Jakarta – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto, mengungkapkan bahwa Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme masih menjadi ancaman yang mengintai Indonesia.

“Setelah ancaman pandemi Covid-19 selesai, ancaman Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme (IRT) juga sangat berbahaya. Sudah banyak temuan yang menunjukkan beberapa lembaga dan masyarakat yang terpapar ancaman ini,” ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Moya Institute bertajuk “Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?” di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5).

Pria yang juga pernah menjadi ajudan terakhir Presiden Soekarno (1967-1968), mengungkapkan, hasil riset mengatakan IRT relatif mampu menyusup ke lingkungan aparatur sipil negara (ASN) di berbagai institusi. Bahkan, dirinya menilai radikalisme ditengarai telah merasuki oknum TNI-Polri.

Hal senada diungkap oleh Pemerhati isu-isu strategis Prof Imron Cotan yang menekankan pentingnya penguatan Pancasila untuk menangkal berbagai ideologi berbahaya.

Menurutnya, Pancasila sudah diuji oleh berbagai benturan ideologi seperti ekstrem kiri dan ekstrem kanan, bahkan ideologi liberal, dan Pancasila berhasil yudisium, lulus dengan summa cumlaude. Karenanya, Pancasila perlu untuk terus dilestarikan oleh seluruh elemen bangsa.

“Kalau tidak bangsa gagal mempertahankan daya lenturnya dan terus digempur, dihantam setiap saat dengan politik pecah belah, eksistensi Pancasila terancam dan Indonesia berpotensi menjadi negara gagal,” imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq yang juga politikus reformasi menilai sebagai ideologi bangsa, Pancasila selama ini telah sukses mengawal keutuhan NKRI.

“Ketika tahun 1945 kita baru lahir sebagai sebuah negara bangsa, dengan masyarakat yang heterogen dan majemuk bisa bertahan hingga saat ini sebagai satu nation state yang maju dan modern. Menjadi tugas kita untuk melakukan penyesuaian, seiring dengan perkembangan dan kondisi zaman di mana demokrasi yang kompatibel dengan dasar negara kita yaitu Pancasila,” tuturnya

Sementara itu, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengungkapkan, salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila yaitu perpecahan akibat perbedaan pilihan politik. Ditambah lagi merebaknya kasus korupsi, dan tindakan amoral dari beberapa oknum kepolisian.

KASN, tambah Agus , juga turut menjaga penerapan prinsip merit system serta pengawasan penerapan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN. Hal ini sekaligus untuk memastikan bahwa ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan, serta fungsi ASN sebagai perekat pemersatu NKRI tetap dijalankan oleh seluruh ASN di Indonesia.

“Kuncinya adalah pencegahan dan selalu mengingatkan kepada ASN untuk melihat kembali tugas utama serta kompetensinya sebagai abdi negara.” Ujarnya.

**

Jakarta – Pemilu 2024 di Indonesia adalah momen penting dalam menentukan arah demokrasi negara kita. Dalam upaya memastikan keberhasilan proses demokrasi yang adil dan transparan, netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) memainkan peran yang sangat penting. Netralitas ASN bukan hanya sekadar kewajiban hukum, tetapi juga merupakan bagian integral dari nilai-nilai Pancasila yang menjadi landasan negara kita.

Dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?”, yang digelar Moya Institute di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023), Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto menyampaikan bahwa dinamika politik sering melibatkan ASN sehingga peran birokrasi tidak efektif.

“Menurut data Bawaslu, dalam rentang waktu 2020-2021 di mana saat itu digelar Pilkada di 270 daerah, pelanggaran netralitas ASN mencapai angka 2.034. Dari jumlah pelanggaran itu, 1.373 ASN di antaranya diberi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK)”, kata Agus.

Oleh karena itu, Agus menekankan agar para ASN menempatkan diri pada posisi netral dalam pemilu. Sebab jika tidak akan mempengaruhi pelayanan publik ke depannya. Hal itu salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila, di mana kita masih kerap berpotensi terpecah karena politik.

“Sebagai bagian penting dari pemerintahan yang berfungsi untuk menyelenggarakan kebijakan publik, ASN memiliki peran krusial dalam menjaga ketertiban dan keadilan dalam proses Pemilu,” ujar Agus.

Sementara itu, anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI Inspektur Jenderal (Purn) Sidarto Danusubroto yang menjadi pembicara kunci dalam FGD tersebut mengatakan, intoleransi, radikalisme, dan terorisme (IRT) adalah virus yang merupakan ancaman untuk keutuhan bangsa. Ia menggunakan istilah vaksinasi ideologi, sebagai sebuah upaya menjaga keutuhan NKRI.

“Karena Pancasila adalah warisan Bung Karno sebagai founding father, yang selama ini terbukti bisa mempersatukan kebhinekaan. Kalau Indonesia diibaratkan dalam suatu rumah, pondasi dasarnya adalah Pancasila, tiangnya Undang-Undang Dasar 1945, dinding dan atapnya adalah NKRI serta penghuninya Bhinneka Tunggal Ika. Ini empat pilar, sejak saya ketua MPR terus digalakkan. Jadi penghuninya itu berbagai suku, agama, budaya dan adat istiadat, harus diwadahi bersama dalam rumah Pancasila ini,” paparnya.

Netralitas ASN adalah prinsip yang tidak dapat ditawar-tawar yang harus dijunjung tinggi demi kepentingan bersama. ASN harus memastikan bahwa kepentingan politik individu tidak mempengaruhi tugas dan tanggung jawab mereka dalam memfasilitasi proses Pemilu yang adil dan transparan.

Jakarta – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto, mengatakan Pancasila dapat menjadi vaksin ideologi untuk menjaga keutuhan bangsa menyusul dinamika politik nasional yang semakin memanas menjelang Pemilu 2024.

Hal tersebut diungkapkan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto yang juga pernah menjadi ajudan terakhir Presiden Soekarno (1967-1968) saat menjadi pembicara kunci dalam FGD yang digelar Moya Institute dengan tajuk “Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?” di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023).

“Setelah ancaman pandemi Covid-19 selesai, ancaman Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme (IRT) juga sangat berbahaya. Sudah banyak temuan yang menunjukkan beberapa lembaga dan masyarakat yang terpapar ancaman ini,” tuturnya.

Sidarto mengatakan berdasarkan hasil riset IRT ancaman tersebut relatif mampu menginfiltrasi aparatur sipil negara (ASN) di berbagai institusi. Bahkan radikalisme ditengarai telah merasuki oknum TNI-Polri.

Saat ini menurutnya demokrasi Indonesia masih menganut NPWP yang artinya Nomor Piro Wani Piro. Saya pernah menjadi anggota DPR RI tiga periode. Waktu sistem tertutup, saya dengan mudah terpilih. Saat sistem terbuka, orang disini mulai jorjoran dengan uang. Hal itu mengakibatkan masyarakat jadi dididik untuk menunggu “serangan fajar atau subuh” untuk mendapat uang.

Sementara itu, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila yaitu perpecahan akibat perbedaan pilihan politik. Ditambah lagi merebaknya kasus korupsi, dan tindakan amoral dari beberapa oknum kepolisian.

Di lain sisi, dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, KASN menjaga penerapan prinsip merit system serta pengawasan penerapan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN, pungkas Agus.

Hal ini sekaligus untuk memastikan bahwa ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan, serta fungsi ASN sebagai perekat pemersatu NKRI tetap dijalankan oleh seluruh ASN di Indonesia, jelasnya.

Kuncinya adalah pencegahan dan selalu mengingatkan kepada ASN untuk melihat kembali tugas utama serta kompetensinya sebagai abdi negara, tegasnya.

Pada kesempatan yang sama, Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq mengatakan, perjalanan panjang ideologi Pancasila mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 78 tahun sudah menghasilkan capaian yang luar biasa.

“Ketika tahun 1945 kita baru lahir sebagai sebuah negara bangsa, dengan masyarakat yang heterogen dan majemuk bisa bertahan hingga saat ini sebagai satu nation state yang maju dan modern. Menjadi tugas kita untuk melakukan penyesuaian, seiring dengan perkembangan dan kondisi zaman di mana demokrasi yang kompatibel dengan dasar negara kita yaitu Pancasila,” ucapnya.

Jakarta – Dinamika politik yang semakin tinggi jelang Pemilu 2024 harus benar-benar diantisipasi oleh semua pihak agar tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat. Karena itu, dibutuhkan penguatan vaksin ideologi Pancasila agar keutuhan bangsa tetap terjaga.

Pemerhati isu strategis nasional dan global Prof. Imron Cotan menungkapkan bahwa Pancasila sudah diuji oleh berbagai benturan ideologi seperti ekstrem kiri dan ekstrem kanan, bahkan ideologi liberal, dan Pancasila berhasil yudisium, lulus dengan summa cumlaude.

Hal tersebut disampaikan Prof Imron dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?” yang digelar Moya Institute di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5).

Tidak hanya itu, Prof. Imron mengingatkan agar masyarakat senantiasa menjaga Pancasila dari berbagai ancaman agar Indonesia tidak menjadi negara gagal.

“Kalau tidak bangsa gagal mempertahankan daya lenturnya dan terus digempur, dihantam setiap saat dengan politik pecah belah, eksistensi Pancasila terancam dan Indonesia berpotensi menjadi negara gagal,” ujarnya

Kemudian, mantan Dubes Australia dan Tiongkok itu mengutip pernyataan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin agar semua pihak meninggalkan politik pecah belah.

Selain itu, Prof Imron juga menekankan imbauan bakal calon presiden Ganjar Pranowo agar para calon presiden tidak saling menjelekkan satu sama lain.

“Jika ‘wisdom’ ini juga diikuti oleh seluruh capres-cawapres dan para kontestan pemilu lainnya, maka daya lentur Pancasila di dalam meredam dinamika politik lima tahunan akan akan tetap terjaga” tuturnya.

Dia pun berpesan agar kelompok-kelompok tertentu tidak mencoba-coba untuk menguji kemampuan Pancasila. Pasalnya, Pancasila sebagai ideologi bangsa telah mampu memoderasi seluruh perbedaan yang ada.

Dalam kesempatan yang sama, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto menegaskan Indonesia tetap dan terus membutuhkan Pancasila sebagai vaksin ideologi untuk menjaga keutuhan bangsa

“Setelah ancaman pandemi Covid-19 selesai, ancaman Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme (IRT) juga sangat berbahaya. Sudah banyak temuan yang menunjukkan beberapa lembaga dan masyarakat yang terpapar ancaman ini,” ujar Sidarto.

Senada, Politikus reformasi sekaligus Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq menyampaikan upaya Pancasila dalam mengawal NKRI selama 78 tahun sudah menghasilkan capaian yang besar.

“Ideologi Pancasila, konstitusi, dan konsep NKRI telah mengawal sejarah perjalanan hidup bangsa kita. Jika dihitung dari kebangkitan nasional 20 Mei 1928, 100 tahun lagi adalah 2028 dan dihitung dari Proklamasi kemerdekaan, maka 100 tahun lagi adalah 2045.” katanya

Sementara itu, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengatakan agar ASN dapat bersikap netral dalam Pemilu 2024.

“Sebab jika tidak akan mempengaruhi pelayanan publik ke depannya. Hal itu salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila, di mana kita masih kerap berpotensi terpecah karena politik,” pungkasnya

*

Jakarta – Politikus Reformasi Mahfudz Sidiq meyakini Indonesia akan menjadi negara yang tidak hanya kuat dari sisi ekonomi, namun juga disegani secara politik sebagai negara maju di dunia.

“Ideologi Pancasila, konstitusi, dan konsep NKRI telah mengawal sejarah perjalanan hidup bangsa kita. Jika dihitung dari kebangkitan nasional 20 Mei 1928, 100 tahun lagi adalah 2028 dan dihitung dari Proklamasi kemerdekaan, maka 100 tahun lagi adalah 2045,” tutur Mahfudz Sidiq, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Moya Institute di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023).

Ia menilai terdapat tiga tantangan pokok yang dihadapi ideologi Pancasila. Pertama, tantangan untuk mengeliminasi kontradiksi sikap, perilaku, dan tindakan terhadap ajaran Pancasila. Misal, perilaku koruptif, LGBT, dan liberalisasi budaya. Tantangan kedua, yaitu menguatkan visi kolektif bangsa menuju kekuatan baru di dunia tahun 2045. Tantangan ketiga, mengembangkan ketahanan nasional dalam konteks menghadapi dinamika global.

“Ancaman utama ideologi Pancasila ialah proxy dari kekuatan global dalam perang asimetris. Kemudian, arus liberalisasi dalam trend open society. Ancaman lainnya ialah industrialisasi politik. Banyaknya konsultan politik, lembaga survei, itu yang membuat adrenalin politik banyak pihak naik, sehingga yang tidak pernah masuk dalam organisasi politik dan tidak memiliki ideologi, terjebak dalam permainan politik tak bervisi dan membuat demokrasi kita menjadi Wani Piro,” jelas pria yang juga menjabat sebagai Sekjen Partai Gelora tersebut.

Sementara itu, Pemerhati Isu Strategis Nasional dan Global, Prof. Dubes Imron Cotan mengungkapkan bahwa Pancasila sudah diuji oleh berbagai benturan ideologi seperti ekstrem kiri dan ekstrem kanan, bahkan ideologi liberal.

Menurutnya, Pancasila berhasil yudisium, lulus dengan summa cumlaude.

“Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pernah berpesan agar semua pihak meninggalkan politik pecah belah,” ungkap Prof. Imron.

Imron juga menggarisbawahi imbauan bakal calon presiden Ganjar Pranowo agar para calon presiden tidak saling menjelekkan satu sama lain.

“Jika ‘wisdom’ ini juga diikuti oleh seluruh capres-cawapres dan para kontestan Pemilu lainnya, maka daya lentur Pancasila dalam meredam dinamika politik lima tahunan akan akan tetap terjaga. Ini adalah peringatan bagi kelompok tertentu agar tidak mencoba menguji kemampuan Pancasila memoderasi perbedaan yang datang dari seluruh penjuru,” pungkasnya.

Pada kesempatan sama, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Agus Pramusinto menuturkan bahwa sistem politik di Indonesia masih membuka celah melibatkan keberpihakan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilu.

“Politik kita kerap menyeret-nyeret ASN. Ikut salah, gak ikut salah. Jadi, kalau mereka para ASN terbawa-bawa, akan menjadikan kerja birokrasi tidak efektif. Karena yang muncul adalah politik balas budi, politik balas dendam,” kata Agus.

Menurut data Bawaslu, lanjut Agus, dalam rentang waktu 2020-2021 di mana saat itu digelar Pilkada di 270 daerah, pelanggaran netralitas ASN mencapai angka 2.034. Dari jumlah pelanggaran itu, 1.373 ASN di antaranya diberi sanksi oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

“Kita sudah memasuki tahun politik dan puncaknya tahun depan, itu ada 548 Pilkada dan Pileg serta Pilpres. Potensi kegaduhan akan berlipat ganda. Sekarang jika diikuti media sosial, istilah cebong, kadrun itu masih ada. Dan jika terus berlanjut, itu membahayakan,” imbuhnya.

Karenanya Agus menegaskan agar para ASN menempatkan diri pada posisi netral dalam Pemilu.

“Sebab jika tidak, akan mempengaruhi pelayanan publik ke depannya. Hal itu salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila, di mana kita masih kerap berpotensi terpecah karena politik,” ujarnya.

(*)

Jakarta – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang juga mantan ajudan Presiden Soekarno (1967-1968), Sidarto Danusubroto, mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia tetap dan terus membutuhkan Pancasila sebagai vaksin ideologi untuk menjaga keutuhan bangsa.

Hal ini dikatakannya saat menjadi keynote speaker pada FGD oleh Moya Institute bertema “Pancasila: Dinamika dan Tantangan Yang Dihadapi?” di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5). Narasumber lainnya adalah Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto dan Pemerhati Isu Strategis Nasional dan Global, Prof. Imron Cotan.

Menurut Sidarto, dinamika politik nasional menjelang Pilpres dan Pileg 2024 semakin tinggi dan memunculkan sejumlah tantangan bagi proses pematangan demokrasi di Indonesia. Berdasarkan hasil riset mengatakan IRT relatif mampu menginfiltrasi aparatur sipil negara (ASN) di berbagai institusi, bahkan ditengarai telah merasuki oknum TNI-Polri.

“Setelah ancaman Covid-19 selesai, ancaman Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme (IRT) juga sangat berbahaya. Sudah banyak temuan yang menunjukkan beberapa lembaga dan masyarakat yang terpapar ancaman ini,” ujar Sidarto.

Sementara terkait dengan Pemilu, yang seharusnya dipilih langsung hanya Presiden dan DPR RI. Dirinya pernah menjadi anggota dewan tiga periode. Saat sistem tertutup, dirinya dengan mudah terpilih. Saat sistem terbuka, mulai jorjoran dengan uang. Rakyat dididik untuk mendapat uang, dan ini sangat tidak mendidik, dan sistem ini harus dihapus.

“Kita belum siap menghadapi demokrasi Barat, demokrasi kita saat ini NPWP: Nomor Piro Wani Piro. Saya pernah menjadi anggota DPR RI tiga periode. Saat sistem tertutup, saya dengan mudah terpilih. Saat sistem terbuka, orang mulai jorjoran uang. Rakyat dididik untuk menunggu “serangan fajar/subuh”. Ini sangat tidak mendidik untuk pematangan demokrasi sehingga harus dihapus,” ungkapnya.

Pembicara lainnya adalah Sekjen Partai Gelora, Mahfudz Sidiq. Menurut Mahfudz, perjalanan panjang ideologi Pancasila mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 78 tahun sudah menghasilkan capaian yang luar biasa.

“Ketika tahun 1945 kita baru lahir sebagai sebuah negara bangsa, dengan masyarakat yang heterogen dan majemuk bisa bertahan hingga saat ini sebagai satu nation state yang maju dan modern. Menjadi tugas kita untuk melakukan penyesuaian, seiring dengan perkembangan dan kondisi zaman di mana demokrasi yang kompatibel dengan dasar negara kita yaitu Pancasila,” kata Mahfudz.

Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengungkapkan, salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila yaitu perpecahan akibat perbedaan pilihan politik. Ditambah lagi merebaknya kasus korupsi, dan tindakan amoral dari beberapa oknum kepolisian. KASN menjaga penerapan prinsip merit system serta pengawasan penerapan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN.

“Dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, kuncinya adalah pencegahan dan selalu mengingatkan kepada ASN untuk melihat kembali tugas utama serta kompetensinya sebagai abdi negara. Ini untuk memastikan bahwa ideologi Pancasila dan fungsi ASN sebagai perekat pemersatu NKRI harus tetap dijalankan oleh seluruh ASN di Indonesia,” kata Agus.

Sementara itu, Pemerhati Isu Strategis Nasional dan Global, Prof. Imron Cotan mengatakan, setiap lima tahun ideologi Indonesia diuji daya lenturnya. Pancasila sudah diuji oleh berbagai benturan ideologi seperti ekstrem kiri dan ekstrem kanan, bahkan ideologi liberal. Pancasila berhasil yudisium, lulus dengan summa cumlaude.

“Kalau bangsa gagal mempertahankan daya lenturnya dan terus digempur serta dihantam dengan politik pecah belah setiap saat, eksistensi Pancasila dapat terancam dan Indonesia berpotensi jadi negara gagal. Kelompok tertentu agar tidak mencoba menguji kemampuan Pancasila memoderasi perbedaan yang datang dari seluruh penjuru,” tutup Prof. Imron. [*]

Jakarta – Menjelang Pemilu 2024, sejumlah pihak dari pakar hingga pemerintah menyoroti masalah-masalah yang perlu menjadi perhatian bersama. Salah satunya terkait daya lentur Pancasila.

Pemerhati isu strategis nasional dan global, Prof. Dubes Imron Cotan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?” yang digelar Moya Institute di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023),  berpendapat, Pancasila sudah diuji oleh berbagai benturan ideologi seperti ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Sebagaimana pernyataan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, agar semua pihak meninggalkan politik pecah belah. Imron juga menekankan imbauan bakal calon presiden Ganjar Pranowo agar para calon presiden tidak saling menjelekkan satu sama lain.

“Jika ‘wisdom’ ini juga diikuti oleh seluruh capres-cawapres dan para kontestan pemilu lainnya, maka daya lentur Pancasila di dalam meredam dinamika politik lima tahunan akan akan tetap terjaga. Ini adalah peringatan bagi kelompok tertentu agar tidak mencoba menguji kemampuan Pancasila memoderasi perbedaan yang datang dari seluruh penjuru,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, politikus reformasi yang juga Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq mengutarakan pada kontks peradaban terdapat siklus 100 tahun. Di mana selama 78 tahun Indonesia Merdeka, Indonesia masih memiliki sisa waktu 22 tahun dari sekarang untuk menuntaskan perjalanan besar sejarah 100 tahun.

“Bangsa kita akan menjadi negara tidak hanya kuat ekonominya, tetapi disegani secara politik sebagai negara maju di dunia,” ujar Mahfudz.

Mahfudz mencatat terdapat tiga tantangan pokok yang dihadapi ideologi Pancasila.

“Pertama, tantangan untuk mengeliminasi kontradiksi sikap, perilaku, dan tindakan terhadap ajaran Pancasila. Misal, perilaku koruptif, LGBT, dan liberalisasi budaya. Tantangan kedua yaitu menguatkan visi kolektif bangsa menuju kekuatan baru di dunia tahun 2045. Tantangan ketiga, mengembangkan ketahanan nasional dalam konteks menghadapi dinamika global. Caranya dengan tidak menjadi proxy atau bagian dari kekuatan global,” sambungnya.

Mahfudz menjelaskan ancaman utama ideologi Pancasila ialah proxy dari kekuatan global dalam perang asimetris. Kemudian, arus liberalisasi dalam trend open society. Ancaman lainnya ialah industrialisasi politik.

“Banyaknya konsultan politik, lembaga survei, itu yang membuat adrenalin politik banyak pihak naik, sehingga yang tidak pernah masuk dalam organisasi politik dan tidak memiliki ideologi, terjebak dalam permainan politik tak bervisi dan membuat demokrasi kita menjadi Wani Piro,” papar Mahfudz.

Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto, juga berpesan pentingnya netralitas ASN yang banyak diuji. Menurut Agus, politik di Indonesia kerap menyeret-nyeret ASN.

“Ikut salah, gak ikut salah. Jadi, kalau mereka para ASN terbawa-bawa, akan menjadikan kerja birokrasi tidak efektif. Karena yang muncul adalah politik balas budi, politik balas dendam,” pungkasnya.

Agus menyoroti adanya data dari Bawaslu, yang mengungkap dalam rentang waktu 2020-2021 di mana saat itu digelar Pilkada di 270 daerah, pelanggaran netralitas ASN mencapai angka 2.034. Dari jumlah pelanggaran itu, 1.373 ASN di antaranya diberi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK).

“Kita sudah memasuki tahun politik dan puncaknya tahun depan, itu ada 548 Pilkada dan Pileg serta Pilpres. Potensi kegaduhan akan berlipat ganda. Sekarang jika diikuti media sosial, istilah cebong, kadrun itu masih ada. Dan jika terus berlanjut, itu membahayakan,” tambahnya.

Maka, pihaknya mengajak agar para ASN menempatkan diri pada posisi netral dalam pemilu.

“Sebab jika tidak akan mempengaruhi pelayanan publik ke depannya. Hal itu salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila, di mana kita masih kerap berpotensi terpecah karena politik,” tutupnya.

*

Jakarta – Berbagai ancaman mengincar bangsa Indonesia menjelang pesta demokrasi Pemilu 2024 mendatang. Untuk itu Pancasila sebagai pemersatu NKRI, harus terus diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto mengatakan, setelah ancaman pandemi Covid-19 selesai, ancaman Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme (IRT) juga sangat berbahaya.

“Hasil riset mengatakan IRT relatif mampu menginfiltrasi aparatur sipil negara [ASN] di berbagai institusi. Bahkan radikalisme ditengarai telah merasuki oknum TNI-Polri,” ungkapnya dalam diskusi FGD bertema “Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?” yang digelar Moya Institute di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5).

Sidarto menambahkan, masyarakat Indonesia belum siap menghadapi demokrasi Barat.

“Sekarang demokrasi kita NPWP: Nomor Piro Wani Piro. Saya pernah menjadi anggota DPR RI tiga periode. Waktu sistem tertutup, saya dengan mudah terpilih. Saat sistem terbuka, orang disini mulai jorjoran dengan uang,” kata Sudarto.

Bahkan, lanjutnya, rakyat jadi dididik untuk menunggu “serangan fajar”. Hal tersebut, tegas Sudarto, justru tidak mendidik untuk pematangan demokrasi sehingga harus dihapus.

Sidarto berpendapat, yang seharusnya dipilih langsung hanya Presiden dan DPR RI. Dirinya menjelaskan, potensi terjadinya politik uang jika kepala daerah dipilih secara langsung.

“Kalau dipilih langsung, nanti yang terjadi seperti sekarang, misalnya jabatan gubernur bisa membutuhkan dana ratusan miliar, bupati puluhan miliar, yang dananya didukung oleh para bohir dan cukong. Pembangunan pun jadinya yang didukung oleh para cukong itu, sehingga mutunya bisa dipertanyakan,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengungkapkan, salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila yaitu perpecahan akibat perbedaan pilihan politik. Ditambah lagi merebaknya kasus korupsi, dan tindakan amoral dari beberapa oknum kepolisian.

“Dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, KASN menjaga penerapan prinsip merit system serta pengawasan penerapan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN,” kata Agus.

Agus menjelaskan, hal ini untuk memastikan bahwa ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan, serta fungsi ASN sebagai perekat pemersatu NKRI tetap dijalankan oleh seluruh ASN di Indonesia.

Sementara itu, Pemerhati Isu Strategis Nasional dan Global Prof. Dubes Imron Cotan mengatakan, setiap lima tahun ideologi Indonesia diuji daya lenturnya.

“Kalau bangsa gagal mempertahankan daya lenturnya dan terus digempur serta dihantam setiap saat dengan politik pecah belah, eksistensi Pancasila dapat terancam dan Indonesia berpotensi menjadi negara gagal,” tutur Imron.

Pembicara lainnya, Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq memaparkan bahwa perjalanan panjang ideologi Pancasila mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 78 tahun sudah menghasilkan capaian yang luar biasa dan bisa bertahan hingga saat ini sebagai satu nation state yang maju dan modern. [-red]

Jakarta – Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto menyebut, Aparatur Sipil Negara (ASN) masih memiliki celah dalam melibatkan keberpihakan dalam pemilu. Pada akhirnya ASN terjebak dalam politik balas budi atau politik balas dendam.

Hal tersebut diungkapkannya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?” yang digelar Moya Institute di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023).

“Politik kita kerap menyeret-nyeret ASN. Ikut salah, gak ikut salah. Jadi, kalau mereka para ASN terbawa-bawa, akan menjadikan kerja birokrasi tidak efektif. Karena yang muncul adalah politik balas budi, politik balas dendam,” ujarnya.

Agus mengungkap, menjelang pemilu dan pileg tahun depan akan ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Akan ada perpecahan akibat perbedaan pilihan politik. Jika tidak dicegah akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

“Kita sudah memasuki tahun politik dan puncaknya tahun depan, itu ada 548 Pilkada dan Pileg serta Pilpres. Potensi kegaduhan akan berlipat ganda. Sekarang jika diikuti media sosial, istilah cebong, kadrun itu masih ada. Dan jika terus berlanjut, itu membahayakan,” imbuhnya.

Karenanya Agus menegaskan agar Netralitas merupakan hal yang perlu terus dijaga dan diawasi, agar Pemilu dapat berjalan secara jujur (fairplay) dan adil antara calon yang memiliki kekuasaan dengan calon yang tidak memiliki relasi kuasa dilingkungan birokrasi pemerintahan.

“Sebab jika tidak akan mempengaruhi pelayanan publik ke depannya. Hal itu salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila, di mana kita masih kerap berpotensi terpecah karena politik,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI Inspektur Jenderal (Purn) Sidarto Danusubroto mengatakan, pilar-pilar yang terkandung dalam Pancasila harus benar-benar dijalankan dengan baik untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

“Karena Pancasila adalah warisan Bung Karno sebagai founding father, yang selama ini terbukti bisa mempersatukan kebhinekaan. Kalau Indonesia diibaratkan dalam suatu rumah, pondasi dasarnya adalah Pancasila, tiangnya Undang-Undang Dasar 1945, dinding dan atapnya adalah NKRI serta penghuninya Bhinneka Tunggal Ika. Ini empat pilar, sejak saya ketua MPR terus digalakkan. Jadi penghuninya itu berbagai suku, agama, budaya dan adat istiadat, harus diwadahi bersama dalam rumah Pancasila ini,” paparnya.

Politikus reformasi yang juga Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq menyampaikan, ada tiga tantangan pokok yang dihadapi ideologi Pancasila. Pertama, tantangan untuk mengeliminasi kontradiksi sikap, perilaku, dan tindakan terhadap ajaran Pancasila. Misal, perilaku koruptif, LGBT, dan liberalisasi budaya.

Tantangan kedua yaitu menguatkan visi kolektif bangsa menuju kekuatan baru di dunia tahun 2045. Tantangan ketiga, mengembangkan ketahanan nasional dalam konteks menghadapi dinamika global. Caranya dengan tidak menjadi proxy atau bagian dari kekuatan global. Tiga tantangan itulah yang sangat penting untuk diatasi.

“Ancaman utama ideologi Pancasila ialah proxy dari kekuatan global dalam perang asimetris. Kemudian, arus liberalisasi dalam trend open society. Ancaman lainnya ialah industrialisasi politik. Banyaknya konsultan politik, lembaga survei, itu yang membuat adrenalin politik banyak pihak naik, sehingga yang tidak pernah masuk dalam organisasi politik dan tidak memiliki ideologi, terjebak dalam permainan politik tak bervisi dan membuat demokrasi kita menjadi Wani Piro,” papar Mahfudz.

Disisi lain, Pemerhati isu strategis nasional dan global Prof. Dubes Imron Cotan berpendapat, Pancasila sudah diuji oleh berbagai benturan ideologi seperti ekstrem kiri dan ekstrem kanan, bahkan ideologi liberal, dan Pancasila berhasil yudisium, lulus dengan summa cumlaude.

Imron Juga berpesan agar menginggalkan politik pecah belah dan agar para bakal calon presiden dan wakil presiden tidak menjelekkan satu sama lain.

“Jika ‘wisdom’ ini juga diikuti oleh seluruh capres-cawapres dan para kontestan pemilu lainnya, maka daya lentur Pancasila di dalam meredam dinamika politik lima tahunan akan akan tetap terjaga. Ini adalah peringatan bagi kelompok tertentu agar tidak mencoba menguji kemampuan Pancasila memoderasi perbedaan yang datang dari seluruh penjuru,” pungkasnya.

Jakarta – Sistem politik di Indonesia masih membuka celah melibatkan keberpihakan aparatur sipil negara (ASN) dalam Pemilu. ASN pada akhirnya terjebak dalam politik balas budi atau politik balas dendam.

“Politik kita kerap menyeret-nyeret ASN. Ikut salah, gak ikut salah. Jadi, kalau mereka para ASN terbawa-bawa, akan menjadikan kerja birokrasi tidak efektif. Karena yang muncul adalah politik balas budi, politik balas dendam,” ujar Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?” yang digelar Moya Institute di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023).

Menurut data Bawaslu, ungkap Agus, dalam rentang waktu 2020-2021 di mana saat itu digelar Pilkada di 270 daerah, pelanggaran netralitas ASN mencapai angka 2.034. Dari jumlah pelanggaran itu, 1.373 ASN di antaranya diberi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK).

