi juag warga sipil, sehingga harus menanggung akibatnya.

Penindakan tegas KST diperbolehkan karena jika tidak dilakukan, nyawa prajurit TNI akan terancam. KST harus diberantas agar keamanan rakyat selalu terjaga dan mereka tidak bisa mengacaukan perdamaian di Papua.

)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta