Jaksa penuntut umum membeberkan empat poin yang memberatkan atas tuntutan 6 tahun hukuman penjara eks pentolan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dalam atau hoaks kasus tes swab virus corona (SARS-CoV-2) di RS Ummi, Bogor, Jawa Barat.

Salah satu alasan yang memperberat tuntutan jaksa adalah Rizieq dinilai sudah pernah dihukum sebanyak dua kali pada 2003 dan 2008 lalu terkait perkara lain.

“Yang memberatkan terdakwa, pertama terdakwa sudah di hukum sebanyak 2 kali yakni melanggar Pasal 160 KUHP pada tahun 2003 dan perkara Pasal 170 KUHP pada tahun 2008,” terang jaksa saat membacakan pertimbangan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (3/6).

Selain itu, jaksa mengatakan, Rizieq dinilai tak mendukung program pemerintah dalam percepatan penanggulangan Covid-19. Jaksa juga menganggap perbuatan Rizieq telah mengganggu keamanan, ketertiban umum serta, menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.

“Dan tak menjaga sopan santun dan berbelit belit dalam memberikan keterangan di persidangan,” imbuh jaksa lagi.

Sementara hal lain yang meringankan menurut jaksa, yakni Rizieq diharapkan bisa memperbaiki diri pada masa yang akan datang.

Selain Rizieq, menantunya Hanif Alatas ikut dituntut 2 tahun penjara dalam perkara yang sama.

Dalam pertimbangan memberatkan, jaksa mengatakan Hanif tak mendukung program pemerintah dalam mempercepat penanggulangan Covid 19. “Serta memperburuk kedaruratan kesehatan masyarakat,” kata jaksa.

Tak hanya itu, poin yang memperberat tuntutan jaksa yakni perbuatan Hanif dinilai telah mengganggu keamanan, ketertiban umum dan, membuat keresahan di tengah masyarakat.

“Terdakwa juga berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan,” imbuh jaksa.

Sedangkan hal yang meringankan, jaksa menilai Hanif masih berusia muda sehingga bisa memperbaiki diri pada masa mendatang.

Hanif Alatas dan Rizieq sebelumnya didakwa melanggar Pasal 14 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Selain Hanif dan Rizieq Shihab, Dirut RS Ummi Andi Tatat juga turut menjadi terdakwa dalam kasus ini. (*)

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan memajukan dan mensejahterakan seluruh rakyat di Provinsi Papua merupakan amanat konstitusi yang harus diwujudkan melalui usaha bersama.

Namun, tidak mudah membangun Papua jika intensitas dan eskalasi aksi kekerasan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang kerap melakukan aksi-aksi teror terhadap rakyat Papua, tidak kunjung usai.

“Negara harus hadir untuk memastikan bahwa hak rakyat Papua untuk menikmati hasil pembangunan, tidak terberangus oleh ancaman sekelompok orang yang menjadikan aksi kekerasan dan teror sebagai panglima.

Kehadiran personil TNI dan Polri di Papua dalam rangka menumpas KKB guna mewujudkan cipta kondisi untuk memberikan perlindungan keamanan bagi rakyat Papua,” ujar Bamsoet.

Bamsoet menuturkan untuk mewujudkan cipta kondisi yang kondusif, tindakan yang segera, tegas, terukur, dan memberi dampak positif bagi kondisi psikologis rakyat Papua harus diperjuangkan.

Pendekatan ‘soft power’ tetap diutamakan. Namun, tatkala kondisi ‘memaksa’ tindakan terukur harus diimplementasikan melalui tindakan represif, demi melindungi rakyat Papua.

“Saat ini masih ada empat daerah di Papua yang rawan keberadaan KST. Daerah tersebut Ilaga, Nduga, Kenyam dan Intan Jaya.

Saya mendukung tindakan tegas dan terukur yang diambil aparat TNI Polri terhadap kelompok kriminal bersenjata pelaku teror di Papua. Sikat habis sampai ke akar-akarnya,” tegas Bamsoet.

Pakar Psikologi Politik, Hamdi Muluk menilai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi ASN tak ada yang salah. Dalam tes psikologi, menurutnya itu lumrah dilakukan untuk mengukur kecenderungan seseorang terhadap suatu hal.

“Sebenarnya gak ada yang salah dari cara begitu, asal kemudian bahwa sang pewawancara mengerti betul apa yang sedang dia kejar. Jadi kalau dia sudah dapat indikasi-indikasi dari tes itu, dia kejar itu,” ujar Hamdi Muluk

Menurut Hamdi Muluk, pertanyaan semisal soal qunut tidaknya saat salat subuh yang disebut turut ditanyakan dalam TWK pegawai KPK, bisa saja untuk membaca kecenderungan seseorang.

“Nah kadang-kadang ada pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ya, saya gak tahu seperti dia mau memulai pertanyaan saja. Seperti yang suka disampaikan di koran itu, ‘anda kalau salat subuh qunut engak sih?’ padahal itu mau memancing, ‘menurut anda qunut itu bidah atau engak?’, kalau bidah wah ini wahabi nih, misalnya gitu ya,” katanya.

Hamdi menerangkan, dalam asesmen TWK seperti itu tentu saja pertanyaan yang dilontarkan tak main-main. Idealnya setiap item pertanyaan yang keluar dari mulut pewawancara sudah melalui tahapan yang teruji untuk membaca kecenderungan aktor yang diwawancara.

“Kami selalu punya golden rule begini, kalau kita melakukan tes-tes yang sensitif begini, kita pakai tool kedua, namanya implicit association test,” ujarnya.

Epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, berkaca pada adanya lonjakan pasien covid-19 pasca libur panjang, untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 Indonesia masyarakat harus meningkatkan disiplin protokol kesehatan (prokes) 5M yakni Memakai masker, Mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, Menjaga jarak, Menjauhi kerumunan, dan Mengurangi mobilitas.

“Mobilitas, interaksi penduduk yang tinggi, keramaian kerumunan ini terbukti dalam riset studi epidemiologi terakhir menjadi pemicu ledakan-ledakan kasus perburukan pandemi di satu negara atau wilayah,” kata Dicky (4/1/2021).

Selain disiplin prokes 5M, upaya untuk menekan penyebaran virus Covid-19, pemerintah juga harus melakukan 3T yaitu Testing, Tracing, dan Treatment. Aksi 3T ini hendaknya dilakukan oleh otoritas terkait untuk melakukan pengujian, pelacakan, kemudian tindakan pengobatan atau perawatan kepada orang yang terpapar virus tersebut.

Sementara itu, Dekan FK Unair, Prof dr Budi Santoso SpOG (K) mengatakan hingga kini pandemi masih belum berakhir, bahkan terjadi lonjakan peningkatan kasus di beberapa daerah.

“Penularannya lebih kuat. Angka kematiannya juga tinggi. Tidak ada yang tahu kapan pandemi selesai,” katanya (9/1/2021)

Hal tersebut dikatakannya terkait peningkatan kasus Covid-19 dan persebaran virus yang kian masif dengan munculnya mutasi baru. Hal itu juga kemudian membuat dekan Fakultas Kedokteran (FK) se Jawa Timur membuat pernyataan sikap bersama sebagai langkah promotif dan preventif pencegahan Covid-19.

Pernyataan sikap para dekan FK se-Jatim di ruang pertemuan kantor Ikatakan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya pada (9/1/2021). Total ada 13 dekan FK dari berbagai kampus di Jawa Timur yang terlibat dalam pernyataan sikap tersebut.

Menurut Prof Budi, seluruh dekan FK se-Jatim memilih untuk melakukan gerakan moral, menyatukan pendapat dan pengambilan sikap terhadap kondisi pandemi. Sasarannya masyarakat luas. Salah satunya dengan menerapkan protokol 5M. Yakni, memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilitas dan interaksi.

“Kami mendorong masyarakat agar tetap waspada dan disiplin menerapkan 5M,” katanya.

Selain itu, para dekan FK se-Jatim menghimbau para tokoh masyarakat supaya tetap menjadi panutan untuk komunitasnya dalam pencegahan penularan dan penanganan Covid-19. Para dekan juga mendukung upaya pemerintah dan mendorong masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pelaksanaan 3T (test, trace, treat) dan vaksinasi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut, Prof Budi menegaskan bahwa vaksinasi menjadi salah satu cara untuk pencegahan Covid-19. Namun, hal itu bukanlah segalanya. Meski sudah mendapatkan vaksin, disiplin prokes tetap menjadi yang terpenting yakni menaati 5M. (**)

Pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa pendidikan atau sekolah di Indonesia. Padahal sebelumnya, sektor ini tak masuk sebagai objek pajak.

Hal ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang sudah diserahkan ke DPR untuk dibahas.

“Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut, (jasa pendidikan) dihapus,” terang draft RUU KUP seperti yang didapat, Kamis (10/6).

Lantas seperti apa dampaknya? Apakah biaya pendidikan jadi akan meningkat?

Secara logika, tentunya jasa pendidikan yang sebelumnya tidak dipungut pajak, lalu dikenakan pajak, maka akan membuat biaya sekolah yang selama ini dibayarkan masyarakat jadi meningkat.

Misal, sebelumnya orang tua membayar uang sekolah sebesar Rp500 ribu per semester tanpa pajak. Lalu dengan dikenakan PPN, misal 5 persen, maka biaya yang dibayarkan seharusnya menjadi Rp525 ribu per bulan.

Tapi, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan kondisi ini rupanya bukan satu-satunya kemungkinan. Sebab, meski pemerintah mengutamakan keadilan pengenaan PPN bagi semua sekolah pun, hasilnya bisa berbeda di lapangan.

“Belum tentu, apalagi tarif PPN-nya bisa yang rendah,” ungkap Yustinus kepada redaksi.

“(misal) kalau saya penyelenggara sekolah, jika ada PPN, lalu uang sekolah naik, maka saya pilih berkorban, kurangi keuntungan saya biar biaya tidak naik. Ini namanya backward shifting,” sambung dia.

Kemungkinan lain, untuk sekolah yang selama ini biaya pendidikannya mendapat tanggungan dari pemerintah, saat pajak dikenakan, maka bisa saja biaya sekolahnya juga tak naik karena masuk dalam biaya yang ditanggung pemerintah.

“Kalau yang seperti ini kan nirlaba atau subsidi, jadi tidak dikenai PPN. Jadi sasarannya lebih kepada yang segmennya konsumen mampu, termasuk pendidikan non-sekolah,” jelasnya.

Lebih lanjut, Yustinus memberi sinyal bahwa dampaknya nanti akan bergantung pada masing-masing penyelenggara pendidikan.

“Terserah mereka saja, kalau biaya naik dan kompetitif, ya bisa jadi konsumen pindah ke sekolah lain. Jadi ini malah sehat bagi biaya yang lebih kompetitif. Tapi intinya menjadi lebih adil kan?” tegasnya.

Lepas dari apakah biaya sekolah akan naik atau tidak, Yustinus menekankan dasar rencana pengenaan PPN sekolah adalah untuk keadilan.

“Bukan soal potensi (pajaknya), tapi fairness (keadilan),” imbuhnya.

Keadilan ini, lanjut dia, bisa diberikan dengan mengenakan pajak kepada masyarakat yang sebenarnya mampu, sehingga tidak perlu mendapat pembebasan PPN.

“Dua anak SMA, satu di sekolah negeri, satu di sekolah swasta yang mahal, keduanya tidak kena PPN saat ini kan?”

“Padahal konsumennya punya kemampuan ekonomi yang berbeda. Penyelenggara yang memungut biaya cukup mahal mustinya juga mampu,” pungkasnya. (*)

Oleh: Achmad Faisal

Pegawai KPK yang lolos TWK sebanyak 1.271 orang, telah dilantik menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu lagi dibahas. Apalagi TWK pegawai KPK adalah sah dan legal serta sesuai aturan dan Undang-Undang yang berlaku, sebagai mekanisme untuk memastikan pegawai KPK saat alih status menjadi ASN.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, TWK sebagai sarana alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) adalah sah. Status pegawai KPK sebagai ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU KPK. Sementara proses untuk membuat pegawai KPK menjadi ASN diatur dalam pasal 69C UU itu.

Terkait alih status ASN diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN. Peraturan ini menjelaskan syarat-syarat alih status pegawai.

Ada pun syarat yang harus dipenuhi pegawai KPK agar lulus TWK menjadi ASN adalah setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah, tidak terlibat kegiatan organisasi yang dilarang pemerintah dan/atau putusan pengadilan, serta memiliki integritas dan moralitas yang baik. 

Dalam pelaksanaan TWK pegawai KPK, BKN juga melibatkan banyak unsur instansi sebagai upaya maksimal memastikan akuntabilitas dan objektivitas pada seluruh penyelenggaran.

Aspek yang diukur dalam TWK pegawai KPK oleh BKN bersama instansi lainnya, yakni aspek integritas, aspek netralitas ASN, dan aspek radikalisme. Integritas dimaknai sebagai konsistensi dalam berperilaku yang selaras dengan nilai, norma, dan/atau etika organisasi/berbangsa dan bernegara serta bersikap jujur. Netralitas ASN dimaknai sebagai tindakan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun.

Sedangkan antiradikalisme, dimaknai sebagai sikap tidak menganut paham radikalisme negatif, memiliki toleransi, setia dan taat kepada Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan pemerintahan yang sah dan/atau tidak memiliki prinsip konservatif atau liberalisme yang membahayakan dan yang menyebabkan disintegritas. 

Sebelumnya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo menegaskan tes wawasan kebangsaan kepada para pegawai KPK menutur hukum sah.

Tjahjo menjelaskan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Pada Pasal 5 tercantum asesmen tes wawasan kebangsaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara.

TWK dilakukan karena untuk menjadi PNS ada tiga macam tes. Tes itu adalah tes intelektual umum (TIU), tes karakteristik pribadi (TKP) dan tes wawasan kebangsaan (TWK). 

Menurut Tjahjo, pegawai KPK tidak dites TIU dan TKP dengan pertimbangan sudah bekerja sekian lama di KPK. Dengan demikian, intelektual dan karakteristik pribadi mereja dianggap sudah cukup.

Pernyataan KPK dan Menpan RB mengenai TWK saya rasa sudah paripurna. TWK sudah dijelaskan sebagai syarat kelulusan pegawai KPK untuk menjadi ASN. Tidak perlu lagi diperdebatkan karena TWK sudah jelas untuk wawasan kebangsaan. Tentu hal ini sangat penting bagi para ASN yang bekerja untuk pemerintah dengan pengkhususan lembaga antirasuah.

)*Penulis adalah mantan jurnalis

Oleh : Timotius Gobay )*

Warganet milenial Papua mendukung penuh penegakan hukum terhadap Kelompok Separatis dan Teroris (KST) di Papua. Warganet menganggap KST merupakan sumber konflik bagi warga dan selalu menebarkan hoaks, khususnya di media sosial.

Pergerakan Kelompok Separatis Teroris yang merupakan bagian dari KKB rupanya masih menjadi ancaman bagi keamanan masyarakat Papua dan kedaulatan NKRI di bumi cenderawasih. Mereka yang mengibarkan bendera bintang kejora rupanya masih menginginkan berpisah dari Indonesia dan menghalalkan segala cara untuk menebar teror terhadap warga sipil Papua.

Aksi kekerasan yang kerap terjadi di Papua sepertinya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Bahkan dari tahun ke tahun, tercatat telah banyak korban dari aksi penembakan oleh KST.

            Dengan adanya label teroris yang disematkan kepada KKB, tentu pemerintah akan mengetahui siapa pihak yang memberikan suntikan dana kepada mereka.

            Apalagi sebuah tanda tanya muncul ketika diketahui bahwa KKB dapat membeli senjata dan kebutuhan lain, padahal dirinya tidak bekerja.

