suaratimur.id – Setelah beberapa aksi gangguan dan tindakan kejam yang mengakibatkan korban jiwa dari masyarakat sipil, modus untuk mengangkat eksistensi oleh kelompok separatis kembali dilakukan. Kali ini melalui sebuah catatan panjang di akun media sosial Facebook yang mengatasnamakan Juru Bicara (Jubir) Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Ones Suhunyiap.
Dalam catatan tersebut, secara provokatif dirinya menyatakan bahwa kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) dan Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) merupakan praktek kolonialisme Indonesia di West Papua. Dijelaskan secara panjang lebar mulai dari sejarah kolonialisme, kecenderungan kolonialisme di beberapa negara, macam-macam kolonialisme, hingga tujuan kolonialisme. Sayangnya, dari rentetan kalimat tersebut tak disebut secara spesifik korelasi kebijakan Otsus dan DOB dengan kolonialisme di Indonesia yang dimaksud. Di akhir catatan tersebut hanya menyebut bahwa selama hampir 60 tahun, Indonesia hanya ingin mempertahankan eksistensinya dan kini melaksanakan kebijakan Otsus serta mengesahkan UU DOB.
Berdasarkan tulisan tersebut, nampaknya sang penulis tak mampu menunjukkan kecenderungan kolonialisme yang terjadi di Indonesia seperti yang dituduhkan, terutama berkaitan dengan kebijakan Otsus dan DOB. Secara panjang lebar tulisan tersebut hanya menjelaskan definisi kolonialisme secara umum, tanpa bisa mengurai secara detail dalam konteks yang terjadi di Papua.
Papua Sah Bagian dari Indonesia
Untuk menelaah tulisan tersebut perlu diurai secara parsial. Dimulai dari perjalanan waktu, Papua adalah provinsi paling bungsu yang bergabung dengan Indonesia di tahun 1969. Masyarakat Papua resmi menjadi WNI setelah diadakan Pepera (Penentuan pendapat rakyat) dimana mayoritas ingin ikut Indonesia daripada Belanda. Jika dalam catatan tersebut lebih menjelaskan definisi kolonialisme, maka penting juga menjelaskan seluk beluk adanya organisasi seperti OPM di Papua yang ngotot ingin merdeka. Beberapa penyebabnya antara lain, Pertama, mereka tidak mempercayai hasil Pepera, karena termakan provokasi pihak-pihak tertentu yang ingin menguasai Papua. Kedua, mereka merasa Papua sedang dijajah oleh Indonesia. Padahal masyarakat di Bumi Cendrawasih secara sukarela bergabung menjadi WNI, mereka tidak merasa dijajah oleh pemerintahan pusat.
Untuk memperkuat hal tersebut, Putra dari tokoh Papua Dortheys Eulay (alm), Ondo Yanto Eulay pernah menceritakan kronologis Pepera. Dimana setelah ada hasil yang keluar, langsung diserahkan ke Sekjen PBB, lalu disahkan oleh Dewan PBB. Dengan begitu, Papua sah menjadi bagian dari Indonesia. Dalam konteks hukum internasional, seluruh bekas jajahan Belanda di nusantara menjadi bagian dari Indonesia. Maka ketika terdapat pihak yang menggugat kemerdekaan Papua, maka sama saja ia menentang hukum internasional dan juga Dewan PBB.
Lalu telaah kedua, bagaimana bisa Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua atau OPM berpikir bahwa Papua dijajah oleh Indonesia sehingga mereka ingin mendirikan Republik Federal Papua Barat. Logikanya, jika Papua dijajah, tidak akan ada infrastruktur megah seperti Jembatan Youtefa, Jalan Trans Papua, atau tol laut yang akan menolong warga dalam memperoleh sembako dengan lebih mudah. Namun jangan harap logika tersebut muncul dalam pergerakan kelompok tersebut. Mereka bahkan seperti kehilangan akal dengan menuduh seenaknya hanya untuk menunjukkan eksistensi dalam kondisi tersudut ruang geraknya pasca pengesahan UU DOB.