“Kita sudah memasuki tahun politik dan puncaknya tahun depan, itu ada 548 Pilkada dan Pileg serta Pilpres. Potensi kegaduhan akan berlipat ganda. Sekarang jika diikuti media sosial, istilah cebong, kadrun itu masih ada. Dan jika terus berlanjut, itu membahayakan,” imbuhnya.

Karenanya Agus menegaskan agar para ASN menempatkan diri pada posisi netral dalam pemilu. “Sebab jika tidak akan mempengaruhi pelayanan publik ke depannya. Hal itu salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila, di mana kita masih kerap berpotensi terpecah karena politik,” katanya.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI Inspektur Jenderal (Purn) Sidarto Danusubroto yang menjadi pembicara kunci dalam FGD tersebut mengatakan, intoleransi, radikalisme, dan terorisme (IRT) adalah virus yang merupakan ancaman untuk keutuhan bangsa. Ia menggunakan istilah vaksinasi ideologi, sebagai sebuah upaya menjaga keutuhan NKRI.

“Karena Pancasila adalah warisan Bung Karno sebagai founding father, yang selama ini terbukti bisa mempersatukan kebhinekaan. Kalau Indonesia diibaratkan dalam suatu rumah, pondasi dasarnya adalah Pancasila, tiangnya Undang-Undang Dasar 1945, dinding dan atapnya adalah NKRI serta penghuninya Bhinneka Tunggal Ika. Ini empat pilar, sejak saya ketua MPR terus digalakkan. Jadi penghuninya itu berbagai suku, agama, budaya dan adat istiadat, harus diwadahi bersama dalam rumah Pancasila ini,” paparnya.

Politikus reformasi yang juga Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq menyampaikan, dalam konteks membangun peradaban, ada siklus 100 tahun, di mana selama 78 tahun Indonesia Merdeka, kita masih memiliki sisa waktu 22 tahun dari sekarang untuk menuntaskan perjalanan besar sejarah 100 tahun.

“Ideologi Pancasila, konstitusi, dan konsep NKRI telah mengawal sejarah perjalanan hidup bangsa kita. Jika dihitung dari kebangkitan nasional 20 Mei 1928, 100 tahun lagi adalah 2028 dan dihitung dari Proklamasi kemerdekaan, maka 100 tahun lagi adalah 2045.” Karena itu, Mahfudz meyakini bangsa kita akan menjadi negara tidak hanya kuat ekonominya, tetapi disegani secara politik sebagai negara maju di dunia.

Menurutnya ada tiga tantangan pokok yang dihadapi ideologi Pancasila. Pertama, tantangan untuk mengeliminasi kontradiksi sikap, perilaku, dan tindakan terhadap ajaran Pancasila. Misal, perilaku koruptif, LGBT, dan liberalisasi budaya. Tantangan kedua yaitu menguatkan visi kolektif bangsa menuju kekuatan baru di dunia tahun 2045. Tantangan ketiga, mengembangkan ketahanan nasional dalam konteks menghadapi dinamika global. Caranya dengan tidak menjadi proxy atau bagian dari kekuatan global. Tiga tantangan itulah yang sangat penting untuk diatasi.

“Ancaman utama ideologi Pancasila ialah proxy dari kekuatan global dalam perang asimetris. Kemudian, arus liberalisasi dalam trend open society. Ancaman lainnya ialah industrialisasi politik. Banyaknya konsultan politik, lembaga survei, itu yang membuat adrenalin politik banyak pihak naik, sehingga yang tidak pernah masuk dalam organisasi politik dan tidak memiliki ideologi, terjebak dalam permainan politik tak bervisi dan membuat demokrasi kita menjadi Wani Piro,” papar Mahfudz.

Pemerhati isu strategis nasional dan global Prof. Dubes Imron Cotan berpendapat, Pancasila sudah diuji oleh berbagai benturan ideologi seperti ekstrem kiri dan ekstrem kanan, bahkan ideologi liberal, dan Pancasila berhasil yudisium, lulus dengan summa cumlaude. Imron lalu mengutip pernyataan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin agar semua pihak meninggalkan politik pecah belah.

“Jika ‘wisdom’ ini juga diikuti oleh seluruh capres-cawapres dan para kontestan pemilu lainnya, maka daya lentur Pancasila di dalam meredam dinamika politik lima tahunan akan akan tetap terjaga. Ini adalah peringatan bagi kelompok tertentu agar tidak mencoba menguji kemampuan Pancasila memoderasi perbedaan yang datang dari seluruh penjuru,” ujarnya.