Oleh : Edi Jatmiko )*

RUU Cipta Kerja sangat penting untuk segera diresmikan, karena menguntungkan tak hanya untuk pekerja dan pengusaha, tapi juga petani. Penyebabnya, dalam RUU ini disebutkan tentang kemudahan investasi pada bidang pertanian. Petani akan diuntungkan karena bisa bersama-sama mengelola tanahnya dengan penanam modal.

Indonesia adalah negara agraris namun sayangnya kebanyakan petani belum menjadi warga negara yang makmur. Ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini, mulai dari musim panas dan hujan yang waktunya bergeser sehingga berpotensi menyebabkan gagal panen, dan kurang digunakannya teknologi dalam bertani. Padahal petani di Amerika sudah memakai alat canggih.

Untuk mensejahterakan para petani, maka pemerintah mengaturnya di dalam RUU Cipta Kerja. RUU ini ternyata tak hanya berisi tentang aturan untuk pekerja dan pengusaha, tapi juga investasi untuk bidang pertanian. Rancangan undang-undang ini akan mengubah aturan di UU Holtikultura yang agak membatasi tentang investasi asing di bidang pertanian.

Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal tahun 2019, investasi di sektor pertanian hanya 3% dari total penanaman modal di Indonesia. Hal ini miris karena Indonesia berpotensi untuk jadi tempat investasi pertanian, karena memiliki sumber daya alam yang melimpah. Dengan adanya kerja sama dengan penanam modal, bisa diolah jadi lebih baik.

Felippa Ann Amanta, peneliti dari Center for Indonesia Policy menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja akan membuka peluang dalam investasi, termasuk di sektor agraria. Karena bidang pertanian tetap tumbuh walau Indonesia masih berada dalam pandemi covid-19. RUU ini  mengandung semangat penanaman modal, dan ada perubahan aturan dalam bidang agraria.

Pasal dalam RUU Cipta Kerja merevisi aturan dalam UU agraria yang agak membatasi investasi dalam bidang pertanian. Jika RUU ini sudah resmi jadi undang-undang, maka pengusaha asing boleh berinvestasi di Indonesia, termasuk di bidang agraria. Hal ini diharap bisa ikut memajukan sektor pertanian, sehingga kita tak lagi mengimpor bawang dan hasil tani lain.

Kemajuan yang diharap di sektor pertanian terjadi karena ada transfer ilmu pengetahuan dari investor ke pemilik tanah atau sawah. Jadi petani tidak hanya pasif, namun turut diajari bagaimana mengelola lahan dengan cara modern. Misalnya memakai traktor modern, mesin panen otomatis, pembuatan hujan buatan, penghitungan pergeseran musim, dan lain-lain.

Ketika RUU Cipta Kerja sudah diresmikan, maka penanam modal juga disarankan untuk mengajari keterampilan lain kepada petani. Misalnya mengolah hasil pertanian sehingga lebih berdaya jual tinggi, tata cara mengekspor, internet marketing, dan lain-lain. Petani tak lagi identik dengan image yang ndeso, namun jadi pekerja modern yang cerdas dan kreatif.

Jika petani diajarkan pengetahuan baru, maka diharap Indonesia bisa kembali jadi negara agraris yang menghasilkan beras dan hasil tani lain dengan jumlah melimpah dan hasilnya berkualitas. Tak hanya bisa swasembada beras, namun palawija dan hasil tani lain bisa diekspor. Sehingga bisa memakmurkan petani dan mereka tak hanya jadi masyarakat kelas bawah.

Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sangat penting untuk segera disahkan jadi Undang-Undang. Karena para petani bisa diuntungkan oleh aturan baru dalam hal investasi. Penanaman modal tak hanya menguntungkan secara finansial, namun juga memberi semangat dan pengetahuan baru bagi mereka. Petani jadi sebuah pekerjaan bergengsi dan modern.

Pemerintah berusah memakmurkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk para petani. Caranya dengan membuat RUU Cipta Kerja yang memperbolehkan penanaman modal di bidang agraria. Petani akan diuntungkan karena bisa mengelola sawah dan kebun dengan modern, serta diberi pengetahuan baru oleh investor asing.

)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini

Oleh : Ergi Rinaldi*)

Saat ini, eksistensi Radikalisme memiliki banyak pintu masuk baik secara luring maupun daring. Sehingga mulai dari kalangan orang tua hingga anak muda yang masih produktif, cukup rentan terpapar virus radikalisme. Masyarakat diimbau untuk tetap mewaspadai penyebaran paham anti Pancasila tersebut. Radikalisme masih dianggap sebagai musuh bersama. Untuk menangani hal ini, tentu saja semua pihak harus ikut meredam penyebaran tersebut. Selain sebagai sistem pendingin hati masyarakat dan pengayom, para pemuka agama mempunyai posisi penting dalam menjaga kebhinekaan dan persatuan bangsa.