Sedikit flashback, bahwa salah satu pemicu munculnya drama kemerdekaan Papua terjadi lagi ketika beberapa waktu lalu seorang tokoh separatis Benny Wenda memplokamirkan kemerdekaan Papua. Padahal saat itu posisinya ada di London, sehingga tak memiliki dasar hukum. Disamping itu, pihak OPM justru mengeluarkan mosi tidak percaya dengan klaim Wenda sebagai Presiden sementara ULMWP. Sebuah paradoks diantara kedua belah pihak memperebutkan kekuasaan semu. Untuk diketahui bahwa Benny Wenda telah kehilangan status WNI dan saat ini telah menjadi warga negara Inggris. Sehingga klaim sepihak sudah pasti tidak sah di mata hukum internasional.
Adanya perseteruan diantara kelompok separatis semakin menunjukkan bahwa keberadaan mereka mudah terpecah-belah. Masyarakat Papua sudah seharusnya tidak mempedulikan kehebohan yang mereka buat sendiri, karena kenyatannya lebih banyak yang cinta negara Indonesia. Masyarakat Papua memahami bahwa sejak dulu mereka adalah bagian dari Indonesia. Saat perhelatan sumpah pemuda, terdapat dua orang perwakilan dari Jong Papua yang datang jauh-jauh ke Jawa demi menghadiri acara tersebut. Sehingga sejak 1928 para pemuda Papua sebenarnya telah menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan Indonesia.
Tak ada yang mampu merusak keutuhan Papua, meski kelompok separatis terus bergerilya. Mereka bisa saja mengklaim kemerdekaan, hanya saja tidak sah di mata hukum internasional. Justru tindakan itu menjadi hal yang memalukan karena menunjukkan nafsu berkuasa belaka. Papua sah menjadi bagian dari Indonesia, baik menurut hukum nasional maupun internasional. Jangan ada yang menyinggung tentang kemerdekaan Papua. Karena kebanyakan yang memantik isu adalah orang asing. Sementara warga sipil di Bumi Cendrawasih kenyataannya tidak mau berpisah dari Indonesia.
Kebijakan Otsus dan Pemekaran DOB Dorong Kesejahteraan Masyarakat Papua
Tuduhan yang dilontarkan juru bicara KNPB terhadap dua kebijakan besar pemerintah terhadap masyarakat Papua menjadi anomali bagi upaya percepatan pembangunan wilayah tersebut. Kepentingan dengan kacamata kuda untuk lepas dari negara Indonesia justru merugikan masyarakat Papua sendiri. Meski tidak signifikan, ragam penolakan dari kelompok separatis terhadap segala kebijakan Papua menjadi perhatian pemerintah dan aparat dalam bidang keamanan untuk kemudian diwaspadai.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), John Wempi Wetipo dalam kunjugannya di Papua mengatakan bahwa pembentukan DOB Provinsi Papua Pegunungan dapat mendorong kesejahteraan bagi masyarakat. Pemerintah terus berikhtiar menyiapkan pembentukan DOB tersebut secara matang agar kesejahteraan masyarakat Papua semakin terangkat. Karena itu, pihaknya mengajak berbagai elemen masyarakat maupun para tokoh di Papua Pegunungan untuk menyambut pembentukan DOB dengan baik. Adanya DOB tersebut merupakan kesempatan emas bagi generasi di Papua Pegunungan untuk dapat memperoleh kesejahteraan lebih baik.
Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta proses implementasi pembentukan tiga provinsi baru di tanah Papua dipercepat. Semua instansi terkait perlu berkoordinasi untuk merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah komprehensif menciptakan keamanan yang kondusif di Papua, serta merumuskan skema operasi keamanan yang tepat untuk Papua, yaitu operasi yang bersifat humanis, dinamis, antisipatif, dan simultan, dengan pendekatan teritorial dan tetap memperhatikan penegakan hukum. Ia juga meminta pemanfaatan dana otonomi khusus Papua yang tepat sasaran sehingga pembangunan di Papua dan Papua Barat dapat dilaksanakan secara efektif.
Sejumlah keyakinan tersebut bertolak belakang dengan narasi provokatif melalui ragam definisi kolonialisme yang digunakan jubir KNPB untuk mempengaruhi masyarakat. Sudah jelas, hal tersebut tak akan didengar dan hanya menjadi angin lalu saja.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)