            Selain itu, berkaitan dengan label teroris, Komjen Pol Paulus Waterpauw terus mengingatkan masyarakat terutama di Bumi Cenderawasih agar tidak salah mengartikan, dimana penyematan label tersebut hanya khusus ditujukan kepada KKB saja.

            Pasalnya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh KKB tidak hanya tertuju kepada aparat keamanan, tetapi juga menyasar kepada warga sipil, tenaga pendidik dan tenaga kesehatan.

            Paulus juga menuturkan, saat terakhir kali ke Yakuhimo, dirinya mengetahui seorang pekerja yang sedang membawa batako mendapatkan serangan panah oleh KKB. Setelah jatuh, korban kemudian dihabisi menggunakan kapak.

            Ia mengatakan, KKB sudah memiliki senjata tajam lalu lakukan kekerasan pada masyarakat. Minta makanan, minta dana. Mereka melakukan hal tersebut kepada warga Papua, bahkan dengan membakar rumah warga.

            Selaku tokoh Papua, dirinya menilai bahwa konflik di Papua harus dilihat dengan pendekatan hukum, karena siapapun wajib taat pada aturan negara.

            Oleh karena itu, Paulus mengingatkan, jika nanti sudah diputuskan di pengadilan terhadap pelaku teroris di Papua, kelompok tersebut mendapat konsekuensi besar. Bukan hanya pelaku di lapangan, tetapi juga otak di belakang layar.

            Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, label terorisme itu bagi KKB berarti memenuhi unsur untuk ditindak sesuai UU Terorisme.

            Konsekuensinya, pemerintah wajib untuk mengerahkan seluruh sumber dayanya dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu yang terukur.

            Pelabelan teroris terhadap KKB tentu saja perlu disosialisasikan secara masif. Selain itu melabelkan teroris terhadap KKB Papua juga tidak akan mendapat masalah dengan dunia internasional.

            Sementara itu Milenial Asli Papua Tadeus Wenda pada Februari 2021 lalu, dirinya menilai bahwa gerakan separatis hanya akan merongrong keutuhan NKRI. Mahasiswa Papua di Sulawesi Utara secara tegas menolak setiap aksi separatis baik di Papua maupun di Sulut.

            Dirinya juga menghimbau kepada rekan-rekan mahasiswa Papua yang sedang menimba ilmu di Sulut agar tidak terpancing oleh isu-isu provokasi yang digencarkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.

            Dirinya juga berharap agar mahasiswa Papua di Sulut bersama elemen masyarakat lainnya untuk terus mendukung program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. 

Beragam provokasi KKB terus dihindari oleh masyarakat Papua, masyarakat juga tidak takut menolak provokasi tersebut karena semakin banyaknya anggota TNI yang berjaga, khususnya di daerah rawan seperti Intan Jaya. 

            Rakyat Papua sadar bahwa KKB hanyalah segelintir orang yang ingin merdeka dari Indonesia. Namun mereka tidak sadar bahwa saat ini wilayah Bumi Cenderawasih telah maju pesat, berkat adanya program otsus dan perhatian pemerintah pusat yang lain.

            Pada kesempatan berbeda, Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel mengatakan, pelabelan teroris terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua mengesahkan kepada semua pihak untuk bersatu memberantas secara cepat, tegas, terukur dan tuntas.

            Sejak KKB dilabeli sebagai kelompok teroris, tentu saja hal tersebut menjadikan seluruh komponen bangsa untuk menyikapi bahwa organisasi teroris itu sebagai musuh bersama yang harus diberantas secara cepat, tegas terukur dan tuntas.

            Reza juga meyakini bahwa perang melawan kelompok teror tidak hanya berperang di dunia nyata tetapi juga di dunia maya. Sehingga warganet dan milenial juga memiliki andil untuk mempertahankan kedaulatan NKRI meski lewat media sosial.

            Kelompok separatis teroris sudah semakin meresahkan, mereka telah terbukti menebarkan ketakutan dengan ancaman dan dan perusakan fasilitas umum, sehingga mereka patut mendapatkan hukuman yang setimpal.

)*Penulis adalah warganet tinggal di Solo