Bambang Soesatyo selaku ketua MPR mengatakan, bahwa para pemuka agama saat ini memiliki tantangan yang tidak ringan. Selain dituntut merekatkan ikatan kebangsaan, pemuka agama juga harus menjadi bagian dari penyejuk masyarakat, bangsa dan negara. Mantan Ketua DPR yang akrab disapa Bamsoet ini menegaskan, kerukunan antarumat beragama menjadi fondasi utama bagi kelangsungan NKRI. Jangan sampai Indonesia mengikuti negara-negara seperti Timur Tengah yang selalu berkonflik antarsatu dengan yang lainnya. Apalagi, konflik yang mengatasnamakan agama.

Ia juga mengatakan bahwa Agama sudah semestinya digunakan untuk mendamaikan dan mencerahkan umat manusia, bukan sebagai alat untuk adu domba. Kita harus memahami secara sadar bahwa tidak ada satu agama-pun di dunia ini yang mengajarkan radikalisme ataupun terorisme. Aksi teror dan propaganda radikal yang melanda di dunia termasuk di Indonesia, bukanlah karena adanya pengaruh ajaran agama tertentu. Tetapi, karena ulah manusia, baik individu maupun golongan yang bersifat radikal dan tidak menginginkan adanya kedamaian.

Kehadiran paham radikal yang mampu menarik minat WNI untuk terbang ke Suriah, jelas menunjukkan bahwa paham radikalisme mampu menggiring manusia untuk membenci tanah kelahirannya dan memilih untuk pergi jauh dari negara yang gemah ripah loh jinawi. Semua pihak harus waspada apalagi jika terdapat berita provokasi yang berisi ujaran kebencian maupun sikap intoleransi. Jika dilihat dari sudut pandang agama, kata radikalisme dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham/aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham/radikal untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayai untuk diterima secara paksa.

Selain itu, para penganut paham radikal cenderung memiliki pemahaman yang sempit, keras, dan selalu ingin mengoreksi paham orang lain yang bertentangan dengan ideologinya. Hal inilah yang menyebabkan keharmonisan dalam kehidupan sosial menjadi rusak. Parahnya, mereka secara terang-terangan mengakui dirinya sebagai seseorang yang anti terhadap Pancasila, dan tidak ingin negara Indonesia berdiri dengan azas Pancasila. Mereka ingin mengubah tatanan negara Indonesia yang Pancasilais menjadi negara khilafah.

Kita tidak bisa menutup mata, bahwa di Indonesia sempat muncul organisasi yang menyuarakan demokrasi adalah haram, sehingga solusi atas permasalahan bangsa adalah khilafah. Mereka-pun akan membid’ahkan segala yang sudah menjadi tradisi di Indonesia. Paham yang tidak sesuai dengan pancasila seperti khilafah merupakan bom waktu yang memungkinkan mereka dapat menggulingkan pemerintahan yang sah. Kaum radikal cenderung melihat pemerintah adalah sekelompok orang yang dzalim. Mereka akan menggoreng segala kebijakan pemerintah untuk memuluskan agenda kelompoknya. Di masa pandemi misalnya, ketika pemerintah menganjurkan untuk beribadah di rumah dan tidak di tempat ibadah, maka kaum radikalis akan dengan lantang menyuarakan kedzaliman pemerintah di laman media sosialnya.

Syaikh Dr Muhammad Adnan Al-Afyouni menegaskan, Nabi Muhammad tidak pernah membunuh dan selalu bergaul dengan siapa-pun tanpa memandang agama, baik Yahudi maupun Nasrani. Bahkan, Rasulullah telah menegaskan bahwa mereka punya hak kepada mereka. Artinya, kita saling membutuhkan dan tidak bisa saling memusuhi antar sesama manusia. Ia justru mempertanyakan bagaimana mereka mengklaim dirinya sebagai pejuang Islam, tetapi kelakuannya sangat jauh dari karakter Islam yang mencintai keindahan dan kedamaian.

Perlu diketahui bahwa khilafah yang kerap digaungkan oleh kelompok radikal tidak bisa berkembang di Indonesia karena bertolak belakang dengan sistem pemerintahan Indonesia yang sudah disepakati bersama sejak Kemerdekaan 1945. Ideologi bangsa sudah semestinya tidak perlu diperdebatkan, Pancasila sebagai ideologi NKRI telah disepakati sebagai ideologi negara yang mampu merekatkan bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke.

*) Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik